Antara Pantai Pasir Putih Kita Maju dan Kisah Teluk Tokyo
Area hasil reklamasi di Teluk Jakarta kini banyak dilirik. Sebelumnya cerita serupa muncul di Teluk Tokyo. Kreasi manusia itu diapresiasi pun dikritik, terutama karena perawatan dan penanggulangan dampaknya yang menerus.
Sore-sore saat cuaca cerah dan surya mulai condong ke barat, lintasan Jalasena di Pantai Maju, Jakarta Utara, menggoda untuk dijelajahi. Jalur Jalasena, singkatan dari ”jalan sehat dan sepeda santai” sepanjang 3,2 kilometer berada di kawasan hasil reklamasi yang dulu dikenal sebagai Pulau D.
Jalasena yang pembangunannya diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhir 2018 dan mulai dimanfaatkan publik pertengahan 2019 menjadi bagian dari branding area reklamasi yang adalah milik bersama. Ini menepis informasi bahwa lahan buatan seluas 312 hektar itu murni dikuasai pengembang swasta.
Jalur masuk utama ke Pantai Maju diakses melintasi Pantai Indah Kapuk (PIK) dan melewati jembatan ke area reklamasi. Untuk mencapai PIK, ada pintu tol tersendiri yang langsung mengarahkan kendaraan dari berbagai penjuru ke jantung kawasan ini.
Jalasena paling mudah diakses dari Gerbang Jalasena yang gampang dicari via Google Maps. Di sekitar gerbang terdapat fasilitas kamar kecil dan mushala, lahan parkir, dan minimarket serta tempat makan.
Lintasan jalan selebar 3 meter ini dilengkapi pot-pot beton besar, sayangnya pohonnya belum tumbuh besar. Setiap beberapa ratus meter tersedia tempat bernaung untuk duduk-duduk. Jalasena terletak, tepatnya, di sisi pulau reklamasi yang berdekatan atau berhadapan dengan PIK. Masih ada sebagian besar area Pantai Maju yang belum terjamah oleh proyek jalur jalan santai ini.
Sambil melenggang di Jalasena, baru disadari jalur ini semacam tanggul keliling setinggi sedikitnya 3 meter dari daratan reklamasi. Permukaan laut ada di bawah jalur ini. Sepanjang mata memandang, kompleks hunian dan area komersial mengisi sebagian hamparan Pulau D. Sejumput hutan bakau turut menghijaukan sebagian sisi pulau buatan tersebut.
Menelusuri di mesin pencari, Pantai Maju disebut juga Golf Island. Seperti namanya, fasilitas golf cukup besar tersedia di sana. Di samping itu, ada pusat bisnis dan kuliner, perumahan, ruang terbuka hijau maupun biru berupa danau-danau kecil. Dalam salah satu situs jual beli rumah, satu unit hunian bertingkat dua dengan empat kamar tidur di lahan seluas 90 meter persegi dijual seharga Rp 3 miliar.
Pengembangan serupa ditemukan di Pantai Kita yang dulu disebut Pulau C. Pantai Kita bersebelahan dengan Pantai Maju yang dihubungkan dengan jembatan. Sekilas belum banyak bangunan atau fasilitas fisik yang telah difungsikan di area seluas sekitar 109 hektar itu.
Reorganisasi perkotaan Tokyo yang muncul sejak 1950-an dengan reklamasi merupakan upaya pengendalian penyebaran kota-kota modern yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi. Ide itu lantas disebut sebagai ’utopia perkotaan’ yang muncul seusai perang.
Yang terasa menonjol di Pantai Kita justru ruas jalan menuju jembatan penghubung ke kawasan Pantai Pasir Putih. Dari berbagai pemberitaan, seperti di Kompas.com, pantai ini bagian dari pengembangan Pantai Indah Kosambi (PIK) atau PIK 2 yang disebut masih bagian dari PIK di Jakarta Utara.
Di Pantai Pasir Putih yang secara administrasi berada di kawasan Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten, proyek pembangunan tampak masif. Ruas aspal yang lurus mulus lebar menghubungkan antarlahan proyek. Rabu (15/9/2021), mendekati proyek kompleks apartemen, antrean truk mengangkut tanah memanjang hingga beberapa ratus meter.
Selain gedung-gedung hunian tinggi, dari tulisan yang tertera di pagar keliling ataupun di papan proyek, di sana akan berdiri kompleks Pusat Keuangan Syariah Internasional. Informasi ini terkonfirmasi pula dari laman Kementerian Agama yang memberitakan pemancangan perdana proyek Menara Syariah pada 8 Desember 2019.
Pasir Putih baru-baru ini menyita perhatian karena menyedot orang berbondong-bondong datang. Ruang terbuka di tepi laut itu pun kini ditutup demi menghindari kerumunan.
Pantai Maju, Pantai Kita, dan Pantai Pasir Putih mencerminkan geliat di Ibu Kota dan sekitarnya yang nyaris tidak terimbas lesunya roda perekonomian akibat pandemi Covid-19.
Utopia perkotaan Jepang
Gairah pembangunan di Teluk Jakarta itu mengingatkan pada kesibukan proyek yang terjadi di sebagian pesisir Jepang sejak bertahun-tahun silam. Dalam buku Japan in the 21st Century: Environment, Economy, and Society, diungkapkan bahwa bangsa ini termasuk yang aktif dan produktif mengubah bentang alamnya. Dalam skala kecil, upaya mengubah aliran sungai, reklamasi di area pantai atau tepi danau, dan pengeprasan tanah tebing sudah ada di Jepang sejak sebelum abad ke-19.
