Gudang Bulog Cirebon Nyaris Penuh, Penyerapan Belum Optimal
Beras petani dan sisa impor masih menumpuk di gudang Perum Bulog Cirebon. Penyerapan hasil panen petani pun tidak optimal karena gudang nyaris penuh.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Penyerapan hasil panen petani di wilayah Cirebon, Jawa Barat, dan sekitarnya belum optimal saat panen raya. Penyebabnya, gudang Perum Bulog Cabang Cirebon nyaris penuh dengan beras petani dan sisa impor beberapa tahun lalu. Harga gabah petani pun diprediksi akan rendah.
Berdasarkan data Perum Bulog Cabang Cirebon, Jumat (19/3/2021), stok beras di gudang berkisar 70.000 ton. Beras itu, antara lain, dari penyerapan tahun 2018 sekitar 4.400 ton, 34.000 ton (2019), dan 21.000 ton (2020). Ada pula 5.000 ton beras sisa impor dari Vietnam pada 2018.
Stok 70.000 ton beras itu dapat memenuhi kebutuhan beras di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Kuningan hingga 13 bulan ke depan. Dengan kondisi itu, kapasitas 10 kompleks pergudangan nyaris penuh. Adapun kapasitas gudang 111.000 ton.
Artinya, tempat yang tersisa untuk menyimpan beras sekitar 41.000 ton. ”Namun, karena ada broken space (gudang yang tidak bisa digunakan), sisa ruang yang optimal digunakan hanya 21.000 ton,” kata Pemimpin Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon Ramadin Ruding.
Dengan begitu, target serapan hasil panen petani sebesar 42.000 ton pada 2021 sulit tercapai. Padahal, lanjut Ramadin, potensi panen di wilayah Cirebon, Majalengka, dan Kuningan pada panen raya April ini sebesar 1,4 juta ton beras.
Di sisi lain, Perum Bulog terkendala penyaluran. Selama ini beras Bulog dikeluarkan untuk ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) yang dikenal dengan operasi pasar. Setiap bulan pihaknya bisa menyalurkan 5.000 ton beras saat tren harga beras naik.
”Namun, sekarang tidak kami lakukan agar harga beras tidak turun. Kami fokus penyerapan dulu. Setelah panen, baru disalurkan,” ungkap Ramadin.
Pihaknya juga berharap ada penugasan dari Perum Bulog pusat untuk melakukan pemindahan beras secara regional atau nasional ke gudang lainnya. Dengan begitu, gudang Bulog Cirebon bisa lengang dan penyerapan optimal.
Ramadin menambahkan, pihaknya berkomitmen menyerap gabah petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk mencegah anjloknya harga gabah. ”Kami sudah meminta 62 pabrik penggilingan mitra Bulog untuk membeli gabah petani,” ujarnya.
Sebelumnya, harga gabah kering panen (GKP) di sejumlah wilayah di Cirebon anjlok hingga Rp 3.300-Rp 3.700 per kilogram. Padahal, HPP ditetapkan Rp 4.200 per kg.
Anjloknya harga gabah petani berbanding terbalik dengan kenaikan ongkos tanam.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar mengatakan, harga gabah petani masih berpotensi anjlok seiring panen raya dan rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras. Saat ini baru 25 persen dari sekitar 46.000 hektar sawah di Cirebon yang panen.
Menurut dia, anjloknya harga gabah petani berbanding terbalik dengan kenaikan ongkos tanam. Kini, lanjutnya, modal tanam petani di Cirebon bisa Rp 10 juta per hektar. Jika harga gabah petani Rp 3.300 per kg, petani mendapatkan Rp 19,8 juta per hektar dengan produktivitas lahan 6 ton per hektar.
”Masalahnya, lebih dari 40 persen petani adalah penyewa lahan. Biaya sewa Rp 15 juta hingga Rp 18 juta per hektar per tahun. Jadi, kalau harga gabah Rp 3.300 per kg, petani nombok Rp 9 juta,” paparnya.
Itu sebabnya, pihaknya mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras di tengah panen raya. ”Perum Bulog juga harus segera menyerap gabah petani agar tidak anjlok,” ucapnya.