Menjelang Lebaran 2021, pemudik dan petugas sama-sama repot. Pemudik harus memutar otak menghindari penyekatan sedangkan petugas wajib siaga 24 jam menghalau pemudik.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Berbagai cara ditempuh pemudik demi menghindari larangan mudik Lebaran 2021. Mulai dari pulang lebih awal hingga kucing-kucingan dengan petugas. Lebih dari sekadar menuntaskan rindu, sebagian kewalahan menghadapi hidup yang semakin tidak mudah di tanah rantau.
Sutoyo (66) terpaksa menepikan bajajnya ketika mengetahui giat penyekatan polisi di daerah Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (3/5/2021) sekitar pukul 10.00. Jika kedapatan aparat, warga asli Pekalongan, Jawa Tengah, ini yakin bakal diminta putar balik ke Jakarta. Dia hendak pulang kampung tanpa surat bebas Covid-19.
Ia berangkat dari Grogol, Jakarta Barat, pukul 01.00 bersama istri dan dua cucunya. Mereka pulang kampung lebih awal demi menghindari larangan mudik pada 6-17 Mei. Namun, tak dinyana, polisi sudah melakukan penyekatan di Cirebon. Sutoyo takut diminta kembali ke Jakarta.
”Penyekatannya udah selesai belum, Pak?” tanyanya kepada pengendara lain.
Mengenakan topi dengan loreng hijau dan baju pantai, Sutoyo memilih berhenti sejenak. Istrinya mencari toilet. Sementara dua cucunya bersantai di tempat duduk belakang. Bersama mereka ada sejumlah kardus, kantong pakaian, keranjang, hingga sepatu.
Meksipun repot dan menelan waktu belasan jam, mudik dengan bajaj jauh lebih ekonomis dibandingkan naik bus. Biaya perjalanan dengan bajaj berkisar Rp 500.000 untuk empat orang. Sementara naik bus mencapai Rp 1,2 juta.
”Tiket bus sekarang Rp 300.000 per orang. Sebelumnya, Rp 80.000-Rp 100.000 per orang,” ujarnya.
Bagi bos armada bajaj ini, mudik jadi solusi di tengah sepinya penumpang. Semenjak Covid-19 tahun lalu, Sutoyo mengatakan, para sopir bajaj kewalahan menyetor uang Rp 30.000 per hari kepadanya.
Armada bajaj miliknya pun berkurang dari 15 unit jadi 12 unit. Sebagian dijual dengan harga murah Rp 10 juta per unit. Padahal, beberapa tahun lalu, harga bajaj bisa puluhan juta rupiah per unit.
”Bos bajaj sudah kere. Kalau tinggal di Jakarta, bukan lagi sepi, tapi sudah enggak bisa makan. Lebih baik pulang kampung. Cucu juga mau masuk sekolah,” ujar Sutoyo, yang tahun lalu mengaku tidak mudik karena tidak punya uang. Malam takbiran Lebaran 2020 saja, katanya, cuma dapat makanan dari temannya.
Menurut dia, ribuan pengendara bajaj yang mengalami hal serupa juga memilih mudik. ”Rata-rata balik sebelum larangan mudik. Kalau melawan pemerintah, kita salah,” ucapnya.
Bagi warga yang tinggal di Jakarta sejak akhir 1960-an ini, mudik sudah menjadi tradisi tahunan. Bahkan, ketika masih menjadi penarik becak tahun 1979, Sutoyo pulang mengendarai becak selama sepekan. Jika ingin makan, ia dan teman-temannya singgah di pasar mencari penumpang.
Rata-rata balik sebelum larangan mudik. Kalau melawan pemerintah, kita salah.
Akan tetapi, mudik kali ini baginya lebih berat. Tidak hanya karena khawatir dicegat petugas, ia juga tidak bisa membawa pundi-pundi rupiah hasil kerja keras di Ibu Kota seperti mudik sebelumnya.
”Saya juga enggak dapat bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Cirebon Komisaris Ahmat Troy mengatakan, penyekatan secara acak dilakukan sebelum larangan mudik untuk mengantisipasi warga mudik lebih awal. Apalagi, jumlah pemudik Lebaran diperkirakan 18,9 juta orang. Sebagian besar akan melintasi Cirebon sebagai daerah perbatasan Jabar dan Jawa Tengah.
Kepala Polres Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi mengatakan, sekitar 2.400 petugas dari berbagai instansi akan bersiaga 24 jam di sembilan titik penyekatan pada 6-17 Mei. Titik itu ada di Weru, Ciwaringin, Dukupuntang, Rawagatel, Kanci, Ciledug, Losari, Ciperna, dan Gerbang Tol Palimanan.
Setiap pos penyekatan dijaga sekitar 70 orang hingga lebih dari 100 petugas, tergantung tingkat kerawanannya. Petugas terbagi dalam tiga sif atau setiap 8 jam sehari. Tahun lalu, hanya ada dua sif atau 12 jam. ”Akibatnya, ada (pemudik) yang lolos. Sekarang, kami buat tiga sif agar petugas lebih prima,” ujarnya.
Setiap pos dilengkapi sarana dan prasarana, seperti tenda dan toilet. Dengan demikian, petugas bisa fokus pada penyekatan. ”Jangan sampai penyekatan ini hanya formalitas belaka. Tidak ada alasan anggota hilang dari pos,” katanya.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi telah meminta camat hingga kepala desa memperketat pengawasan terhadap pemudik. ”Pemudik juga bisa nyolong ke jalan tikus. Satgas desa harus mengawasi ini. Kalau ada dari perantauan langsung adakan tes kesehatan di puskesmas,” ujarnya.
Imron mengingatkan, mobilitas warga bisa meningkatkan kasus Covid-19 seperti masa liburan sebelumnya. Ketika libur Natal pada 24 dan 25 Desember 2020, misalnya, kasus baru Covid-19 berkisar 17 orang. Setelah lima hari atau masa inkubasi virus, yakni 1 Januari 2021, kasus baru mencapai 78 orang per hari.
Saat ini, kasus positif Covid-19 di Cirebon mencapai 8.793 orang. Sebanyak 403 orang di antaranya meninggal dan 524 orang masih menjalani isolasi.
Kondisi bisa lebih buruk karena pasokan vaksin di Cirebon terbatas, yakni hanya 40 persen dari kebutuhan 376.632 sasaran di Cirebon. Target vaksinasi yang dimaksud adalah tenaga kesehatan, pelayan publik, dan warga lanjut usia.
Ibarat mau perang, tenaga sudah siap, tetapi pelurunya enggak ada.
”Ibarat mau perang, tenaga sudah siap, tetapi pelurunya enggak ada,” kata Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Sartono. Tenaga diibaratkan sebagai sumber daya manusia untuk vaksinasi Covid-19. Akibatnya, cakupan vaksinasi masih minim.
Masa mudik Lebaran kali ini memang berat. Warga yang nekat mudik bakal memutar otak, sedangkan petugas akan kewalahan menghadapi gelombang pemudik nekat. Keduanya sama-sama repot sementara virus Covid-19 masih berkeliaran mengancam nyawa manusia.