Zakat untuk Perlindungan Perempuan dan Anak
Tangerang Selatan jadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan zakat untuk membantu korban kekerasan, terutama perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Zakat didorong untuk kepentingan publik yang kian universal.
Korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak korban kekerasan seksual, mengalami guncangan jiwa yang tidak kalah berat dari derita fisiknya. Kondisi ini berpengaruh kepada seluruh keluarga. Pendampingan untuk pemulihan psikis, fisik, dan sisi lain kehidupan korban ataupun keluarganya ini membutuhkan banyak upaya, waktu, tenaga, dan biaya.
Program pemerintah dibantu swasta tidak serta merta dapat menutup semua kebutuhan penanganan korban. Peran masyarakat melalui berbagai sumber pembiayaan publik sangat ditunggu untuk membantu pemulihan para korban kekerasan tersebut. Zakat kemudian muncul menjadi alternatif yang diajukan untuk turut disalurkan kepada para korban kekerasan seksual.
Kota Tangerang Selatan di Banten merespons ide tersebut dan resmi menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan zakat untuk membantu korban kekerasan, terutama perempuan dan anak korban kekerasan seksual, Kamis (2/12/2021). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) serta Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis (PSIPP-ITB) Ahmad Dahlan Jakarta bekerja sama dengan Tangsel demi mewujudkan program itu.
Pada hari yang sama, seminar nasional bertajuk ”Kota Ramah Perempuan dan Layak Anak: Optimalisasi Fungsi Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota Tangerang Selatan”, turut digelar.
Prevalensi lebih tinggi
Perjalanan gagasan merangkul dana publik, khususnya zakat, untuk membantu perempuan dan anak penyintas kekerasan sudah cukup panjang didengungkan. Mengapa membantu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak itu penting dan mengapa menggunakan zakat untuk hal itu?
Sekretaris KemenPPA Pribudiarta Nur Sitepu dalam seminar menyatakan perhatian khusus pada perempuan dan anak karena tingginya prevalensi kejadian kekerasan terhadap perempuan adalah 1:3 dan pada anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, adalah 2:3. ”Jadi, sebenarnya bisa ada jutaan korban kekerasan pada anak dan perempuan,” katanya, Kamis.
Zakat bukan untuk kepentingan muslim saja, tetapi untuk kepentingan universal. (Mukhaer Pakkanna)
Rektor ITB Ahmad Dahlan Mukhaer Pakkanna menambahkan, zakat penting untuk dapat dioptimalkan demi kepentingan publik, khususnya korban kekerasan perempuan dan anak. Sebagai catatan, setiap pemeluk agama Islam wajib berzakat. Minimal dalam satu tahun, setiap umat Islam berzakat setidaknya satu kali menjelang Idul Fitri. Ini adalah potensi besar yang dapat dimaksimalkan untuk menolong orang lain.
”Kita bisa melepaskan diri dari sekat-sekat agama demi menolong orang lain. Zakat bukan untuk kepentingan muslim saja, tetapi untuk kepentingan universal. Kesadaran kita dibangkitkan agar zakat yang dikeluarkan juga diniatkan secara khusus untuk korban kekerasan seksual. Para korban ini sesuai dengan kriteria empat dari delapan golongan penerima zakat,” kata Mukhaer.
Pengoptimalan penggunaan zakat untuk kepentingan publik yang lebih luas ini menjadi solusi bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selama pandemi, sudah rahasia umum, jika pemerintah kerepotan karena sebagian besar anggaran dialihkan dan tersedot untuk penanggulan Covid-19 maupun dampak-dampaknya di semua lini kehidupan.
Di sisi lain, selama dilakukan berbagai pembatasan demi mengendalikan pandemi, berbagai persoalan lain muncul seperti bertambahnya angka kemiskinan dan terus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan seksual.
Baca juga: Menghitung Hidup dengan Upah Minimum Rp 150.000 Per Hari
Document Management System Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (DMSPPID) Banten mencatat, pada periode 2017-2019 total terdapat 967 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi tersebut dengan 677 kejadian berlangsung di lingkungan rumah tangga. Dari total kejadian itu, jumlah korbannya 1.053 orang dengan rincian 590 korban dari kelompok umur 0-18 tahun, 129 korban berusia 18-25 tahun, dan 334 korban berumur di atas 25 tahun.
Pada periode yang sama, Tangsel mencatatkan ada 65 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan 75 korban. Sebanyak 41 orang dari 75 korban berada di rentang usia 0-18 tahun.
Di masa pandemi, khususnya sepanjang 2021 ini, di Tangerang Selatan yang memperoleh Anugerah Parahita Ekapraya Kategori Utama Tahun 2020 dari Kementerian PPPA karena dinilai berkomitmen dalam mewujudkan kesetaraan jender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak, justru setidaknya terjadi 73 kasus kekerasan terhadap anak (Kompas.id, 25 Oktober 2021).
Kewajiban kota
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, baik melibatkan kekerasan seksual maupun tidak, bak fenomena gunung es. Tak hanya di Tangsel, tetapi juga daerah lain di Indonesia, sangat mungkin angka kasus yang muncul ke permukaan belum mencerminkan jumlah kasus riil di tengah masyarakat.
