Soto, dari Kisah tentang Cinta, Perang, hingga Kebersamaan
Mungkin tidak banyak di antara kita, mengenal lebih dalam tentang kuliner nusantara satu ini, yaitu soto. Tidak sekedar makanan, lebih jauh, soto rupanya menggambarkan kisah cinta, perang, dan kebersamaan.
“Tersebar bersama cinta dan perang, soto akhirnya menggambarkan kebersamaan.” (Ary Budiyanto, Dosen FIB Universitas Brawijaya, Malang)
Mungkin tidak banyak di antara kita, mengenal lebih dalam tentang kuliner nusantara satu ini, yaitu soto. Tidak sekedar makanan, lebih jauh, soto rupanya menggambarkan kisah cinta, perang, dan kebersamaan.
Wilayah Malang Raya, Jawa Timur, adalah salah satu gudang kuliner nusantara, termasuk soto. Ada beberapa soto terkenal di Malang, salah satunya adalah Soto Lombok.

Soto Lombok - Suasana di Depot Soto Lombok, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (08/11/2019).
Soto Lombok diakui oleh Rukiyah (74), generasi keempat penjual Soto Lombok, mulai ada sejak tahun 1955. Awalnya mereka berjualan keliling dengan pikulan dari satu tempat ke tempat lain. Setelah tahun 1965, Soto Lombok mulai memiliki ruko dan berjualan tetap di Jalan Lombok. Disebut Soto Lombok karena berlokasi di Jalan Lombok.
Sebagai soto khas Madura, Soto Lombok menggunakan kuah santan, meski dalam jumlah sedikit. “Ciri khas Soto Lombok adalah menggunakan mangkuk yang sama sejak dahulu, menggunakan ayam kampung, dan ada koya (bumbu taburan dari kelapa). Rasanya tetap sama dan harus dijaga kualitasnya sampai sekarang,” kata Rukiyah, Jumat (08//11/2019).
Baca juga;Jejak Warisan Bebek Slamet (Asli) Kartasura
Penggemar Soto Lombok terus bertahan hingga sekarang. Saat ini Soto Lombok sudah memiliki total delapan cabang. Di antaranya dikelola oleh anak, cucu, dan keluarga besar Rukiyah.
“Pelanggan soto saya dari luar negeri, bahkan meminta saya membuka franchise di Amerika dan Belanda. Tapi saya tidak mau. Saya sudah tua, biar nanti anak cucu saya saja kalau mereka bisa. Yang saya pesan pada anak-anak saya adalah agar menjaga kualitasnya, bumbunya jangan dikurangi, dan selalu menjaga hubungan baik dengan orang,” kata Rukiyah.
Rukiyah mengisahkan, ia membantu berjualan orang tuanya dengan berjalan kaki mulai dari Jalan Kolonel Sugiono, rumah awal mereka. Mereka terus berjualan hingga sampai ke sekitar Alun-Alun Malang. Rukiyah membantu jualan bersama kakaknya.
Baca juga; Tatkala Soto Dibawa Mendunia

Hj Rukiyah (74), Generasi keempat pemilik Depot Soto Lombok, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (08/11/2019).
“Saya diajari semuanya, mulai dari meracik bumbu hingga menghadapi polisi pamong praja yang mencegah kami berjualan di pinggir jalan. Saya yang masih SD, saat itu dibiasakan menghadapi semua pejabat Kota Malang sejak kecil. Yang saya ingat, orang tua saya berpesan agar jualan soto ini diteruskan dan dilestarikan. Soto ini yang sudah menghidupi kami hingga bisa seperti ini. Anak-anak saya pun saya minta meneruskannya,” kata ibu tiga anak itu.
Soto Kambing
Selain Soto Lombok, di Desa Tegalweru, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang juga ada soto kambing Tegalweru. Penjual Soto Tegalweru adalah Mariyani, perempuan berusia 50-an tahun. Lokasi berjualannya di tepi tanah lapang, tak jauh dari perempatan tugu Desa Tegalweru. Jalur tersebut merupakan alternatif jalur Malang-Batu melalui wilayah Dau.
Mariyani berjualan mulai pukul 18.00 WIB, dan biasanya paling lama pukul 21.00 WIB sotonya sudah ludes terjual. Semangkuk soto kambing dijual Rp 10.000. “Harganya Rp 10.000 saja, murah meriah biar banyak pelanggannya,” kata Mariyani.
Baca juga; Soto Rekonsiliasi dari Surakarta