Pada pertengahan abad ke-19 dan selama abad ke-20, disokong kemajuan teknologi, pembangunan di Jepang semakin masif. Sungai-sungai utama di sana disebut hampir semuanya telah mengalami modifikasi dengan pembangunan tanggul, bendungan, dan sodetan. Sama seperti pada masa sebelumnya, upaya merekayasa lingkungan itu terutama bagian dari ekstensifikasi dan intesifikasi pertanian yang dibutuhkan seiring pertumbuhan penduduk serta perkembangan kawasan perkotaan di Jepang.
Pada halaman 47-48 buku tersebut, di antaranya dituliskan bahwa Teluk Tokyo menjadi salah satu saksi dan obyek kreasi manusia demi segala tujuan mereka. Dari sejarah Odaiba, disebutkan pula, pada 200 tahun silam, reklamasi dimulai di Teluk Tokyo dengan menguruk sebuah lokasi kecil di laut dan membentuk lahan yang diberi nama Daiba atau benteng. Cikal bakal Odaiba tersebut hanya difungsikan untuk menempatkan persenjataan melawan agresor kala itu.
Pada masa kini, pulau reklamasi itu terus diperluas. Tahun 1990-an, dengan gelontoran 1 triliun Yen, menjadi kelahiran baru Odaiba yang ditandai proyek pembangunan pusat hunian untuk 100.000 orang, pusat bisnis, serta hotel-hotel mewah. Namun, rencana itu meleset. Pada akhir abad ke-20, Odaiba justru menjadi sentra hiburan dengan sederet pusat belanja modern, pusat konvensi, dan pusat industri kreatif.
Baca Juga: Menolak Hanyut dalam Pemeringkatan Kota-kota Dunia
Kembali ke buku Japan 21st Century, disebutkan pula bahwa mengubah bentang alam demi keuntungan manusia ternyata berbuah kerugian lain. Pembangunan kawasan urban dan industri di Yokohama, misalnya, telah menyebabkan Sungai Kashio terganggu dan memunculkan banjir berkala. Di kawasan perkotaan lain, termasuk Tokyo, pun sama.
Guna menanggulangi banjir, terutama di daerah muara sungai, Jepang akrab dengan pembuatan bendungan di area hulu. Adanya bendungan ini ternyata menghambat pasokan pasir secara alami ke daerah hilir. Akibatnya, pantai yang kekurangan asupan pasir dari hulu dan menerima gempuran air laut akan mengalami percepatan abrasi. Pada saat bersamaan, pantai telah terganggu dengan okupasi untuk hunian manusia atau kegiatan lain.
Terobosan yang dipilih kemudian adalah pembuatan pemecah ombak yang biasa disebut tetrapods atau beton berkaki empat. Sesaat, masalah sepertinya teratasi. Namun, tetrapods bukanlah benda yang tak tergoyahkan. Hantaman ombak, laju pasang surut, dan badai menggerusnya. Dalam kurun tertentu akan selalu dibutuhkan banyak tetrapods baru.
Ini seperti rantai yang susah diputus. Semakin banyak perubahan dilakukan akan kian meminta lebih banyak upaya penanggulangan, memakan waktu lama, dan tentunya biaya membengkak.
Dalam jurnal ”The Issue of Tokyo Bay’s Reclaimed Lands as the Origin of Urban Utopias in Modern Japanese Architecture” oleh Raffaele Pernice dipaparkan bahwa ide reorganisasi perkotaan Tokyo yang muncul sejak 1950-an dengan reklamasi merupakan upaya pengendalian penyebaran kota-kota modern yang didorong pertumbuhan ekonomi. Ide itu lantas disebut sebagai ”utopia perkotaan” yang muncul seusai perang.
Menurut Pernice, utopia perkotaan Jepang berbeda dari yang dipahami di dunia Barat. Utopia perkotaan Barat yang lahir semasa Revolusi Industri adalah mimpi ideal memadukan bentuk perkotaan dan tatanan sosial yang komprehensif mengutamakan kesetaraan.
Baca Juga: Kabul dan Legenda ”Phoenix” yang Bangkit dari Kehancuran
Di Jepang, reklamasi dipilih menjadi bagian dari struktur mekanis dalam logika tatanan kapitalis. Dalam perkembangannya, reklamasi memunculkan banyak pendekatan teknologi modern yang mumpuni di banyak bidang ilmu. Namun, pembangunan untuk menumbuhkan pusat ekonomi baru juga memicu pertumbuhan perkotaan yang acak (urban sprawl) dan memicu banyak masalah di Jepang pada masa lalu.
Pada masa sekarang, Jepang dengan segala teknologinya dalam rekayasa perkotaan mungkin telah mampu menekan kerusakan lingkungan. Namun, semua itu dicapai setelah berbagai upaya dan ditempa pengalaman berpuluh tahun, bahkan berabad-abad.
Kembali ke Teluk Jakarta, sejak awal berbagai pertanyaan dan gugatan telah ditujukan bagi proyek reklamasi di sana. Kontroversi selalu muncul saat mempertanyakan sumber tanah urukan untuk area reklamasi juga asal pasir untuk menciptakan pantai pasir putih lembut, hingga implikasinya terhadap keseluruhan teluk yang juga muara 13 sungai di Jakarta itu.
Namun, untuk saat ini, Jalasena yang apik di tepian area reklamasi plus secuil pantai pasir putih buatan yang tampak manis sebagai latar belakang swafoto sepertinya telah memuaskan banyak pihak. Semua gugatan pun terasa kian samar gaungnya, menjadi makin tak terdengar. Entah di kemudian hari.
Baca Juga: Pesisir yang Terendam dan Prediksi Dunia Tahun 2040