Dulu, Kini, dan Masa Depan Anak-anak Perempuan di Belantara Kota
Indonesia kini punya banyak contoh perempuan sukses dan berdampak besar bagi sesama, seperti Sri Mulyani dan Retno Marsudi. Namun, secara umum dan bahkan di perkotaan, kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan.
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Tokoh perempuan Indonesia, Sri Mulyani, pernah menyatakan bahwa kesetaraan gender tidak hanya penting dari sisi moralitas, keadilan, tetapi juga sangat penting dan relevan dari sisi ekonomi. Jaminan kesetaraan gender yang dimulai sejak anak-anak hingga dewasa menjadi penentu sukses suatu negara.
Dalam tulisannya di blog Bank Dunia, Sri Mulyani dan Retno Marsudi menyatakan bahwa mereka cukup beruntung, karena sejak kecil selalu mendapat dukungan dan terjamin pemenuhan hak-haknya, seperti hak atas pendidikan layak. Keduanya merasakan dampak sikap orangtua maupun kepala sekolah serta guru-gurunya di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang menekankan anak perempuan dan anak laki-laki memiliki hak yang sama untuk belajar serta berprestasi.
Kedua anak perempuan itu, kini menjadi Menteri Keuangan perempuan pertama dan Menteri Luar Negeri perempuan pertama yang dimiliki Indonesia.
Pada Hari Anak Perempuan Internasional yang diperingati pekan ini, tepatnya pada 11 Oktober lalu, kisah sukses Sri Mulyani dan Retno Marsudi pantas dijadikan contoh begitu besarnya peluang perempuan Indonesia untuk menjadi yang terbaik di bidangnya.
Apalagi saat ini, jumlah penduduk perempuan di Indonesia nyaris sama banyak dengan laki-laki. Sensus Penduduk 2020 menunjukkan, dari total 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia, rasio perempuan dan laki-laki adalah 100 : 102. Sebanyak lebih dari 80 juta jiwa dari total penduduk adalah mereka yang berusia 0-19 tahun.
Namun, tanpa hingar bingar selebrasi, Hari Anak Perempuan Internasional kali ini justru memperlihatkan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, baik di kelompok anak-anak maupun orang dewasa, masih perlu diperjuangkan. Dampak pandemi yang memicu banyak pembatasan aktivitas dan mendongkrak angka kemiskinan turut menambah tantangan baru dalam upaya mencapai kesetaraan gender.
Unicef dalam laporan Situasi Anak di Indonesia 2020 mencatat, Indonesia memang telah mewajibkan alokasi 20 persen dari anggaran nasional untuk sektor pendidikan. Akan tetapi, kenyataannya, belanja pendidikan pada 2018 hanya menyumbang 10 persen dari total belanja pemerintah. Investasi untuk barang publik, khususnya pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, air, dan sanitasi dinilai belum memadai.
Unicef memperkirakan 90 persen anak, khususnya anak dan remaja perempuan, pernah mengalami suatu bentuk kemiskinan dalam hidupnya.
Walau kurang maksimal, berbagai kebijakan mampu mengurangi kemiskinan 13,3 persen di tahun 2010 menjadi 9,8 persen tahun 2018. Sayangnya, angka itu dipastikan terkoreksi lagi dua tahun terakhir karena pengaruh dampak pandemi. Di sisi lain, angka kemiskinan yang berkurang tidak berarti ketimpangan berangsur hilang.
Jika kemiskinan anak diukur dari semua aspek kehidupan, yaitu dari besar pendapatan keluarga, angka bertahan hidup anak, peluang pendidikan, gizi, keamanan, dan lainnya, Unicef memperkirakan 90 persen anak, khususnya anak dan remaja perempuan, pernah mengalami suatu bentuk kemiskinan dalam hidupnya.
Hal itu terjadi karena kemiskinan tidak bersifat permanen atau selalu menimpa berkepanjangan. Orang atau rumah tangga dapat mengalami kemiskinan dalam periode waktu tertentu karena berbagai sebab dan sangat mungkin tak tercatat dalam data tahunan lembaga tertentu. Di Indonesia, 9 dari 10 anak berpotensi terdampak kemiskinan karena tertutupnya akses dalam hal pemenuhan makanan dan gizi, kesehatan, pendidikan, rumah, air, sanitasi, dan perlindungan anak.
Masyarakat perkotaan di Indonesia masih lebih baik karena berada di kawasan pusat perekonomian dengan berbagai fasilitas publik yang lebih lengkap. Dengan kondisi itu, Unicef menyatakan hanya 7 persen rumah tangga perkotaan yang terdampak kemiskinan. Di perdesaan angka itu naik hingga 13 persen. Meskipun tidak setinggi di perdesaan, kemiskinan di perkotaan Indonesia masih salah satu yang tertinggi di Asia Timur dan Pasifik. Dari sisi jumlah, 31-41 persen anak miskin di Indonesia tinggal di perkotaan.
Tren kemiskinan di perkotaan berpeluang terus naik seiring urbanisasi yang terus terjadi di Indonesia. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan, urbanisasi di tingkat nasional sudah mencapai 66,6 persen yang berarti lebih dari separuh wilayah administrasi kependudukan berkembang menjadi kawasan perkotaan.