Mariyani, Penjual Soto Kambing Tegalweru Dau Malang, Rabu (13/11/2019) tampak melayani pembeli.
Soto Tegalweru memiliki ciri khas banyak irisan daun bawang dan kecambah, sehingga menjadikan kuah soto terus terasa segar. Sebagaimana soto khas Madura, kuah soto sedikit bersantan dan menggunakan koya.
Ary Budiyanto, Dosen Antropologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, mengutip Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya volume II, meyakini bahwa soto adalah makanan dengan cikal bakal dari China. Soto berasal dari kata cau do (jao do). Soto dibawa oleh peranakan China ke pesisir utara Jawa.
Perubahan penyebutan saoto menjadi soto, menurut Ary, terjadi di pertengahan dan akhir abad ke-19. Saat itu dimulai dengan penyebutannya (soto) pada foto-foto di kartu pos era pemerintahan kolonial (1870-1900-an).
baca juga; Temukan Dirimu dalam Sotomu

Semangkuk soto kambing Tegalweru, Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto diambil pada Rabu (13/11/2019).
Dosen pengamat kuliner itu mengatakan, masyarakat Jawa sudah menjalin hubungan dengan China sejak ekspedisi Kublai Khan di Singosari pada abad ke-12, hingga era Sam Po Kong pada abad ke-15. Hubungan baik terus berkembang bahkan hingga era Mataram Islam abad 18 dan kolonial. Hubungan baik itu juga terjadi pada resep dan selera masakan asal China yang turut menyebar dan berpadu dengan budaya Jawa, karena pernikahan. Di sini, kalau boleh dibilang, maka cinta melahirkan masakan soto nusantara.
“Menu soto ini barangkali berkembang di kalangan kelas pedagang keliling asal China yang berdagang di kota-kota di pesisir utara Jawa. Makanan tersebut akhirnya menyebar seiring aktivitas perdagangan. Makanan itu hasil perjumpaan cita rasa dan cara masak China, Jawa, Arab, Eropa dan mungkin juga India,” kata Ary.
Makanan itu hasil perjumpaan cita rasa dan cara masak China, Jawa, Arab, Eropa dan mungkin juga India

Ary Budiyanto, Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Malang sekaligus pengamat kuliner
Aktivitas perdagangan meningkat, sehingga tumbuh warung-warung makan milik pedagang China. Orang Jawa yang nantinya menjadi penjual soto, adalah pekerja yang membantu belanja, memasak, dan menjajakan keliling soto milik peranakan China tersebut. Dahulu orang Jawa sering dipekerjakan sebagai tukang pikul rombong berkeliling, terutama jika penjualnya sudah tua atau sudah tidak kuat karena kondisi tertentu.
“Melalui proses kreatif memesis, masyarakat pribumi berhasil meniru dan meracik ulang bumbu yang mereka ketahui, ditambah memori cita rasa yang sudah ada di kepala, serta dengan rempah-rempah yang ada, maka akhirnya soto pun dikenal di kalangan masyarakat setempat,” kata Ary.
Di Jawa Timur, menurut Ary, soto berasal dari Madura. Soto Madura ini pula yang menurutnya, menjadi akar soto Blitar, Kediri, dan Lamongan. Menurut Ary, soto Madura cenderung kental karena mengandung santan. Berbeda dengan soto Jawa Tengah-an di mana cenderung bening tanpa santan.

Tampilan soto dari Depot Soto Lombok, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (08/11/2019).
Catatan Tertulis
Dalam penelitian yang sedang disusunnya menjadi sebuah buku, Ary menyebut catatan awal tentang soto ditemukan dalam tulisan Edmund Scott tentang Bantam (Banten) pada tahun 1604-1606. Saat itu Scott bercerita bahwa para budak di sana diberi makanan nasi dan air keruh dengan beberapa akar-akaran juga bumbu-bumbuan (buku Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat, James Robert Rush, 2013). Diduga, saat itu kaum bangsawan menekan ongkos makan bagi budak yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.
“Apakah makanan itu menjadi cikal bakal soto? Yang jelas soto adalah masakan semacam sup dengan kuah kaldu--baik dengan maupun tanpa rempah-rempah, di mana sudah umum dijumpai sebagai makanan para budak dan prajurit zaman dahulu,” kata Ary. Pernyataan Ary tersebut merujuk pada tulisan Victoria R. Rumble (2009) dalam bukunya berjudul Soup Through The Ages A Culinary History with Period Recipes.

