Merayakan Imlek dengan Semangkuk Soto
Saat perayaan Imlek, kita lebih kenal lontong cap go meh atau kue keranjang. Namun, tahukah Anda, ada masakan sehari-hari yang sebenarnya memiliki kedekatan asal-usul dengan kuliner Tionghoa, yaitu soto.
Saat perayaan Imlek, kita lebih mengenal lontong cap go meh, kue keranjang, atau makanan Tionghoa lain. Namun, tahukah Anda, ada masakan sehari-hari yang sebenarnya memiliki kedekatan asal-usul dengan kuliner Tionghoa. Makanan itu adalah soto.
Di Malang, salah satu soto legendaris adalah Soto Basket Pecinan. Lokasinya sekitar 100 meter arah Pasar Besar Malang dari Kelenteng Eng An Kiong. Soto tersebut disebut Soto Basket karena pada mulanya, pelanggan soto tersebut adalah pebasket Tionghoa yang berolahraga di gedung Bima Sakti tak jauh dari Alun-alun Malang.
”Yang memberi nama soto basket itu bukan kami. Soto Abah ini dikenal karena dulu pelanggannya adalah engkong-engkong Tionghoa yang makan seusai mereka bermain basket. Makanya, lama-lama soto Abah ini disebut soto basket,” kata Siti Kholila (51), generasi kedua penjual Soto Basket Pecinan, Rabu (10/2/2021).
Baca juga: Soto, dari Kisah tentang Cinta, Perang, hingga Kebersamaan

Salah satu soto legendaris di Kota Malang, Jawa Timur, adalah Soto Basket Pecinan. Soto ini sudah ada sejak 1959. Hari Rabu (10/2/2021) tampak suasana di warung soto tersebut.
Lila, sebutan Siti Kholila, adalah anak dari H Syukron. Abah Sukron sudah berjualan soto sejak 1959. Awalnya, pria asal Lamongan itu berjualan dengan pikulan, berpindah-pindah mulai dari Pasar Kebalen (di bawah pohon asam), sekitar Sarinah, dan tahun 1970-an menetap di lorong sempit di Pecinan Pasar Besar.
Lokasinya adalah di lorong selebar 1 meter, di samping toko pecah belah. Di lorong memanjang sekitar 10 meter tersebut ada sebuah rombong soto dan sebuah bangku panjang sebagai tempat makan para pelanggan.
Soto basket adalah soto daging dengan isi jeroan, seperti babat dan paru. Kuah soto bening tanpa santan sehingga tidak terasa berat dan membuat perut begah. Harga semangkuk sotonya cukup murah, yaitu Rp 15.000 per porsi. Jika suka, kita bisa menambahkan irisan daging, babat, paru, perkedel, atau tempe.
”Pelanggan kami banyak berasal dari keturunan Tionghoa. Mereka sampai kini terus menyukai soto basket ini. Bahkan, biasanya kalau Imlek, banyak sekali mereka yang pulang dari kelenteng datang ke sini untuk makan. Tapi, itu sebelum pandemi. Entah Imlek besok seperti apa,” kata Lila. Lila saat ini mengajak keponakannya untuk membantunya berjualan. Soto Basket Pecinan buka pukul 07.00-13.00.
Baca juga: Upaya Memperkenalkan Soto di Amerika Serikat

