Kejaksaan di daerah dan polisi mengusut dugaan korupsi terkait penanganan bencana alam ataupun non-alam. Kasus-kasus itu melibatkan lembaga penanggulangan bencana daerah.
Oleh
Yola Sastra/Saiful Rijal Yunus/Kristian Oka Prasetyadi/Zulkarnain
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegak hukum di empat daerah memproses dugaan korupsi dana bencana di lembaga negara tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Total kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah.
Di Sumatera Barat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima dan segera menganalisis laporan Masyarakat Antikorupsi Sumbar terkait dengan temuan dugaan penyalahgunaan dana penanggulangan Covid-19 di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Kepolisian Daerah Sumbar telah meminta keterangan dari empat orang, termasuk kepala pelaksana BPBD.
”Kami menerima laporan itu, tapi belum menganalisis, itu tindak pidana korupsi atau tidak. Lalu, itu wewenang KPK atau tidak. Kalau ternyata korupsi dan bukan wewenang KPK, kami limpahkan ke kajati atau kapolda untuk ditindaklanjuti,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Padang, Kamis (18/3/2021).
Sesuai laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang kepatuhan atas penanganan pandemi Covid-19 tahun 2020 pada Pemprov Sumbar, setidaknya ada dua temuan pelanggaran di BPBD Sumbar. Keduanya ialah indikasi pemahalan harga pengadaan penyanitasi tangan dan transaksi pembayaran pada penyedia barang/jasa yang tak sesuai ketentuan.
Dalam pengadaan penyanitasi tangan terindikasi pemahalan Rp 1,872 miliar (ukuran 100 mililiter) dan Rp 2,975 miliar (500 ml). Selain itu, kekurangan volume pengadaan logistik kebencanaan (masker, pistol termometer, dan penyanitasi tangan) senilai Rp 63 juta. Kerugian negara Rp 4,91 miliar.
Dalam transaksi pembayaran ditemukan potensi penyalahgunaan dana pembayaran tunai pada penyedia dan pihak yang tak dapat diidentifikasi sebagai penyedia Rp 49,280 miliar. Bayar tunai tak sesuai Instruksi Gubernur Sumbar Nomor 2/INST-2018 tentang Pelaksanaan Transaksi Nontunai.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Anwarudin Sulistiyono mengatakan, kejaksaan memantau kasus yang ditindaklanjuti Polda Sumbar ini. ”Kami ada nota kesepahaman, instansi yang melangkah lebih dulu, itu harus kami ikuti,” ujarnya.
Dalam transaksi pembayaran ditemukan potensi penyalahgunaan dana pembayaran tunai pada penyedia dan pihak yang tak dapat diidentifikasi sebagai penyedia Rp 49,280 miliar. Bayar tunai tak sesuai Instruksi Gubernur Sumbar Nomor 2/INST-2018 tentang Pelaksanaan Transaksi Nontunai.
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Stefanus Bayu Satake Setianto mengatakan, polisi masih melengkapi keterangan. Empat orang diperiksa, juga Kepala Pelaksana BPBD Sumbar Erman Rahman.
”Ada juga anggota DPRD Sumbar. Sebelum gelar perkara akan ada permintaan keterangan kepada ahli pidana dan ahli pidana korupsi,” kata Satake.
Selasa malam, Masyarakat Antikorupsi Sumbar melaporkan dugaan penyalahgunaan dana Covid-19 di BPBD Sumbar ke KPK. ”Dugaan penyimpangan Rp 4,9 miliar itu patut diduga terjadi pelanggaran. Bukan hanya aspek hukum administrasi, melainkan juga dugaan kerugian uang negara dalam ranah hukum pidana,” kata Charles Simabura, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.
Karena itu, kepolisian diharapkan serius. Penyalahgunaan dana bencana menjadi atensi Presiden Joko Widodo dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Lebih dari sebulan pascapenetapan tersangka, kasus suap pengadaan alat tes usap reaksi berantai polimerase (PCR) di Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara dinyatakan lengkap. Asisten Intel Kejaksaan Negeri Kendari Ari Siregar menyebutkan, berkas kasus suap pengadaan telah diterima. Semua keterangan, bukti, dan tersangka telah diserahkan ke Kejari Kendari, Kamis sore.
”Dua tersangka pihak pelaksana proyek ditahan di tempat berbeda, sementara dr AH dari Dinkes Sultra masih jadi tahanan kota,” kata Ari.
Adapun Kasipenkum Kejati Sultra Dody menyampaikan, pemeriksaan saksi dan pengumpulan bukti telah selesai.
Kejati Sultra menetapkan tiga tersangka suap Rp 3,1 miliar itu. Dua tersangka penyuap, IA selaku technical sales PT Genecraft Labs dan TG selaku Direktur PT Genecraft Labs. Penerima suap adalah dr AH, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Dinkes Sultra.
Menurut Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Sultra Kisran Makati, kasus ini meredup pascapenetapan tersangka. Padahal, sejak awal Kejati Sultra menyatakan kasus ini ada bukti kuat, lengkap hingga rekaman telepon. ”Auktor intelektualis utamanya bagaimana? Jangan-jangan ada upaya lain?” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Minahasa Utara 2005-2008 dan 2016-2021 Vonnie Anneke Panambunan ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek tanggul pemecah ombak Likupang II setelah mengembalikan kerugian negara Rp 4,2 miliar.
Dihubungi dari Surabaya, pengacara Vonnie, Novie Kolinug, mengatakan, Vonnie berinisiatif mengembalikan Rp 4,2 miliar kepada Kejati Sulawesi Utara, Rabu (17/3). Total kerugian negara dari korupsi APBD Minahasa Utara pada 2016 itu Rp 6,74 miliar.
”Itu bukan penyitaan, tetapi tanggung jawab pribadi. Walaupun itu perbuatan bawahannya, atasan tetap bertanggung jawab, tho? Dia (Vonnie) bukan mengakui perbuatannya karena memang namanya tidak pernah disebut (dalam putusan sebelumnya),” kata Novie.
Namun, pada hari yang sama, Kejati Sulut menerbitkan surat penetapan tersangka. Penetapan pada Senin (15/3) itu terkait dengan dugaan pelanggaran pasal berlapis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus berawal dari penetapan status siaga darurat bencana di Minahasa Utara oleh Vonnie, 18 Februari 2016, sesuai rekomendasi Rosa Tidayoh, saat itu Kepala BPBD Minahasa Utara. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengucurkan Rp 15,2 miliar untuk membangun tanggul pemecah ombak.
Di Aceh, Kejari Pidie Jaya memproses dugaan korupsi pembangunan jembatan di Kecamatan Trienggadeng senilai Rp 11,217 miliar. Pembangunan itu pascagempa 2016.
Kamis (18/3), para penyidik Kejari menggeledah Kantor Badan Penanggulangan Bencana Aceh, koordinator pemulihan pascagempa. Potensi kerugian negara Rp 1 miliar.