Mariyani, Penjual Soto Kambing Tegalweru Dau Malang, Rabu (13/11/2019) tampak melayani pembeli.
Jejak soto pun ditemukan lekat dengan kisah peperangan. Peperangan di Jawa, menurut Ary, sangat berpengaruh dalam persebaran makanan termasuk soto. Perang geger Pecinan di masa VOC (Daradjadi, 2013), maupun perang Jawa Diponegoro, serta perang-perang lain, menurut Ary membawa persebaran makanan seiring dengan mobilitas prajurit. Soto dinilai menjadi makanan jenis sup yang efektif untuk ransum prajurit dalam perang, karena rombong/pikulannya mudah dibawa, dan sekali masak bisa diperuntukkan banyak orang.
Catatan lebih jelas tentang soto, menurut Ary, tampak dari Serat Centhini II, di mana mengisahkan Mas Cebolang yang berkelana di kawasan Mataraman antara Yogyakarta dan Solo. Saat itu, ia sempat bertemu dengan pementasan wayang. Dalam pentas wayang itu banyak penjaja makanan seperti...”upet sepet mancung warna-warni, bakmi ayam saoto kambangan, cokoten rondhe cemoe…”.
Mengutip Ketua Tim Penerjemah Centhini, Prof Marsono (dosen sastra Universitas Gadjah Mada), Ary menyebut bahwa, saoto kambangan dalam kutipan Centhini di atas adalah soto bebek (kambangan artinya bebek).
"Soto tersebar bersama cinta dan perang. Soto pun menggambarkan kebersamaan," kata Ary menambahkan.
"Soto tersebar bersama cinta dan perang. Soto pun menggambarkan kebersamaan,"
Sothi
Meski diyakini oleh banyak orang bahwa soto muasalnya dari China, namun seorang penulis Kompasiana, Anthony Hocktong Tjio memiliki analisi berbeda. Ia menganggap soto berasal dari Tamil Nadu, India Selatan.
Sekitar 2200 tahun lalu, Anthony menulis, bahwa orang Tamil dari Kerajaan Hindhu Kalinga, India Selatan, didesak melarikan diri ke nusantara, sebagai akibat menguatnya Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka penganut budhisme. Para pelarian itu terdiri dari ksatria, pedagang, dan Brahmana. Dari merekalah, menurut Anthony, soto berasal. Soto diyakini berasal dari kata sothi.
Akan tetapi menurut Ary, yang selama 2 tahun tinggal di India, ia lebih melihat sothi sebagai lodeh. “Menurut saya masakan sothi cenderung ke kare dan lodeh, bukan soto,” katanya.

Soto menjadi dalah satu menu masyarakat Jawa dalam menggelar acara selamatan atau hajatan. Foto diambil akhir Oktober 2019 di Kediri.
Kompas pernah menemukan masakan soto di Pune India, pada tahun 2013. Yaitu di Restoran Malaka Spice di Kawasan Oxford Properties, Koregaon Park, Pune. Pune adalah negara bagian Maharashtra di dataran tinggi Deccan, dengan ketinggian 560 meter di atas permukaan laut.
Pemilik restoran adalah pecinta kuliner khas Melayu, sehingga mencontoh beragam menu termasuk soto Madura. Nama menu soto di sana saat itu adalah madurasai. Menu soto ala India tersebut juga dilengkapi kuah bersantan dan menggunakan bihun. Artikel tersebut juga telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ketemu Soto Madura di India".
Baca Juga: Ketemu Soto Madura di India
Apapun sejarah soto, yang jelas, di masyarakat kita, soto adalah gambaran kebersamaan. Di kultur masyarakat Jawa misalnya, soto menjadi menu wajib dalam acara hajatan (selamatan).
Dalam acara selamatan atau kirim doa pada leluhur para kerabat dan tetangga yang diundang biasanya akan disuguhi soto. Setelah berdoa, maka acara dilanjut makan bersama, sebelum akhirnya acara bubar.
"Saya rasa, selain mudah dan murah disiapkan, makan soto bersama-sama dalam acara seperti ini akan makin memperkuat hubungan dengan tetangga,” kata Widyawati, warga Desa Maron, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri. Widyawati baru saja menggelar acara hajatan kirim doa bagi leluhurnya. Menu makan utama dalam acara tersebut adalah soto ayam.

Soto menjadi dalah satu menu masyarakat Jawa dalam menggelar acara selamatan atau hajatan. Foto diambil akhir Oktober 2019 di Kediri. Tampak tumpukan nasi siap disiram kuah soto.
Soto juga menggambarkan kreativitas masyarakat. Di Kabupaten Probolinggo, ada penjual soto singkong sejak tahun 1975, yaitu Soto Singkong Bu Rasmo. Lokasinya di Desa Talkandang, Kecamatan Kotaanyar, Kabupaten Probolinggo.
Ciri khas soto singkong adalah, dalam semangkuk soto, penjual menambahkan sesendok singkong rebus halus. Fungsinya sebagai pelengkap, semacam menjadi pengganti taburan koya (bumbu taburan kering dari kelapa atau lainnya). Penambahan singkong, dinilai sebagai kreasi masyarakat setempat dalam memanfaatkan produk yang ada di sekitar.
Kisah tentang soto rupanya bukan sekedar cita rasa kuliner nusantara. Di setiap suapnya, terdapat ragam cerita tentang cinta, perang, kreativitas, dan kebersamaan. Sudahkah Anda makan soto hari ini?

Soto sebagai menu selamatan atau hajatan - Soto menjadi dalah satu menu masyarakat Jawa dalam menggelar acara selamatan atau hajatan. Foto diambil akhir Oktober 2019 di Kediri.