Klakson ”Telolet” yang Hilang di Jalur Mudik
Tahun ini, mudik Lebaran kembali dibatasi, membuat awak bus kembali terpuruk. Ragam pekerjaan lain dikerjakan, tetapi nasib baik belum juga berpihak kepada mereka.
”Telolet… telolet… telolet…,” demikian bunyi klakson bus antarkota tujuan Cirebon-Kuningan, yang berkumandang riuh dari Jakarta menuju ke tempat tujuan. Bunyi klakson itu sempat viral di media sosial karena bunyinya yang unik dan memekakkan telinga. Namun, di balik keriangan bunyi klakson bus antarkota tujuan Cirebon itu, para awaknya menyimpan kegetiran di saat Lebaran kali ini.
Para awak bus pantura itu terpaksa tidak bisa menikmati berkah mudik Lebaran seperti halnya tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19. Tahun ini adalah kali kedua mereka harus ”berpuasa” dari raupan rezeki mudik Lebaran. Tahun lalu, di saat kasus Covid-19 mencapai puncaknya, para awak bus tujuan pantura ini pun sudah tidak bisa meraup keuntungan besar karena mudik dilarang. Mudik kembali dilarang, tahun ini, yakni pada 6-17 Mei 2021.
Pelarangan mudik itu dilakukan pemerintah untuk menekan risiko penularan Covid-19 saat mudik Lebaran. Sebab, sesuai tradisi yang selama ini berlaku, Lebaran selalu menjadi momentum bagi warga untuk ramai-ramai pulang kampung. Jutaan orang bermigrasi dalam satu waktu secara bersamaan.
Dari catatan Kompas, tahun 2019, sebanyak 14 juta orang mudik ke kampung halaman pada Lebaran 2019. Jumlah itu setara dengan 44,1 persen dari total penduduk Jabodetabek.
Dari tahun ke tahun, sebagian besar pemudik memilih transportasi darat untuk pulang ke kampung halaman. Migrasi terbesar memang terjadi di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera.
Dengan pelarangan mudik, jumlah pemudik diperkirakan turun meski tetap ada warga yang pulang kampung di luar tanggal yang dilarang oleh pemerintah. Di sejumlah terminal, misalnya Terminal Kalideres, Jakarta, orang bahkan berdesakan untuk pulang lebih awal karena takut tidak bisa pulang lantaran ada larangan mudik per 6 Mei 2021. Namun, jumlah warga yang mudik tetap lebih rendah daripada ketika tidak ada pelarangan.
Kondisi ini menjadi dilema bagi warga. Para sopir bus pantura pun menyadari situasi ini kendati ada pula rasa sedih di hati. Beberapa sopir terpaksa harus beralih ke pekerjaan lain dan berjuang untuk hidup di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir.
Mencari peruntungan lain
Petugas Perusahaan Otobus (PO) Primajasa, Khudori (49), yang bertugas di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, kehilangan 70 persen penghasilan sejak pandemi. Padahal, ia mesti memenuhi biaya pendidikan anak di sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Anak bungsunya yang masih berusia tiga tahun juga harus dibelikan susu.
Mencoba bertahan, warga yang tinggal di sekitar Pasar Kue Weru itu ikut menjadi buruh pabrik kue bersama istrinya. Tugasnya membungkus kue kering. Penghasilannya sekitar Rp 30.000 per hari.
”Hampir semua pengurus PO, sopir, dan kernet sekarang punya pekerjaan lain, seperti jadi tukang ojek, buruh, juga tukang becak,” ujarnya saat ditemui di Terminal Harjamukti, Kota Cirebon, Selasa (27/4/2021) siang.
Baca juga : Mendagri: Peran Kepala Daerah Vital dengan Melarang Warganya Mudik
Siang itu, Khudori bersama sejumlah awak bus lainnya baru saja mengikuti tes usap antigen gratis yang digelar PT Jasa Raharja. Mereka saling mengajak dan sabar menanti hasil tes selama 15 menit. Tes ini untuk memastikan terminal bebas dari penyebaran Covid-19 sehingga calon penumpang nyaman dan merasa aman.