Urbanisasi yang pesat, rata-rata belum diimbangi pembangunan infrastruktur seperti sanitasi, pengendalian mutu udara, dan transportasi publik. Hak dasar anak termasuk hidup di lingkungan yang aman dan sehat pun terganggu.
Pencemaran udara adalah satu dari tiga faktor risiko utama kematian anak di Indonesia. Pada anak, efek polusi udara lebih signifikan karena paru-paru mereka masih berkembang hingga usia 12 tahun dan anak membutuhkan oksigen dua kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Selain itu, anak cenderung menghabiskan waktu lebih lama di luar ruangan berkegiatan fisik dibandingkan orang dewasa, sehingga lebih banyak pula menghirup udara yang tercemar.
Tantangan anak-anak miskin perkotaan kian bertambah jika pembangunan kawasan urban tak juga membaik di tahun-tahun mendatang. Pada 2030, Jakarta diperkirakan menjadi kota terpadat di dunia. Kondisi ini akan menimbulkan masalah lebih besar, antara lain seputar pencemaran air dan udara. Hal-hal ini akan mengarah pada peningkatan angka penyakit dan penularan penyakit melalui air pada anak.
Saat ini saja, polusi udara di Jakarta dan kota besar lain sudah masuk kategori buruk. Anak-anak dalam usia tumbuh kembang akan menanggung dampak terberat, antara lain berupa penyakit pernapasan dan hambatan pertumbuhan. Hal ini berkorelasi dengan tren global yang menunjukkan bahwa pertumbuhan masif kota-kota di dunia bertanggungjawab atas 85 persen kegiatan perekonomian. Di sisi lain, tren itu menyumbang 75 persen emisi gas rumah kaca global.
Di luar itu, di perkotaan akses pendidikan untuk masyarakat miskin memang lebih terbuka. Apalagi ada program sekolah gratis dan subsidi bagi anak usia sekolah untuk menutup kebutuhan di luar uang pendidikan. Namun, terkungkung dalam serba kekurangan tetap membuka lebar risiko anak perempuan untuk menikah atau dinikahkan dini demi alasan ekonomi, menjadi korban kekerasan, serta tercabut hak pendidikannya, hingga sulit mengakses makanan bergizi dan layanan kesehatan. Hal ini karena budaya patriarki yang masih dianut sebagian masyarakat Indonesia.
Di DKI Jakarta misalnya, angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, dan SMP cenderung fluktuatif. Nilai APK untuk PAUD tahun 2019 misalnya, hanya 20,35 persen. Di tingkat SD/SMP yang sederajat cenderung stabil. Untuk sekolah menengah (SMA/SMK/Paket C) sederajat terus meningkat dalam 5 tahun terakhir dengan nilai tertinggi pada tahun 2019 sebesar 99,18 persen. Akan tetapi, ada hampir 1 persen anak usia sekolah menengah yang tidak bersekolah. Itu menjadi catatan mengganggu untuk kota metropolitan paling maju se-Indonesia ini.
Terkait kekerasan, pada 2020 terdapat 947 korban di DKI yang mencakup 385 anak perempuan, 109 anak laki-laki, dan sisanya perempuan dewasa. Setiap bulannya sepanjang tahun lalu, ada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, trafficking, dan kasus lainnya. Dari data itu, anak perempuan pun terlihat menjadi sasaran kekerasan paling empuk.
Kekerasan diyakini banyak berkorelasi dengan rumah tangga yang mengalami kesulitan keuangan, meskipun tidak terjadi di semua kasus. Akan tetapi, mereka yang mengalami kekerasan ini rata-rata “miskin” akses pada hak atas perlindungan diri dan hukum serta informasi terkait hal tersebut.
Berpijak dari berbagai fakta bahwa kota adalah pusat populasi manusia sekaligus motor perekonomian dan pusat berbagai masalah sosial juga pemicu kerusakan Bumi, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB pun memasukkan kota sebagai titik masuk melakukan perubahan radikal demi mengatasi berbagai isu.
Unicef menyatakan, di Indonesia, jalur menuju pembangunan berkelanjutan dapat ditentukan oleh kebijakan mengelola tren urbanisasi dan implikasinya, khususnya yang berkait kesehatan dan kesejahteraan anak. Memastikan kesetaraan gender terwujud termasuk menjadi penentu berhasil tidaknya pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan itu, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, harus menganut prinsip utama pembangunan manusia berbasis kesetaraan gender. Prinsip utama itu, yaitu memastikan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki banyak pilihan dalam hidupnya, menyadari potensi pada dirinya, dan kebebasan menjalani kehidupan secara terhormat dan berharga. Untuk mencapai prinsip utama itu, kesetaraan gender menjadi indikator yang tidak dapat diabaikan.
Dengan dipenuhinya prinsip tersebut, belantara perkotaan maupun perdesaan akan menjadi ladang penuh peluang baik bagi semua anak, khususnya anak-anak perempuan yang selama ini belum sepenuhnya diakui setara. Kembali pada kisah gemilang Sri Mulyani dan Retno Marsudi, betapa dahsyat hasilnya bagi masyarakat dan bangsa, jika puluhan juta jiwa anak perempuan Indonesia mendapat peluang dan dukungan yang sama.