Mendorong Fatwa Zakat untuk Membantu Korban Kekerasan Seksual
Semua pihak harus mendorong lembaga fatwa, baik itu di Muhammadiyah maupun MUI, serta lembaga-lembaga berwenang lain untuk mengeluarkan fatwa zakat bagi korban kekerasan seksual, khususnya anak dan perempuan.
Oleh
neli triana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya memerangi kekerasan seksual dan membantu pemulihan psikis serta fisik para korbannya, terutama anak-anak serta perempuan, terus dilakukan banyak pihak. Salah satu terobosan yang tengah didorong adalah penggunaan zakat untuk membantu korban kekerasan seksual.
Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta bekerja sama dengan Protection Internasional dan Pimpinan Cabang IMM Ciputat pada Minggu (28/11/2021) menggelar webinar 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) bertajuk ”Zakat bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan & Anak: Women Human Right Defenders (WHRD) sebagai Asnaf fi Sabilillah, Perspektif Mahasiswi/a”.
Dari keterangan pers yang diterima Kompas, Senin (29/11/2021), webinar tersebut termasuk dalam rangkaian ”16 Minggu Gerakan Zakat Nasional; Mulai dari Muzakki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”. Itu sekaligus menyongsong Hari Perempuan Pembela HAM yang diperingati setiap 29 November.
Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Ciputat Mizan Al A’raaf dalam sambutannya sebelum diskusi dimulai mengecam segala bentuk kekerasan seksual. Ia berharap Muhammadiyah bisa menjadi aktor utama dalam mengatasi berbagai permasalahan umat, khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Kita harus mendorong lembaga fatwa, baik itu di Muhammadiyah maupun MUI, serta lembaga-lembaga berwenang lainnya untuk mengeluarkan fatwa zakat bagi korban kekerasan,” ujarnya.
Damairia Pakpahan, Country Representative Protection International of Indonesia, menguraikan tentang orang-orang yang layak disebut sebagai pembela hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya perempuan pembela HAM (WHRD). Menurut dia, memberi dukungan terhadap WHRD menjadi penting. Sebab, mereka rentan mendapat stigma negatif atas apa yang telah diperjuangkannya.
”Perempuan pembela HAM rentan berbagai stigma, mendapatkan diskriminasi dan kekerasan atas perjuangan yang ia lakukan. Karena itu, penting membuat dukungan bagi mereka,” ujarnya ketika memberikan pidato kunci dalam webinar kemarin.
Zakat itu tidak hanya mengenai delapan golongan yang lama saja, tetapi juga harus ada pemaknaan-pemaknaan baru, siapa sebenarnya yang layak mendapatkan zakat.
Alimatul Qibtiyah dari Komisi Nasional Perempuan sebagai narasumber dalam webinar mengawali sesinya dengan mengapresiasi kehadiran buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang ditulis Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan, Institut Teknologi Bisnis–Ahmad Dahlan Jakarta (PSIPP ITB-AD Jakarta).
Ia menilai isu yang diangkat dalam buku ini segar, data dan analisisnya pun kuat, serta menawarkan solusi bagi para korban. Buku tersebut turut mendorong munculnya diskusi publik dan menawarkan solusi dalam mengatasi kekerasan seksual pada anak dan perempuan.
”Dari perspektif media, ada cerita film yang memudahkan pembaca memahami isu. Buku ini saya bawa dan saya usulkan ketika di Lombok saat ada kasus kekerasan seksual, pesantren yang mendampingi korban berhak menerima zakat untuk korban,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, WHRD menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Demi kemaslahatan umat, lanjut Alimatul, jangan takut untuk melakukan ijtihad. ”Mari kita mulai berfikir dan mengimplementasikan zakat kita untuk para korban,” kata Alimatul.
Dalam perspektif fikih, narasumber lainnya, Dr Nur Achmad (Mudir Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo), memaparkan konsep wal-mu`allafati qulụbuhum, yakni orang-orang yang sedih dan bimbang hatinya. Menurut dia, korban kekerasan seksual dapat digolongkan dalam konsep tersebut karena keberadaan mereka yang acap kali ditolak dan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sehingga hatinya menjadi sedih.
”Jadi, kalaupun korbannya kaya, tapi hatinya sedih, definisi ini bisa dipakai,” kata Nur Achmad.
Lebih lanjut, Nur Achmad menjelaskan beberapa asnaf atau golongan penerima zakat dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pertama, jika seseorang itu menjadi korban kekerasan dan juga miskin, para korban tersebut termasuk kategori fakir dan miskin.
Kedua, mereka yang berjuang demi hidup para korban yang selama ini mungkin diabaikan negara. Maka, pembela HAM dapat dikategorikan dalam asnaf fi sabilillah sehingga dana zakat dapat diberikan kepada mereka. Untuk perjuangan hidup dan aktivisme mereka.
Ketiga, riqab dalam artian korban perbudakan seksual modern saat ini, ataupun perdagangan anak ataupun perempuan. Dana zakat dapat digunakan supaya mereka bisa terbebas dari eksploitasi seksual tersebut sehingga menjadi manusia yang merdeka. Keempat, para korban kekerasan yang terlilit utang serta tidak mampu membayarnya. Dari delapan golongan penerima zakat, mereka ini termasuk kategori gharim dalam makna yang lebih luas.
”Korban dan pembela korban, maka ia masuk asnaf fakir, miskin, fi sabilillah, riqab, dan wal-mu`allafati qulụbuhum. Orang-orang yang galau hatinya, tertekan jiwanya agar mereka bisa setara dan bangkit,” katanya.
Yulianti Muthmainnah dalam diskusi tersebut turut menyampaikan beberapa hal penting di balik peringatan 16 HAKTP. Pertama, penting menggalang solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Kedua, penting mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para korban, survivor, penyintas, termasuk pembela HAM.
”Dan, kita juga penting mengajak sebanyak mungkin orang terlibat aktif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam segala lini,” ujarnya.
Menurut Yulianti, perempuan pembela HAM (WHRD) apabila ditinjau dari delapan golongan penerima zakat, mereka masuk kategori fi sabilillah. ”Kenapa mereka masuk ke dalam asnaf fi sabilillah? Sebab, mereka adalah orang-orang yang berjuang. Berjuang mempertahankan hidupnya,” katanya.
Perjuangan-perjuangan mereka itu penting diapresiasi dan penting didukung oleh lembaga-lembaga filantropi. Tak kalah penting juga untuk mengajak semua orang supaya melakukan dekonstruksi, bacaan ulang terhadap asnaf zakat.
”Zakat tidak hanya mengenai delapan golongan yang lama saja, tetapi juga harus ada pemaknaan-pemaknaan baru, siapa sebenarnya yang layak mendapatkan zakat,” kata Yulianti.