Pemerintah kota saat ini semakin berkepentingan memecah fenomena gunung es tersebut dan melindungi seluruh warganya, karena di kawasan-kawasan urban-lah saat ini konsentrasi penduduk tertinggi berada.
Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), pemerintah kota kini melalui kebijakan pembangunnya wajib memastikan pemenuhan hak warga. Kota harus memastikan anak dan perempuan bebas diskriminasi dan kekerasan dengan tata ruang kota yang menjamin keamanan dan keselamatan mereka. Saat kekerasan itu tetap terjadi, menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan penanganan korban secara memadai dan tuntas.
Baca juga: Dulu, Kini, dan Masa Depan Anak-anak Perempuan di Belantara Kota
Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie menyatakan, pemkot akan terus meningkatkan upaya perlindungan perempuan dan anak. Tangsel saat ini sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kota Layak Anak dan Perda No 2/2018 tentang Pengarusutamaan Jender. Sudah ada dinas khusus yang menangani pemberdayaan perempuan dan anak serta unit-unit khusus yang bertugas menggalakkan pencegahan serta penanganan kekerasan pada anak maupun perempuan.
”Kami berharap menjadi kota ramah terhadap perempuan dan anak serta disabilitas. Apalagi di masa pandemi, ada 472 anak-anak Tangsel menjadi yatim/yatim piatu karena Covid-19,” kata Benyamin.
Namun, perjalanan Tangsel masih jauh untuk mencapai tujuannya. Menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan zakat untuk membantu perempuan dan anak korban kekerasan seksual menjadi langkah awal dari sederet langkah lainnya.
Meski demikian, inisiasi dari Ketua Forum Kota Sehat Tangsel sekaligus Ketua DPRD Tangsel Abdul Rasyid yang disambut Wali Kota Tangsel tersebut tetaplah kemenangan kecil dalam keberpihakan kota pada perempuan dan anak-anak.
Kontekstualisasi zakat
Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadakah Muhammadiyah (LazisMu) Hamim Ilyas dalam seminar yang sama menggarisbawahi bahwa ajaran Islam berbasis pada keadilan jender. Perempuan dan laki-laki diciptakan berpasangan, bukan sebagai atasan dan bawahan. Dalam Islam, laki-laki dilarang menyakiti perempuan dan anak-anak secara fisik, psikis, dan bidang kehidupan lain.
Namun, pemahaman publik tidak selalu sejalan dengan ajaran tersebut dan dalam praktik sehari-hari kadang lebih dipengaruhi dominasi budaya patriarki. Menanamkan pemahaman yang tepat kepada para pejabat publik sampai ke tingkat akar rumput perlu ditingkatkan serta diperluas untuk memutus lingkaran kekerasan dalam rumah tangga dan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, kontekstualisasi distribusi zakat di masa sekarang sangat mendesak. ”Dulu salah satu yang berhak menerima zakat adalah korban perbudakan. Perbudakan seperti di masa lalu kini sudah tidak ada. Namun, di sekarang masih ada penindasan, antara lain karena ada pengaruh sistem patriarki bahwa laki-laki itu lebih utama,” katanya.
Baca Juga: Jeratan Utang ”Squid Game” Rumah Tangga Perkotaan
Terkait zakat, Hamim menyatakan penerimanya sesuai hukum Islam di antaranya kaum fakir miskin. Fakir adalah penyandang masalah ekonomi berat karena tidak berpenghasilan. Orang miskin memiliki penghasilan, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. ”Saat ini, kebutuhan pokok itu sudah bukan saja sandang, papan, pangan, tetapi juga pendidikan dan kesehatan,” katanya.
Ketika korban kekerasan dan keluarganya terpuruk karena kejadian yang menimpanya sehingga sandang, papan, pangan, pendidikan serta kesehatannya tak terpenuhi dengan baik, zakat bisa diberikan.
Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, yang menulis buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sebelumnya menegaskan bahwa korban kekerasan seksual dapat pula masuk kategori asnaf (penerima zakat) fi sabilillah. ”Sebab, mereka adalah orang-orang yang berjuang. Berjuang mempertahankan hidupnya,” katanya.
Pribudiarta Nur Sitepu mendukung gagasan ini dan KemenPPPA berniat mengadopsi penggunaan zakat untuk korban kekerasan seksual di tingkat nasional dan ditularkan ke daerah lain di Indonesia. Di sisi lain, ia menyatakan biaya penanganan korban kekerasan sangat mahal. Maka, pencegahan menjadi penting.
Apakah dana publik seperti zakat bisa juga untuk pembiayaan program-program edukasi dan sosialisasi anti kekerasan maupun kekerasan seksual yang masif? Kontekstualisasi zakat untuk kepentingan publik yang lebih universal, seperti saran Hamim dan Mukhaer, layak segera diterapkan. Semoga.
Baca Juga: Menjadi Rumah bagi Anak-anak Yatim Korban Pandemi