Puluhan Kapal Cantrang dari Pati Beroperasi di Natuna
Nelayan di Pulau Subi, Natuna, Kepulauan Riau, resah oleh aktivitas belasan kapal cantrang di perairan kurang dari 12 mil. Saat ini ada sekitar 30 kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, yang beroperasi di perairan itu.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Pulau Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, diresahkan oleh aktivitas belasan kapal cantrang di perairan kurang dari 12 mil. Diketahui ada sekitar 30 kapal cantrang dari Pati, Jawa Tengah, yang beroperasi di perairan Natuna bagian selatan. Ketegasan pemerintah mengatur zona tangkap semakin mendesak untuk mencegah terjadi konflik antarnelayan.
”Yang dilihat nelayan di Pulau Subi itu memang bukan kapal cantrang dari Tegal, melainkan dari Pati. Rumah-rumahan berwarna kuning di buritan kapal menunjukkan ciri khas kapal cantrang asal Pati,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri saat dihubungi melalui telepon dari Batam, Senin (20/7/2020).
Pada 12 April lalu, nelayan di Pulau Subi melihat belasan kapal cantrang beroperasi di perairan kurang dari 12 mil dari bibir pantai saat surut terendah. Namun, banyak pihak meragukan laporan tersebut karena 30 kapal cantrang dari Tegal, Jateng, yang dimobilisasi pemerintah untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara sudah pulang sejak pertengahan Mei 2020.
Menurut dia, ratusan kapal pukat berbagai jenis, purse seine dari pantai timur Sumatera maupun cantrang dari pantai utara Jawa, sudah lama beroperasi di perairan Natuna. Data Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepri, menunjukkan terdapat sekitar 830 kapal pukat dari sejumlah daerah di Laut Natuna.
”Sebelumnya kami sudah sering (konflik) dengan kapal pukat mayang (purse seine) yang melanggar kesepakatan zona tangkap. Sering hampir terjadi bentrokan fisik dan pembakaran di laut. Potensi konflik ini semakin besar dengan rencana pemerintah melegalkan cantrang,” ujar Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang HNSI Kepulauan Anambas Dedi Syahputra (Kompas, 13/6/2020).
Ketua Rukun Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah di Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, Suherman mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan harus lebih tegas mengatur zona tangkap. Ia khawatir maraknya aktivitas kapal cantrang di perairan kurang dari 12 mil akan membuat tangkapan nelayan tradisional di Natuna berkurang.
Nelayan di Natuna diperkirakan berjumlah 20.000 orang. Mayoritas hanya mengandalkan kapal kecil berukuran 3-7 gros ton (GT) dengan alat tangkap tradisional berupa pancing ulur. Kelestarian sumber daya perikanan di perairan 0-30 mil dari garis pantai sangat vital menyangga keberlangsungan hidup mereka.
Saya paling takut hal itu akan memicu konflik antarnelayan. (Hendri)
Hendri meminta pemerintah segera menindak tegas kapal pukat, cantrang maupun purse seine, yang melanggar zona tangkap. Ia khawatir nelayan tradisional akan semakin terpinggirkan jika hal ini terus dibiarkan. ”Saya paling takut hal itu akan memicu konflik antarnelayan,” ucapnya.
Nelayan Pati
Secara terpisah, Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto membenarkan bahwa sekitar 30 kapal cantrang dari Pati sedang berada di perairan Natuna bagian selatan. Mereka berangkat ke perairan Natuna, awal April lalu.
”Setelah nelayan Tegal pulang, gantian nelayan Pati yang berangkat. Kalau nelayan Tegal ke Laut Natuna utara, nelayan Pati ke Natuna selatan,” kata Heri.
Heri menambahkan, nelayan Pati melaut di perairan Natuna bagian selatan selama 40 hari. Setelah 40 hari, mereka akan kembali ke Pati untuk melelang hasil tangkapan.
Selama di Natuna selatan, nelayan Pati juga mengaku beberapa kali melihat kapal trawl (pukat harimau) berbendera asing. Temuan itu kemudian mereka laporkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
”Salah satu kegunaan kami berada di perairan Natuna untuk membantu menjaga laut Indonesia dari kapal asing. Saat ada kapal asing, misalnya, kami laporkan kepada KKP bahwa ada kapal asing di lintang sekian. Kemudian mereka tindak kapal itu,” tutur Heri.
Terkait adanya penolakan dari nelayan lokal, menurut Heri, perlu ada komunikasi dua arah agar konflik bisa diminimalkan. Heri mengaku siap bertukar pikiran dan mengklarifikasi pernyataan yang menyebutkan cantrang merusak lingkungan. Hal itu sudah dibuktikan dengan sembilan kali uji petik cara penggunaan cantrang dari berbagai lembaga, seperti partai politik, akademisi, dan perusahaan nonpemerintah.
Heri berharap, dalam revisi peraturan Menteri Keluatan dan Perikanan terkait larangan penggunaan cantrang, pemerintah mengatur wilayah pengelolaan perikanan (WPP) bagi nelayan cantrang. WPP yang diinginkan nelayan Pati adalah WPP 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan disebutkan, kapal pukat berukuran lebih dari 30 GT hanya boleh beroperasi di jalur penangkapan ikan III atau perairan yang berjarak di atas 12 mil dari garis pantai saat surut terendah. Adapun penggunaan cantrang tidak dibolehkan sama sekali di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Meski demikian, pemerintah berencana segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang, termasuk cantrang, akan diizinkan digunakan lagi.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai pemerintah melangkah mundur dengan melonggarkan sejumlah kebijakan untuk kepentingan investasi. Setelah izin ekspor benih lobster, legalisasi cantrang, menyusul kemungkinan laut Indonesia terbuka bagi kapal ikan buatan asing (Kompas, 11/6/2020).