Salah satu soto legendaris di Kota Malang adalah Soto Basket Pecinan. Soto ini sudah ada sejak 1959. Pada Rabu (10/2/2021) tampak suasana di warung soto tersebut yang terletak di lorong sempit di kawasan Pecinan, Kota Malang, Jawa Timur.
Selain soto basket, soto legendaris lain di Malang adalah Soto Lombok. Ada beberapa cabang soto Lombok di Malang. Soto Lombok diakui sudah ada sejak 1955. Awalnya, mereka berjualan keliling dengan pikulan dari satu tempat ke tempat lain. Setelah 1965, Soto Lombok mulai memiliki ruko dan berjualan tetap di Jalan Lombok. Disebut Soto Lombok karena lokasi mereka berjualan tetap dulu bernama Jalan Lombok.
Ratusan tahun
Di Malang masih banyak kuliner soto lainnya. Di Pasar Turen, Kabupaten Malang, juga ada soto yang diperkirakan usianya sudah lebih dari 100 tahun. Namanya Soto Mbah Kasirah atau Mbah Rah.
Pasar Turen lokasinya sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Malang. Turen dulu merupakan pusat keramaian wilayah bagian selatan Jawa Timur. Menurut keterangan banyak orang, bangunan pasar tersebut dulu lebih terbuka dibandingkan dengan sekarang.
Soto di dalam Pasar Turen ini adalah soto lontong koya yang asalnya dari Madura. Mbah Rah adalah generasi kedua penjual soto Madura di sana. Dari perhitungan usia dan keterangan anaknya, diperkirkan leluhur Mbah Rah sudah berjualan pada awal tahun 1900. Saat ini, usaha dagang soto tersebut diteruskan oleh anak mantu Mbah Rah, yaitu Tikah (51).
Baca juga: Wow, Soto Berusia 120 Tahun Ada di Pasar Turen, Malang

Salah satu soto legendaris di Kota Malang, Jawa Timur, adalah Soto Basket Pecinan. Soto ini sudah ada sejak 1959. Pada Rabu (10/2/2021) tampak suasana di warung soto tersebut.
Tikah ingat bahwa dulu mertuanya berjualan soto mulai harga Rp 50 per mangkuk. Tahun 1994, harga semangkuk soto pun masih Rp 300.
Berbeda dengan soto basket, soto Mbah Rah Turen adalah tipe soto dengan kuah santan dan taburan koya sebagai penambah rasa gurih. Meski begitu, rasanya tetap tidak berat dan enak. Bahkan, banyak di antara pelanggan soto ini tidak puas jika hanya menikmati semangkuk soto. Sebagaimana soto basket, soto Mbah Rah Turen juga buka pagi hingga siang, yaitu pukul 06.30-13.00.
Saudara
Tipe soto bersantan lain juga ada pada warung soto dan sate kambing Pak Yadi di Tegalweru, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Penjual Soto Tegalweru adalah Mariyani, perempuan berusia 60 tahun. Lokasi berjualannya di tepi tanah lapang, tak jauh dari perempatan tugu Desa Tegalweru. Jalur tersebut merupakan alternatif jalur Malang-Batu melalui wilayah Dau.
Soto Tegalweru memiliki ciri khas banyak irisan daun bawang dan kecambah sehingga menjadikan kuah soto terasa segar. Sebagaimana soto khas Madura, kuah soto sedikit bersantan dan menggunakan koya.
Baca juga: Tionghoa, Apa Kita Sudah Kenal?

