Pada saat parasetamol di Teluk Jakarta disorot berbagai lembaga, aneka limbah terus mengaliri sungai dan laut. Di London, ”fatberg” menyumbat drainase kota di tengah warga yang terus membuang tisu pembersih di toilet.
Oleh
neli triana
·4 menit baca
Sekitar enam bulan lalu, fatberg seberat 330 ton ditemukan di saluran pembuangan di Birmingham, Inggris. Laporan berseri di BBC menyebutkan, hal serupa ditemukan berulang di London setidaknya sejak 2017. Pada tahun yang sama, perkara Teluk Jakarta yang tercemar logam berat sampai parasetamol terungkap.
Fatberg adalah tumpukan beku material berupa lemak dan minyak, tisu basah bekas pakai, popok, kondom, dan limbah-limbah lain. Hasil riset yang dikutip The New York Times menyatakan, ada kokain dan ketamin juga gigi palsu di dalam tumpukan beku itu.
Rupanya, warga kota-kota besar di Inggris itu masih sewenang-wenang membuang residu rutin non-alami via saluran toilet dan dapurnya. Membersihkan diri seusai buang air dengan tisu basah membuat mereka merasa bersih higienis. Itu kian terasa mudah ketika tinggal tekan tombol siram, kotoran dan tisu basah bekas pakai menghilang cepat.
Sisa konsumsi produk mengandung minyak dan lemak pun paling mudah langsung dibuang ke saluran pembuangan di rumah. Mereka tak mengira sisa konsumsi sehari-hari yang berlemak, dari makanan atau aktivitas lain dalam jumlah besar di saluran air dapat membeku bersamaan saat suhu rendah. Segala sesuatu yang ada bersamanya, termasuk kotoran manusia, memadat dan menutup sempurna aliran pembuangan.
Yang membuat warga bergidik dan petugas kebersihan kota sebal tak terkira adalah kemungkinan limbah cair bakal meluap sewaktu-waktu ke jalanan jika fatberg tak segera dibasmi. Bisa dibayangkan aroma dan betapa menjijikkannya Kota London saat itu terjadi.
Petugas pun memakai berbagai cara mencegah bencana dengan mencairkan fatberg dan menghancurkannya hingga menjadi potongan-potongan kecil yang mudah dievakuasi dan diproses di tempat lain. Butuh berminggu-minggu untuk mengatasi fatberg di satu lokasi sampai aliran limbah di titik itu lancar kembali.
Temuan fatberg ini membuat pemerintah kota kembali mengampanyekan pentingnya membuang sampah rumah tangga dan tempat usaha di tempat yang tepat. Hanya tisu yang bisa larut dalam air beserta kotoran dan urine manusia yang boleh dibuang ke dalam toilet. Pembuangan berbagai produk berlemak atau berminyak harus dalam kondisi padat atau beku di tempat sampah, bukan dituangkan ke saluran air.
Limbah terus mengalir ke badan Ciliwung dan kali-kali lain yang akhirnya menyatu di ”comberan” besar Teluk Jakarta. Logis saja jika tiap ada riset baru akan menemukan kontaminan berbeda di sana.
Mendukung kampanye itu, pada 2018, potongan-potongan fatberg dipamerkan di museum setempat. Imbas gaya hidup metropolitan Inggris bergelimang fasilitas publik memadai tetapi ternyata masih serampangan dengan lingkungannya dipertontonkan terbuka kepada publik. Harapannya, orang-orang urban itu malu, sadar, dan lantas mau berubah.
Namun, fatberg justru terus ditemukan. Dari temuan pertama berupa tumpukan beku sepanjang 250 meter empat tahun lalu di salah satu titik saluran buang di London, temuan-temuan terbaru menunjukkan fatberg dengan besaran yang berbeda-beda di lokasi lain.
Mike Michael dari Departemen Sosiologi, Filsafat, dan Antropologi Universitas Exeter, Inggris, dalam risetnya menyatakan, isu fatberg ini perlu diatasi dari berbagai aspek. Selain upaya mengubah budaya warga, budaya dalam penyelenggaraan fasilitas publik pun perlu beradaptasi dengan era yang berubah.
Pendekatan berbeda dalam penyediaan fasilitas publik hingga pengelolaan dan perawatan rutin, dalam hal ini saluran pembuangan dan pengelolaan limbah perkotaan, diperlukan seiring dinamika kehidupan warga yang terus berubah. Bahkan untuk kota sekelas London dengan 8,9 juta penduduk yang terbilang jauh lebih baik fasilitas publiknya dibandingkan banyak kota metropolitan lain secara global, terbukti masih ada kesenjangan antara yang tersedia dan tuntutan kebutuhan publik.