Khudori pun ikut meyakinkan penumpang untuk mengikuti tes usap itu. ”Enggak apa-apa, Bu. (Tes) ini untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Mumpung gratis,” ujarnya kepada seorang ibu yang sedang bertanya jadwal keberangkatan bus. Di sejumlah klinik dan rumah sakit, biaya tes usap antigen bisa mencapai Rp 249.000 per orang.
Hampir semua pengurus PO, sopir, dan kernet sekarang punya pekerjaan lain, seperti jadi tukang ojek, buruh, juga tukang becak. (Khudori)
Penumpang bernama Sri itu menggelengkan kepala, pertanda penolakan. Namun, ia berjanji akan datang lagi dan menelepon Khudori jika ingin ke luar kota.
”Kalau ada beginian (tes usap), penumpang di luar (terminal). Enggak mau masuk,” kata Khudori. Benar saja, sejumlah calon penumpang langsung angkat kaki ketika diajak petugas terminal mengikuti tes usap.
Bagi Khudori, tes menjadi salah satu ikhtiar menangkal virus korona tak kasatmata sekaligus meyakinkan calon penumpang. ”Kalau ada petugas yang kena (Covid-19), yang lain bisa kena semua. Apalagi, kami belum divaksin. Kami, kan, sering interaksi dengan sopir bus dan penumpang,” katanya.
Chepi Imron (43), sopir bus Kuningan-Merak, juga hanya bisa bersabar dengan larangan mudik. Ia sudah mendapat informasi semua bus masuk pul pada 6-17 Mei. Persis seperti mudik Lebaran tahun lalu.
Sebelum larangan mudik saja, jumlah penumpang sudah anjlok dari 60 orang menjadi 10 orang. Ia pun hanya mengendarai bus dua kali seminggu. Sebelumnya, bisa lebih dari tiga kali. Jangankan mengantongi uang pulang untuk keluarga, membayar setoran sekitar Rp 1,5 juta saja ia kepayahan.
”Alhamdulillah, saya sehat. Tetapi, agak kurang enak (badan) dengan adanya larangan mudik. Ya, harus bagaimana lagi,” ujar Imron. Bapak dua anak ini pun ikut membantu istrinya menjual gorengan dengan penghasilan sekitar Rp 50.000 per hari.
Seteguk rezeki Lebaran
Koordinator Satuan Pelayanan Terminal Harjamukti Komarudin mengatakan, sebelum pandemi, jumlah penumpang di terminal bisa mencapai 1.500-3.000 orang per hari. Bus yang beroperasi sekitar 250 unit.
Sekarang jumlah penumpang sekitar 300 orang dengan 70-an bus beroperasi per hari. Sepertinya tidak ada peningkatan penumpang karena ada larangan mudik. (Komarudin)
Sekarang jumlah penumpang sekitar 300 orang dengan 70-an bus beroperasi per hari. ”Sepertinya tidak ada peningkatan penumpang karena ada larangan mudik,” ucap Komarudin.
Komarudin memastikan protokol kesehatan berjalan di terminal itu. Sejak 5 April hingga 30 hari ke depan, misalnya, pihaknya menyiapkan tes GeNose C19 gratis. Setiap hari, 10 calon penumpang menjalani tes secara acak. ”Sampai sekarang, hasilnya negatif Covid-19,” ungkapnya.
Chepi Imron mengatakan, pada Lebaran kali ini ia memang merasakan sedikit berkah dari para pemudik yang pulang kampung lebih awal. Ia merasakan ada penumpang yang jumlahnya lumayan pada 28 April-4 Mei. Mereka yang pulang lebih awal umumnya ingin menghindari penyekatan atau pelarangan di tengah jalan.
Bagi Imron, mudik awal memberikan harapan karena ia bisa mengendarai bus rute Kuningan-Merak tiga kali seminggu dari sebelumnya dua kali sepekan. ”Alhamdulillah, setoran Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta ketutup. Ada sedikit lebihan untuk beli baju Lebaran anak. Tetapi, setelah itu, ya nganggur lagi,” ujarnya.
Ia berharap, pemerintah memberikan kompensasi untuk pengemudi bus dan mengizinkan beberapa bus tetap beroperasi.