Penjual Soto Kambing Tegalweru Dau Malang, Mariyani, Rabu (13/11/2019), sedang melayani pembeli.
Mariyani berjualan mulai pukul 17.00 dan biasanya paling lama pukul 21.00 sotonya sudah ludes terjual. Semangkuk soto kambing dijual Rp 10.000. ”Harganya Rp 10.000 saja. Murah meriah biar banyak pelanggannya dan banyak saudara,” kata Mariyani sambil tersenyum.
Ya, Mariyani sangat hafal satu per satu pelanggannya. Rasanya ia tidak sekadar berjualan soto, tetapi juga ingin menjalin persaudaraan dengan banyak orang. Buktinya, jika pelanggannya lama tak datang, ia akan langsung menyapa si pelanggan begitu mereka kembali datang. Lucunya lagi, Mariyani seolah memberikan ekstra tambahan porsi soto kepada pelanggannya yang sudah lama tak datang itu. Bisa jadi, itu salah satu triknya untuk mengikat hati pelanggan.
Sejarah
Ary Budiyanto, dosen Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, mengutip Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya volume II, meyakini bahwa soto adalah makanan yang cikal bakalnya berasal dari China. Soto berasal dari kata cau do (jao do). Makanan ini dibawa oleh peranakan China ke pesisir utara Jawa.
Dalam Serat Centhini II juga disebutkan ada masakan bernama saoto. Di sana dikisahkan Mas Cebolang yang berkelana di kawasan Mataraman antara Yogyakarta dan Solo. Saat itu ia sempat bertemu dengan pementasan wayang. Dalam pentas wayang itu banyak penjaja makanan seperti... ”upet sepet mancung warna-warni, bakmi ayam saoto kambangan, cokoten rondhe cemoe…”.
Mengutip Ketua Tim Penerjemah Centhini, Prof Marsono (dosen sastra Universitas Gadjah Mada), Ary menyebut bahwa saoto kambangan dalam kutipan Centhini di atas adalah soto bebek (kambangan artinya bebek). Orang-orang Jawa di Suriname yang diaspora pada masa kolonial cultuurstelsel, menurut Ary, juga mengenal hidangan berkuah dengan sebutan saoto ayam.
Dari gambaran di atas tampak ada beberapa penyebutan makanan berkuah ini sebelum sekarang dikenal sebagai soto, yaitu ada cau do (jao do), saoto, kemudian soto.
Baca juga: Soto Rasa Akulturasi

Ary Budiyanto, dosen Antropologi Universitas Brawijaya, Malang, sekaligus pengamat kuliner.
Perubahan penyebutan saoto menjadi soto, menurut Ary, terjadi pada pertengahan dan akhir abad ke-19 saat foto-foto di kartu pos era pemerintahan kolonial (1870-1900-an) mulai menyebut soto.
Dosen pengamat kuliner itu mengatakan, masyarakat Jawa sudah menjalin hubungan dengan China sejak ekspedisi Kublai Khan di Singosari pada abad ke-12 hingga era Sam Po Kong pada abad ke-15. Hubungan baik terus berkembang, bahkan hingga era Mataram Islam abad ke-18 dan kolonial. Hubungan baik itu juga terjalin pada resep dan selera masakan asal China yang turut menyebar dan berpadu dengan budaya Jawa karena pernikahan. Di sini, Ary menyebut, cinta melahirkan masakan soto Nusantara.
”Menu soto ini barangkali berkembang di kalangan kelas pedagang keliling asal China yang berdagang di kota-kota di pesisir utara Jawa. Makanan tersebut akhirnya menyebar seiring aktivitas perdagangan. Soto itu hasil perjumpaan cita rasa dan cara masak China, Jawa, Arab, Eropa, dan mungkin juga India,” kata Ary.
Menurut Ary, seiring meningkatnya aktivitas perdagangan, saat itu tumbuh warung-warung makan milik pedagang China. Orang Jawa yang di kemudian hari menjadi penjual soto, menurut Ary, semua pernah bekerja membantu belanja, memasak, dan menjajakan secara keliling soto milik peranakan China. Dulu orang Jawa sering dipekerjakan sebagai tukang pikul rombong keliling, terutama jika penjual sotonya (Tionghoa) sudah tua atau sudah tidak kuat.
Menu soto ini barangkali berkembang di kalangan kelas pedagang keliling asal China yang berdagang di kota-kota di pesisir utara Jawa.
”Melalui proses kreatif memesis, masyarakat pribumi berhasil meniru dan meracik ulang bumbu yang mereka ketahui, ditambah memori cita rasa yang sudah ada di kepala, serta dengan rempah-rempah yang ada, maka akhirnya soto pun dikenal di kalangan masyarakat setempat,” kata Ary.
Baca juga: Isi Liburan, Presiden ke Warung Soto Bersama Keluarga

