Komisi Pemeberantasan Korupsi bersama instansi terkait melakukan penertiban aset pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD yang selama ini tidak terkelola dengan baik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kerugian negara.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi bersama instansi terkait menginisiasi dan mengintervensi penertiban aset pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD yang selama ini tidak terkelola dengan baik. Upaya ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian negara serta menutup potensi korupsi.
Hal ini mengemuka dalam penandatanganan perjanjian kerja sama dalam rangka optimalisasi aset dan penerimaan pajak daerah, Kamis (3/12/2020), di Palembang, Sumatera Selatan. Hadir dalam acara tersebut Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru, dan melalui sambungan virtual Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil.
Firli menuturkan, selain menindak pelaku korupsi, tugas lain KPK adalah mencegah korupsi. ”Saat ini, kami sedang membangun sistem agar masyarakat tidak mau atau tidak bisa lagi melakukan korupsi,” ucapnya. Salah satunya dengan menginisiasi dan mengintervensi optimalisasi aset di daerah.
Selama ini, lanjut Firli, masih ada aset daerah yang tidak terkelola dengan baik. Akibatnya, aset itu terbengkalai dan tidak mendatangkan keuntungan atau pendapatan bagi daerah. ”Situasi ini tentu bisa berpotensi menimbulkan kerugian negara,” ujarnya. Aset yang terbengkalai juga bisa bermuara pada kemunculan lahan sengketa, yang jika dibiarkan bisa memunculkan gangguan keamanan di tengah masyarakat.
Firli mencontohkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), terutama untuk kendaraan yang beroperasi di sungai dan laut. Selama ini banyak tongkang, kargo, atau kapal yang melintas di Sungai Musi.
Namun, penerimaan PBBKB-nya belum jelas dan tidak memberikan pendapatan optimal bagi pemerintah daerah. Hal ini dikhawatirkan bisa menjadi ladang korupsi jika tidak dikelola dengan baik.
Saat ini, kami sedang membangun sistem agar masyarakat tidak mau atau tidak bisa lagi melakukan korupsi.
Belum lagi, sejumlah aset daerah, BUMN, atau BUMD yang sudah lama tidak terkelola dikhawatikan akan mengalami penurunan nilain (susut nilai). Hal itu bisa memicu kerugian negara. Padahal, jika dikelola, aset tersebut berpotensi mendatangkan pendapatan bagi daerah dan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Ditutup
Menurut Firli, yang paling utama saat ini adalah mengelola aset daerah dengan tata kelola yang baik dan benar sehingga celah untuk melakukan korupsi dapat diminimalkan atau bahkan ditutup. ”Selain menimbulkan kerugian negara, korupsi adalah kejahatan yang melawan kemanusian,” katanya.
Menteri ATR/BPN Sofyan A Djalil menuturkan, banyak aset milik pemda dan BUMN/BUMD yang tidak tertangani dengan baik sehingga menjadi tanah sengketa. ”Alhasil, ketika lahan itu dibutuhkan, pemerintah atau BUMN/BUMD harus membeli kembali tanah tersebut karena sudah diduduki dan dikelola oleh masyarakat,” ujarnya.
Menang ada regulasi yang mengatur tentang penyelesaian lahan sengketa, yaitu jika lahan milik pemerintah tersebut tidak terkelola lebih dari 20 tahun, warga yang menempatinya bisa mengelola lahan tersebut, bahkan memilikinya. ”Tentu dengan mengantongi yurisprudensi dari Mahkamah Agung,” katanya.
Kalaupun akan diambil alih, pemerintah atau BUMN tersebut harus membayar uang kerahiman yang sesuai kepada warga. Agar aset BUMN atau pemda tidak menjadi lahan sengketa, lahan tersebut harus dikelola, diawasi, dan juga disertifikasi segera sehingga status kepemilikan lahan bisa lebih jelas.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, optimalisasi aset ini diharapkan dapat berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. ”Pendapatan bisa digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, salah satunya melalui pembangunan infrastruktur,” ujarnya.
Herman berharap ada bimbingan dari KPK dalam pengelolaan aset ini agar pelaksanaan program dapat berjalan secara transparan dan bebas dari korupsi.
Direktur Bisnis Regional Sumatera Kalimantan PLN Wiluyo Kusdwiharto menyebutkan, di seluruh Indonesia setidaknya ada 90.000 persil lahan yang dimiliki PLN. Dari jumlah tersebut, baru 30 persen yang tersertifikasi. ”Sebagian besar dari lahan tersebut digunakan untuk tapak ribuan menara,” ucapnya.
Belum tersertifikasinya lahan dikhawatirkan membuat lahan tersebut menjadi lahan sengketa. ”Ada rasa tidak nyaman, seperti kita memiliki rumah, tetapi belum memiliki sertifikat,” ujarnya.
Berkat kerja sama dengan KPK, Kementerian ATR/BPN, dan pemda, proses sertifikasi bisa lebih cepat. ”Jika menggunakan cara yang konvensional, butuh waktu sekitar satu abad,” kata Wiluyo. Dengan kerja sama ini, diharapkan pada tahun 2023, semua persil tersebut sudah tersertifikasi.