Di sisi lain, gaya hidup hijau yang akhir-akhir ini diyakini kian merebak ternyata belum sungguh-sungguh mendominasi kehidupan di kota besar yang maju dan modern. Perlu ada program-program pemicu berupa infrastruktur, baik fisik maupun non-fisik, guna mendorong transformasi layanan publik hijau dan gaya hidup hijau yang mendasar hingga urusan kebersihan pribadi.
”Comberan” Teluk Jakarta
Jika London sedang pusing dengan isu fatberg, di Jakarta justru sudah sangat terbiasa dengan sedimentasi di saluran-saluran pembuangan juga di sungai-sungainya sejak puluhan tahun lalu. Endapan sampah, limbah, bercampur lumpur terkadang membuat sungai menyempit dan mendangkal. Di banyak tempat, ”reklamasi” tanpa sengaja ini seperti menyediakan lahan untuk diokupasi menjadi tempat tinggal maupun tempat usaha.
Kebobrokan kualitas 13 sungai di Ibu Kota mengalir hingga ke muara di Teluk Jakarta. Sungai lain di wilayah Tangerang, Banten, dan Bekasi, Jawa Barat, pun sebagian berhilir di teluk ini. Perlakuan kedua wilayah tetangga Jakarta itu tak kalah buruknya terhadap sungai dan laut.
Temuan kandungan parasetamol oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hasil riset 2017-2018 yang diungkap ke publik baru-baru ini sekadar melengkapi data faktual betapa rusaknya Teluk Jakarta. Anehnya, sebagian masyarakat seperti terkaget-kaget mengetahui informasi itu. Padahal, sebelum parasetamol, temuan logam berat di Teluk Jakarta sudah lebih dulu dirilis.
Di luar pencemar yang tak kasatmata itu, sampah plastik, popok bayi, pembalut, juga limbah cair rumah tangga, limbah pabrik skala kecil sampai besar terlihat terus mengalir ke badan Ciliwung dan kali-kali lain yang akhirnya menyatu di ”comberan” besar Teluk Jakarta. Logis jika tiap ada riset baru akan menemukan kontaminan berbeda lagi di sana.
Merespons kondisi sungai-sungai dan Teluk Jakarta, penanganan terhadap sungai dan teluk di Ibu Kota ini baru sebatas mengeruk sedimen dan memperlebar badan air dengan cara betonisasi. Penanganan limbah terpadu boleh dibilang baru taraf sangat awal dengan hadirnya Perusahaan Daerah Pengolahan Air Limbah Jaya (PD PAL Jaya), badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta, sekitar 5 tahun terakhir.
Bentuk program dan layanan BUMD yang dirintis sejak 1977 itu berupa revitalisasi tangki septik rumah tangga sampai pengolahan limbah tempat usaha, juga di tempat-tempat umum dan air daur ulang. Namun, dengan sekitar 11 juta penduduk Jakarta di lahan seluas 661 kilometer persegi, cakupan layanan PD PAL Jaya masih sangat kecil.
Seperti halnya London yang menyuguhkan kenyataan kota itu butuh pembaruan fisik dan non-fisik melalui isu fatberg, Jakarta bahkan sudah meneriakkan kondisi kritis yang dihadapinya sejak bertahun-tahun silam. Hanya saja, upaya mengatasi isu lingkungan, khususnya terkait sungai dan laut Jakarta ibarat baru sebatas menelan obat penahan nyeri. ”Tumor ganas” limbah yang meracuni dan menggerogoti mutu perairan Jakarta masih mengganas dan semakin membahayakan belum tertangani.
Bagaimanapun, berbagai diskusi dan wacana sampai rencana pemanggilan perusahaan farmasi untuk mengendalikan pembuangan limbah parasetamol ke sungai dan laut Jakarta yang kini digulirkan, merupakan respons yang patut diapresiasi. Semoga terealisasi. Namun, yang lebih penting, perlu ada segera upaya-upaya lebih masif, cepat, dan komprehensif mengatasi isu lingkungan di perairan Ibu Kota sekaligus penanganan semua limbahnya.
Perang melawan limbah mau tak mau harus dikobarkan. Berpacu dengan waktu di tengah dinamika jutaan warga, sumbatan-sumbatan fatberg butuh dienyahkan dari sistem drainase London dan ”kanker” limbah di Teluk Jakarta butuh dijinakkan. Jika terus terlambat beraksi, detak kehidupan di kedua kota adalah taruhannya.