Tiga Alasan Pergantian Nama Puluhan Halte Transjakarta
Penyesuaian aspek integrasi hingga netralisasi nama tokoh merupakan faktor penyebab pergantian nama halte Transjakarta.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Manajemen PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta menyebutkan, ada tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam pergantian nama halte. Pertimbangan itu mencakup penyesuaian nama halte berdasarkan aspek integrasi; netralisasi halte dari nama tokoh, instansi, dan komersial; hingga penyesuaian nama halte dengan lokasi atau daerahnya.
Pergantian puluhan nama halte BRT dan non-BRT dilakukan sejak akhir 2023 di delapan koridor. Mulai dari Halte Bank Indonesia menjadi Kebon Sirih, ASMI menjadi Perintis Kemerdekaan, hingga Olimo menjadi Taman Sari.
Direktur Pelayanan dan Bisnis Transjakarta Fadly Hasan, Rabu (17/1/2023), mengatakan, pertimbangan pertama dari segi layanan. Agar pelanggan mendapatkan informasi yang jelas dan memudahkan pelanggan, maka diperlukan perubahan nama halte yang sesuai dengan layanan integrasi antarmoda.
Fadly mencontohkan, Halte BNN sekarang sudah terintegrasi dengan Stasiun LRT Cawang. Itulah sebabnya, pihaknya mengubah nama halte tersebut menjadi Halte Cawang. Ia mengatakan, pihaknya mengubah nama halte atas pertimbangan integrasi dengan layanan KRL commuter line, MRT, hingga LRT.
”Ada sekian halte yang berubah karena adanya aspek integrasi itu,” ujarnya.
Kedua, dalam rangka menjadikan Jakarta sebagai kota global, akurasi daerah dinilai Fadly sangat penting. Untuk itu, halte disesuaikan dengan lokasi yang lebih akurat.
”Jadi, kami ubah nama halte yang sesuai dengan daerahnya. Contohnya, (halte) flyover Jatinegara dengan Stasiun Jatinegara, itu sebenarnya satu halte, atas dan bawah. Makanya, kami samakan namanya,” kata Fadly.
Lalu, faktor ketiga terkait netralisasi dari nama-nama tokoh ataupun area komersial. Jika pihaknya ingin melakukan pemanfaatan halte, maka tidak ada potensi terjadinya tuntutan dari pihak ketiga.
”Untuk itu, diperlukan netralisasi halte dari nama tokoh, instansi, dan komersial,” lanjutnya.
Sebelum diputuskan perubahan sejumlah nama halte, pihaknya sudah berdiskusi dengan beberapa komunitas. Hal ini meliputi langkah-langkah yang akan ditempuh.
Fadly mengatakan, pihaknya juga akan terus menyosialisasikan perubahan nama-nama halte itu kepada pelanggan Transjakarta. Salah satu yang gencar dilakukan ialah sosialisasi melalui media sosial.
Selain itu, Transjakarta juga akan meningkatkan bisnis dari naming rights halte, yakni memanfaatkan nama halte sebagai commercial branding. Ditargetkan pada akhir tahun ini akan bertambah penjualan untuk hak penamaan pada beberapa halte. Adapun hingga saat ini baru ada satu halte Transjakarta yang menggunakan naming rights tersebut.
”Naming rights itu hal baru di Indonesia. Kalau di negara maju, hal itu sudah biasa. Jadi, naming rights itu membeli hak penamaan suatu gedung. Selama gedung itu dibayar, maka si pembeli berhak mengklaim gedung tersebut dengan namanya. Sekarang baru di Bundaran HI yang sudah bergandeng dengan Astra. Jadi, namanya Halte Bundaran HI Astra. Itu salah satu bentuk naming rights,” paparnya.
Fadly mengatakan akan terus berusaha yang terbaik perihal naming right. Meski begitu, pihaknya tak memiliki target dalam pembuatan hak penamaan itu.
Naming rights itu hal baru di Indonesia. Kalau di negara maju, hal itu sudah biasa. Jadi, naming rights itu membeli hak penamaan suatu gedung.
Membingungkan
Pergantian nama halte memicu pro-kontra dari penumpang. Warga Jakarta Timur, Ezhi Lestari (32), menilai, penamaan sejumlah halte kurang tepat. Di Koridor 7, misalnya, ada empat nama halte yang memuat kata ”Cawang”, yakni Halte BKN menjadi Halte Cawang Cililitan, Cawang UKI menjadi Cawang Sentral, BNN menjadi Cawang, dan Cawang Otista menjadi Cawang Baru.
”Nama-nama ini membingungkan bagi saya. Sebelumnya, Halte BNN dan BKN saja kerap keliru, sekarang malah ada empat nama halte yang menggunakan kata yang sama,” katanya.
Warga Jakarta Barat, Tubagus Yuda Indrawan (27), juga turut menyayangkan pergantian nama halte, seperti Dispenda Samsat Barat yang diganti menjadi Halte Pulo Nangka. Kemudian Halte Indosiar diganti menjadi Halte Damai.
”Kalau mau mengganti nama, setidaknya warga sekitar populer dengan nama tersebut. Selain itu, juga dicari nama daerah yang benar-benar dekat dengan halte, jangan yang jaraknya masih lumayan jauh,” tuturnya.
Selain mengubah nama halte untuk meningkatkan layanan, hal utama yang harus menjadi fokus Transjakarta ialah mengutamakan keselamatan penumpang. Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), David Tjahja, menilai, fasilitas pendukung di beberapa halte masih belum cukup aman.
”Beberapa halte dengan desain baru kebanyakan halte terbuka. Meski sirkulasi udara menjadi lebih bagus, hal itu rawan tempias air hujan, terutama saat hujan lebat dan disertai angin,” katanya.
Masalah jarak antara lantai halte dan bus juga masih menjadi perhatian. Menurut David, jarak yang aman ialah 3 inci atau 7,5 sentimeter. Sebab, lantai halte dan pijakan bus juga belum tentu sejajar.
Sementara pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mendorong manajemen Transjakarta untuk memperbaiki waktu kedatangan bus. Menurut dia, ketepatan waktu datangnya bus sangat penting. Ketepatan waktu itu bisa dijamin dengan menambah jumlah bus hingga memastikan jalur bus steril dari kendaraan lain.
”Jika semua moda transportasi di Jakarta bisa menjamin ketepatan waktu dan kenyamanan pengguna, lambat laun masyarakat akan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum,” ujarnya.