Banjir bandang bak ”tsunami darat” yang mengentak Pulau Adonara dari berbagai titik. Datang pada malam hari, sekejap melenyapkan puluhan nyawa.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Di bawah guyuran hujan deras, satu per satu warga Desa Nelelamadiken di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, berdatangan ke gereja untuk merayakan malam Paskah, Sabtu (3/4/2021). Tak ada yang tahu, pada malam itu, material tanah bercampur batu di sisi utara kampung mulai terkikis air.
Seusai beribadah di gereja, warga menyiapkan diri untuk menyambut Paskah keesokan harinya, Minggu (4/4/2021). Banyak di antara mereka, terutama para ibu, sibuk membuat kue sampai larut malam. Tradisi setiap hari Paskah di sana, warga membuka pintu rumah bagi siapa saja yang datang.
Saat hari berganti, hujan belum juga reda. Berada di ketinggian, tepat di punggung Gunung Ile Boleng, warga tak mengira ada bahaya yang mengintai dari material tanah dan batu dari letusan gunung yang membentang di perkampungan itu. Begitu pula dengan keberadaan kali mati yang membelah kampung. Hampir semua warga yang berjumlah 1.246 jiwa atau 366 keluarga di desa itu terlelap.
”Kami anggap hujan ini biasa saja, seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak pernah terpikir akan ada bahaya besar di depan,” ujar Natalia Uba Arakian, Sekretaris Desa Nelelamadiken, lewat telepon.
Sekitar pukul 01.30, terdengar suara gemuruh dari utara. Tanah terguncang, warga terbangun mengira ada gempa. Seketika terdengar suara minta tolong, tetapi dengan cepat hilang ditelan gemuruh. Dalam sekejap, 30 rumah yang berdiri di pinggir kali mati itu rata dengan tanah. ”Seperti tsunami,” ucap Natalia menggambarkan suasana tersebut.
Dalam kegelapan, mereka berusaha mencari korban yang terseret air hingga ratusan meter dari lokasi semula. Diperkirakan, 57 orang hilang. Hingga Senin (5/4/2021), sebanyak 43 orang di desa itu ditemukan meninggal dan 14 korban lain masih dalam pencarian. Nelelamadiken menjadi daerah dengan titik terparah dan korban terbanyak.
Duka di desa lain
Duka juga merundung warga Kelurahan Waiwerang dan Desa Waiburak, sekitar 14 kilometer arah barat Nelelamadiken. Kali yang membelah dua desa itu meluap pada waktu hampir bersamaan dengan kejadian di Nelelamadiken. Katarina Kewa (38) menuturkan, ia bersama keluarga terbangun sekitar pukul 02.00 setelah banjir masuk ke dalam rumah mereka yang berdiri sekitar 20 meter dari bibir kali.
Saat membuka pintu, di luar ketinggian air sudah melampaui 1 meter. Air mengalir deras. Beberapa rumah yang berada di sekitar itu hanyut tanpa bekas. Mereka tertahan di dalam rumah selama lebih dari empat jam. ”Rumah yang hanyut juga seperti rumah kami, dari beton. Kami heran, rumah kami masih berdiri,” ucapnya.
Sekitar pukul 06.00, saat matahari mulai terang, mereka memberanikan diri keluar dari rumah. Mereka berjalan dalam banjir sejauh lebih dari 200 meter menuju sebuah bukit. Saat itu ketinggian air sekitar 1 meter.
Masih di Waiwerang, Moses Yanubi (62), korban banjir lainnya, menuturkan, saat air sungai meluap sekitar pukul 01.30, ia dan seorang anaknya memutuskan keluar dari rumah. Saat berjalan dalam air, tiba-tiba datang banjir gelombang berikutnya yang lebih besar.
”Untung ada pohon sehingga kami tertahan selama dua jam lebih,” kata Moses yang terseret hingga 50 meter.
Ia dan anaknya menjalani perawatan di lokasi pengungsian di Madrasah Aliyah Negeri Waiwerang. Tempat itu menjadi lokasi pengungsian terbesar di Adonara.
Waiwerang merupakan salah satu permukiman padat di Pulau Adonara, pulau berpenduduk lebih kurang 90.000 jiwa. Permukiman di Waiwerang berada di dataran rendah di bibir pantai. Rumah warga berimpitan. Ratusan rumah, yang diterjang banjir bandang, kini menyisakan puing-puing. Beberapa rumah hanyut hingga ke laut.
Sekitar 18 kilometer arah barat Waiwerang, banjir bandang juga memakan korban. Tiga warga di Desa Oyangbarang hanyut dan hingga kini belum ditemukan. Puluhan rumah warga juga hancur.
Transportasi di Adonara kini tersendat lantaran sejumlah jembatan dan jalan putus, seperti Jembatan Waiburak di Jalan Trans-Adonara.
Di tengah bencana, solidaritas masyarakat lokal untuk saling membantu mulai berdatangan. Sejumlah perempuan membawa makanan ke pos pengungsian. Hingga Senin siang, bantuan dari pemerintah belum tiba.
”Kabarnya bantuan pemerintah dalam perjalanan. Kami memahami, untuk mencapai Adonara, tak mudah karena cuaca buruk,” kata Saleh Kadir, sukarelawan di Waiwerang.
Banjir bandang yang dipicu hujan ekstrem akibat bibit siklon tropis ini menjadi bencana hidrometeorologis terparah dalam sejarah Adonara. Tak ada yang menyangka bencana datang dan seketika merenggut puluhan jiwa.