Di tengah segala keterbatasan akibat bencana banjir bandang di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur, warga bahu-membahu membantu pencarian korban dan mengantar makanan bagi para penyintas bencana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Bencana banjir bandang yang melanda Pulau Adonara di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, membangkitkan solidaritas kemanusiaan tanpa sekat. Dalam duka yang mendalam, bahasa cinta menyatukan empati bagi korban.
Dua perempuan berkerudung berdiri sambil menatap nanar puluhan lilin yang menyala di atas gundukan tanah basah, tempat 37 jenazah dimakamkan. Tangan keduanya berpegangan erat, bersama meratapi duka yang tak bertepi itu.
Kendati dalam keyakinan yang tak sama, keduanya bersama berdoa kepada sang pemilik kehidupan. Mereka mendoakan korban yang meninggal akibat bencana banjir bandang. Dua perempuan berkerudung itu salah satunya adalah biarawati Katolik dan satu lagi gadis Muslim.
Selasa (6/4/2021) petang, keduanya bersama beberapa teman yang lain datang ke kuburan massal di Desa Nelelamadike untuk berdoa. Desa di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi lokasi terdampak banjir bandang dengan korban terbanyak. Sebanyak 54 orang meninggal dan 2 korban hilang.
Banjir bandang yang mengalir lewat kali mati di tengah perkampungan itu menyapu rata puluhan rumah bersama penghuninya pada Minggu (4/4) sekitar pukul 01.30 Wita. Para korban tertimbun endapan material sepanjang lebih dari 500 meter dengan ketebalan hingga 3 meter.
Material terdiri dari batu dan pasir, hasil muntahan Gunung Ile Boleng. Perkampungan tersebut berdiri di punggung Ile Boleng. Hujan deras membuat material tanah dan batu itu longsor menutupi permukiman.
Duka yang mendera Nelelamadike memanggil semua orang untuk datang ke sana. Selain dua perempuan berkerudung itu, datang juga ribuan orang dari berbagai sudut di Adonara. Mereka datang menyampaikan duka dan membawa bantuan langsung dari rumah, seperti makanan dan barang kebutuhan lain.
Puluhan perempuan Muslim berhijab tampak datang dengan mobil pikap. Mereka lalu menjunjung bantuan menuju posko penanganan bencana di kampung yang mayoritas beragama Katolik itu. Tak hanya membawa barang, mereka juga membantu menyiapkan makanan di dapur umum.
Tradisi luhur
Dalam tradisi masyarakat Flores Timur, menjunjung barang masuk ke perkampungan adalah tradisi saling memberi, baik di tengah suasana sukacita maupun duka. Mereka yang menjunjung barang itu ingin ambil bagian dalam rasa yang sama dengan orang di kampung yang mereka datangi itu.
Di Nelelamadike terdapat 366 keluarga yang terdiri atas 1.246 jiwa. Mereka semua menjadi korban, baik itu korban nyawa, korban luka, korban material, maupun trauma yang bakal sulit hilang.
”Duka ini milik kita semua di tanah Adonara. Ini terlalu sakit, mengapa korban sebanyak ini? Mengapa mereka meninggal dengan cara seperti ini?” ujar Rahma Tokan (45), warga Desa Witihama, 18 kilometer dari Nelelamadike.
Sementara para pemuda dari kampung tetangga datang membantu pencarian korban sejak Minggu pagi. Dengan cara manual, mereka membongkar timbunan tanah menggunakan linggis, sekop, dan cangkul. Dalam satu hari itu, mereka menemukan 40 korban meninggal. Keesokan harinya datang alat berat untuk membantu pencarian.
Sekitar 14 kilometer arah barat Nelelamadike juga terdapat lokasi bencana. Sebuah kali mati yang membelah Desa Waiburak dan Kelurahan Waiwerang meluap dan menghanyutkan material batang kayu, batu, dan lumpur. Sebanyak sembilan orang ditemukan meninggal dan dua masih dalam pencarian. Ratusan rumah hanyut terbawa banjir.
Duka ini milik kita semua di tanah Adonara. Ini terlalu sakit, mengapa korban sebanyak ini? Mengapa mereka meninggal dengan cara seperti ini?
Sejumlah warga dari desa tetangga datang membantu pencarian. Proses pencarian mengandalkan sebuah alat berat. Padahal, luasan pencarian sekitar 4 kilometer persegi. Warga berbagi tugas, sebagian mencari di pesisir pantai. Para ibu dari Desa Lamahala juga datang membawa makanan.
Sekitar 18 kilometer arah barat Waiwerang, tepatnya di Desa Oyangbarang, warga melakukan pencarian secara manual. Puluhan warga dari Pulau Solor di seberang Adonara juga membantu pencarian. Di desa itu, satu warga ditemukan meninggal dan dua lainnya dalam pencarian.
”Tak hanya orang Adonara yang berduka, kami orang Solor juga berduka,” kata Willy Petung (35), warga Solor. Mereka datang ke lokasi itu dengan menumpang perahu motor, beberapa saat setelah banjir bandang pada Minggu dini hari. Padahal, saat itu gelombang laut masih tinggi.
Warga dari desa tetangga Oyangbarang juga datang membawa makanan. Sebagian menggalang dana dari rumah ke rumah untuk membeli bahan makanan, lalu diantar ke Oyangbarang. Mereka juga ikut membantu memasak makanan bagi pengungsi ataupun untuk sukarelawan pencari korban.
”Kita tidak perlu menunggu bantuan dari pemerintah karena kondisi Adonara saat ini sulit ditembus. Mari kita bergerak sama-sama. Jangan sedikit-sedikit minta dari pemerintah. Terlalu banyak hal yang diurus pemerintah, apalagi di tengah kondisi ini,” ujar Yos Suba, warga Desa Baniona, sekitar 3 km dari Oyangbarang.
Rabu petang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengirim lima ekskavator untuk membantu pencarian korban dan empat dumptruck untuk mengangkut bahan makanan. Gelombang laut tinggi dan kondisi Adonara yang terisolasi menyulitkan pengiriman bantuan.
Kita tidak perlu menunggu bantuan dari pemerintah karena kondisi Adonara saat ini sulit ditembus. Mari kita bergerak sama-sama. Jangan sedikit-sedikit minta dari pemerintah. Terlalu banyak hal yang diurus pemerintah, apalagi di tengah kondisi ini.
Kepala BNPB Doni Monardo mengapresiasi solidaritas warga dalam penanggulangan bencana di Adonara. Masyarakat saling membantu dan menguatkan dalam doa, seperti dua perempuan berkerudung di kuburan massal korban di Nelelamadike.