Produksi Melimpah, Impor Beras Ancam Kesejahteraan Petani di Karawang
Impor beras dikhawatirkan akan berdampak pada rendahnya serapan beras dan anjloknya harga gabah di tingkat petani Karawang, Jawa Barat. Pemerintah pusat diharapkan bisa menunda impor beras.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Impor beras dikhawatirkan bakal berdampak pada rendahnya serapan beras dan anjloknya harga gabah di tingkat petani Karawang, Jawa Barat. Pemerintah pusat diharapkan menunda impor beras karena kini petani akan memasuki masa panen raya pada akhir Maret dan April.
Kepala Dinas Pertanian Karawang Hanafi Chaniago, Kamis (18/3/2021), mengatakan, rencana impor beras sebaiknya ditunda. Sebab, hingga kini, produksi beras di Karawang masih surplus, mencapai 1,33 juta ton gabah kering panen per tahun atau setara 800.000 ton beras.
”Kalau bisa, jangan impor. Karawang surplus 550.000 ton beras setiap tahun. Kebutuhan beras hanya sekitar 250.000 ton beras dari total produksi 800.000 ton beras,” ucap Hanafi.
Para petani tak pernah luput dari berbagai permasalahan klasik menjelang panen raya. Masalah itu misalnya harga jual yang rendah karena panen serentak dengan daerah lain dan panen saat musim hujan. Panen yang berlangsung pada musim kemarau akan memudahkan petani untuk menjemur gabah sehingga bisa disimpan dan dijual saat harga sedang tinggi.
Kondisi ini berkebalikan dengan masa panen pada musim hujan (Oktober-Februari), mereka memilih langsung menjual hasil panen karena tidak memiliki alat pengering gabah. Beberapa petani akan menempuh cara tersebut untuk mencegah turunnya harga jual karena kualitas gabah yang rendah, seperti warna menjadi kekuningan dan mudah patah.
”Ke depan harus semakin banyak alat pengering (dryer) padi. Hasil panen bisa dikeringkan dan disimpan terlebih dulu sampai harga jualnya tinggi, baru (gabah) dijual,” kata Hanafi.
Setiap tahun, Hanafi mengatakan, pihaknya mengajukan permohonan bantuan alat pengering kepada pemerintah pusat. Idealnya, setiap desa dengan 7-9 kelompok tani memiliki satu unit alat itu. Namun, hasilnya belum ideal.
Tahun 2019-2020, baru tiga unit bantuan alat pengering yang datang ke Karawang. Jumlah itu masih jauh dari cukup. Saat ini baru sekitar 200 kelompok tani yang memiliki mesin itu. Padahal, jumlah kelompok tani di Karawang mencapai 2.404 unit, tersebar di 297 desa.
Wakil Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Karawang Ijam Sujana menilai, kebijakan impor beras sangat tidak berpihak kepada kesejahteraan petani. ”Kami khawatir dan prihatin dengan impor beras tersebut, nanti bagaimana kehidupan petani. Stop impor beras, ingat petani dalam negeri,” ucapnya.
Berbagai masalah seolah terus menerpa petani sebagai penjaga ketahanan pangan. Awal masa tanam lalu, mereka kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi pada musim tanam yang dipicu pengurangan kuota dari pusat. Hal ini membuat ongkos produksi petani kian membengkak karena sebagian terpaksa membeli pupuk komersial.
Belum lagi sarana dan prasarana pengairan yang belum sepenuhnya baik. Akibatnya, sawah mereka rentan kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
”Kondisi petani pada tahun 2021 sangat memprihatinkan dan menanggung beban berat. Ditambah dengan kesulitan pupuk, apa yang diharapkan petani selain merugi,” kata Ijam yang juga Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah I Kecamatan Tempuran.
Ketua Paguyuban Pedagang Beras Pasar Johar Karawang Sri Narbito menambahkan, dalam sebulan terakhir, pasokan beras ke Pasar Beras Johar meningkat, dari semula rata-rata 500 ton beras per hari menjadi rata-rata 800 ton. Peningkatan pasokan beras terutama dari Demak dan Indramayu yang sedang panen.
Hal itu sejalan dengan turunnya harga beras, dari semula rata-rata Rp 8.700 per kilogram merosot menjadi Rp 8.000 per kilogram. Penurunan harga disebabkan pasokan meningkat sehingga para pedagang mengurangi jumlah pembelian. ”Kalau tren harga turun, tengkulak yang belanja beras cenderung mengurangi jumlah pembelian untuk mengurangi risiko yang disebabkan menurunnya harga,” ucap Narbito.
Meski impor belum dilakukan, Narbito menilai, hal ini akan berpengaruh secara psikologis pada harga pasar. Misalnya, harga saat ini sudah turun karena sedang panen raya, kemunculan kebijakan impor beras pada masa ini justru kian berpotensi menekan harga beras.
Menurut Narbito, impor beras selalu menjadi polemik dan seharusnya ada koordinasi baik antarpihak terkait, misalnya akurasi data (jumlah konsumsi dan prediksi panen). Kalau terjadi defisit produksi, kebijakan impor tentu merupakan hal yang logis dan wajar.
Idealnya, impor beras hanya boleh dilakukan dengan sejumlah syarat, antara lain jika penyerapan beras lokal tidak bisa memenuhi target untuk pengadaan stok nasional dan jadwal rencana yang tepat.
”Timing-nya harus tepat. Janganlah kebijakan impor beras ditetapkan atau diumumkan pada saat panen, karena meskipun impor belum dilakukan, secara psikologis akan memengaruhi anjloknya harga beras di pasar,” kata Narbito.
Ia menduga kebijakan impor beras oleh pemerintah pusat ini untuk keperluan stok nasional dan stabilisasi harga. Sebab, berkaca dari pengalaman akhir tahun 2017 hingga awal tahun 2018, kala itu, stok beras nasional menipis dan persediaan beras ke pasar langka akibat gagal panen. Hal ini menyebabkan harga beras melambung saat itu.