Suasana di Depot Soto Lombok, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (08/11/2019).
Di Jawa Timur, menurut Ary, soto berasal dari Madura. Soto Madura ini pula yang, menurut dia, menjadi akar soto Blitar, Kediri, dan Lamongan. Menurut Ary, soto Madura cenderung kental karena mengandung santan. Berbeda dengan soto Jawa Tengah-an yang cenderung bening tanpa santan.
Catatan Tertulis
Dalam penelitian yang sedang disusunnya menjadi sebuah buku, Ary menyebut catatan awal tentang soto ditemukan dalam tulisan Edmund Scott tentang Bantam (Banten) pada 1604-1606. Saat itu Scott bercerita bahwa para budak di sana diberi makanan nasi dan air keruh dengan beberapa akar-akaran juga bumbu-bumbuan (buku Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, James Robert Rush, 2013). Diduga, saat itu kaum bangsawan berusaha menekan ongkos makan bagi budak, yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.
”Apakah makanan itu menjadi cikal bakal soto? Yang jelas soto adalah masakan semacam sup dengan kuah kaldu, baik dengan maupun tanpa rempah-rempah, di mana sudah umum dijumpai sebagai makanan para budak dan prajurit zaman dulu,” kata Ary. Pernyataan Ary tersebut merujuk pada tulisan Victoria R Rumble (2009) dalam buku berjudul Soup Through The Ages A Culinary History with Period Recipes.
Jejak soto pun ditemukan lekat dengan kisah peperangan. Peperangan di Jawa, menurut Ary, sangat berpengaruh dalam persebaran makanan, termasuk soto. Perang geger Pecinan pada masa VOC (Daradjadi, 2013) ataupun perang Diponegoro, serta perang-perang lain, menurut Ary, membawa persebaran makanan seiring dengan mobilitas prajurit. Soto dinilai menjadi makanan jenis sup yang efektif untuk ransum prajurit dalam perang karena rombong/pikulannya mudah dibawa, dan sekali masak bisa diperuntukkan bagi banyak orang.
Baca juga: Lewat Pantura, Jangan Lupa Nikmati Kuliner di Probolinggo

Soto Betawi
Sothi
Meski diyakini oleh banyak orang bahwa soto muasalnya dari China, seorang penulis Kompasiana, Anthony Hocktong Tjio, memiliki analisis berbeda. Ia menganggap soto berasal dari Tamil Nadu, India selatan.
Sekitar 2200 tahun lalu, Anthony menulis bahwa orang Tamil dari Kerajaan Hindhu Kalinga, India selatan, didesak melarikan diri ke Nusantara sebagai akibat menguatnya Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka penganut buddhisme. Para pelarian itu terdiri dari ksatria, pedagang, dan Brahmana. Dari merekalah, menurut Anthony, soto berasal. Soto diyakini berasal dari kata sothi.
Akan tetapi, menurut Ary, yang selama 2 tahun tinggal di India, ia lebih melihat sothi sebagai lodeh. ”Menurut saya, masakan sothi cenderung ke kare dan lodeh, bukan soto,” katanya.
Kompas pernah menemukan masakan soto di Pune India, pada 2013, yaitu di Restoran Malaka Spice di kawasan Oxford Properties, Koregaon Park, Pune. Pune adalah Negara Bagian Maharashtra di dataran tinggi Deccan, dengan ketinggian 560 meter di atas permukaan laut.
Pemilik restoran tersebut adalah pencinta kuliner khas Melayu sehingga mencontoh beragam menu, termasuk soto Madura. Nama menu soto di sana kala itu adalah madurasai. Menu soto ala India tersebut juga dilengkapi kuah bersantan dan bihun.
Apapun sejarah soto, yang jelas, di masyarakat kita, soto adalah gambaran kebersamaan. Di kultur masyarakat Jawa, misalnya, soto menjadi menu wajib dalam acara hajatan.
Baca juga: Ketemu Soto Madura di India