Belum ada solusi
Upaya untuk terus bertahan di tengah larangan mudik juga dilakukan para sopir di Kota Bandung, Jabar. Salah satunya Iwan (32), kondektur bus rute Bandung-Jakarta yang menyambi kerja sebagai petugas parkir selama tiga bulan terakhir ini.
Sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020, Iwan tak lagi bekerja sebagai kondektur setiap hari. Sebab, bus harus beroperasi secara bergantian karena penurunan jumlah penumpang.
”Misalnya hari ini masuk (kerja menjadi kondektur), besoknya libur. Sistemnya digilir. Kalau semua (bus) jalan setiap hari, enggak akan menutup (biaya operasional) karena penumpang sedikit,” ujarnya.
Menurut Iwan, jumlah penumpang bus di Terminal Leuwipanjang, Bandung, saat pandemi turun hingga di bawah 50 persen. Imbasnya, upahnya pun terjun bebas. Sebelumnya ia berpenghasilan Rp 150.000-Rp 200.000 per hari, saat ini hanya Rp 50.000-Rp 75.000 per dua hari.
Kondisi itu memaksanya mencari sumber penghasilan lain. Ia pun menjadi petugas parkir saat libur bekerja menjadi kondektur. ”Penghasilan dari parkir enggak menentu. Terkadang bisa Rp 30.000 per hari, tetapi pernah juga di bawah Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Baca juga : Mudik Lebih Awal Melalui Terminal Kalideres
Beban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya terancam berlipat akibat kebijakan pemerintah yang melarang mudik pada 6-17 Mei 2021. Setidaknya, pendapatannya sebagai kondektur akan hilang dalam periode waktu tersebut.
”Biasanya (sebelum pandemi) selalu untung menjelang Lebaran. Sekarang justru buntung karena bus enggak beroperasi,” ujar bapak dua anak itu.
Masa larangan mudik semakin dekat, tetapi Iwan belum juga menemukan jalan keluar atas persoalan itu. Pendapatan sebagai petugas parkir tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Masih bingung mau kerja apa. Kalau sudah terdesak, ujung-ujungnya pinjam uang ke keluarga,” ujarnya.
Semakin terpuruk
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organda Jabar Dida Suprinda mengatakan, kebijakan larangan mudik akan membuat pengusaha dan pekerja sektor angkutan publik semakin terpuruk. Sebab, selama pandemi setahun terakhir, armada angkutan harus beroperasi secara bergantian karena penurunan jumlah penumpang.
”Selama (pandemi) ini kami sudah terpuruk. Momen mudik sebenarnya diharapkan menjadi seteguk air untuk menghapus dahaga,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi dalam Rapat Koordinasi Penanganan Covid-19 Wilayah Jabar secara virtual mengatakan, masih ada potensi penyebaran Covid-19 di transportasi umum. Dalam tes GeNose C19 di 59 terminal tipe A serta pelabuhan penyeberangan selama sepekan sejak Kamis (22/4/2021), misalnya, dari 6.693 warga yang menjalani tes itu, 363 orang terindikasi positif Covid-19.
Pihaknya bakal membatasi operasional kendaraan bus selama larangan mudik. ”Hanya beberapa saja yang diberikan izin. Bus yang beroperasi akan dilengkapi stiker. Artinya, itu sudah dicek dan diizinkan untuk mengangkut pelaku perjalanan nonmudik,” ungkapnya.
Sayangnya, menurut anggota Komisi VIII DPR, Selly A Gantina, ketika berbagai kebijakan berdampak pada awak bus, tidak ada jaring pengaman sosial bagi mereka. ”Apakah memungkinkan memberikan jaring pengaman sosial untuk sopir bus dan yang terdampak larangan mudik?” ujar Selly.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis, dan Bupati Cirebon Imron yang hadir dalam rapat di Pendopo Bupati Cirebon, beberapa waktu lalu, itu tak menjawab pertanyaan Selly.
Dua kali Lebaran, awak bus gagal memanen rezeki akibat kebijakan larangan mudik. Dalam keterbatasan, mereka tertatih memutar roda kehidupan sembari menanti uluran tangan pemerintah meringankan nestapa.