BTS Bus Kita Trans Pakuan Janjikan Wajah Baru Angkutan Umum di Kota Bogor
Pengoperasian armada Bus Kita Trans Pakuan dengan sistem ”buy the service” mulai Selasa (2/11/2021) memberikan angin segar dalam perbaikan layanan angkutan umum di Kota Bogor, Jawa Barat.
BOGOR, KOMPAS — Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dan Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, meluncurkan program layanan angkutan umum buy the service atau BTS, Selasa (2/11/2021). Kehadiran layanan angkutan publik yang disubsidi pemerintah ini diharapkan mampu membawa budaya baru bertransportasi dan penataan transportasi publik yang lebih baik.
Saat peluncuran, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, persiapan pengoperasian Bus Kita Trans Pakuan melalui proses yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat yang memberikan anggaran untuk subsidi.
Baca juga: Kota Bogor Mulai Program Pengurangan Jumlah Angkot
”Ini menjadi babak baru dari hasil kekuatan konsep kolaborasi kita. Namun, konsep ini masih harus terus dikawal. Kita mengaspal bertahap, sementara di koridor 5. Sampai akhir tahun akan ada 49 bus beroperasi di 6 koridor,” kata Bima.
Dalam uji coba BTS Bus Kita Trans Pakuan, untuk sementara melayani koridor 5, yaitu rute Ciparigi, Warung Jambu, Ahmad Yani, Air Mancur, fly over Martadinata, Merdeka, Jembatan Merah, dan Stasiun Kota Bogor. Kemudian dari Stasiun Bogor kembali menuju Ciparigi melalui rute Jalan Juanda, Sudirman, Pemuda, Warung Jambu, Sholeh Iskandar, Talang, dan Simpang Pomad.
Sejumlah 49 bus diproyeksi menggantikan angkot-angkot di Kota Bogor dengan skema konversi 3:1 atau tiga angkutan kota (angkot) diganti satu bus. Kehadiran 49 bus dari BPTJ itu akan menggantikan 147 angkot. Konversi 3:1 atau reduksi angkot itu sejalan dengan program layanan angkutan umum BTS.
Bis KitaKonsep konversi ini harus jujur dan adil. Jujur bahwa betul-betul konversi 3 angkot jadi 1. Adil, tidak ada yang ditinggalkan. Pengemudi angkot semaksimal mungkin kita rekrut untuk menjadi pengemudi bus atau mekanik dengan ketentuan syarat,” lanjutnya.
Syarat itu seperti memiliki SIM B1, usia, dan pendidikan maksimal lulusan SMA. Namun, Bima tidak ingin syarat tersebut menjadi penghambat bagi para sopir angkot yang terdampak konversi.
Oleh karena itu, melalui program inisiasi Dishub Kota Bogor dan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT), mereka akan difasilitasi seperti mendapat ijazah kejar paket pendidikan hingga pelatihan untuk mendapat SIM B1.
Pelibatan para sopir angkot yang terdampak itu, kata Bima, sekaligus menepis kekhawatiran dan tudingan sejumlah kalangan yang menilai Pemkot Bogor bertindak tidak adil dan tega menghancurkan angkot, alih-alih dimanfaatkan ulang atau disumbangkan untuk keperluan bagi yang membutuhkan.
”Banyak yang bertanya kenapa angkotnya dihancurkan? Mendingan disumbangkan saja. Itu saya setuju. Tapi, semua harus paham, yang dihancurkan memang tidak laik jalan. Melihat angkot dirusak, mereka bilang, keterlaluan, kejam, tanpa melihat dan membaca penjelasannya,” kata Bima.
Sementara angkot laik jalan dipelathitamkan atau tidak diizinkan beroperasi karena masuk dalam kategori kendaraan tua di atas 15 tahun. Kendaraan yang dipelathitamkan itu pun kembali diserahkan ke pemilik atau badan hukum.
”Angkot yang diplathitamkan itu berpulang kepada pemilik dan badan hukum untuk dikembangkan ke hal lain selain angkot atau disumbangkan. Yang dibesituakan itu memang tidak laik jalan. Itu maksud saya jujur dan adil,” ujarnya.
Tantangan transportasi publik
Pelayanan BTS, menurut Bima, tidak hanya sekadar skema konversi, tetapi lebih jauh juga terkait penataan transportasi publik hingga memulai kebiasaan dan budaya baru. Dalam penataan masih banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dan dibenahi agar program BTS berjalan dengan baik.
Pemkot Bogor pun sadar bahwa program BTS tidak serta-merta langsung berdampak besar mengurangi kemacetan. Tantangan ke depan yang perlu segera dilakukan yaitu regulasi atau aturan pendukung agar program BTS tidak gagal di tengah jalan. Konsep pelayanan transportasi publik ini terus dievaluasi agar semakin matang.
Salah satu evaluasi dalam upaya penataan transportasi yaitu pengurangan angkot. Secara keseluruhan pada 2020 tercatat ada 3.412 angkot yang beroperasi. Pada 2021 ada sebanyak 3.100 angkot. Secara bertahap pada 2022, pemkot menargetkan jumlah angkot direduksi menjadi sekitar 3.066 kendaraan.
Jika melihat data jumlah angkot tersebut, kemacetan di Kota Bogor tidak bisa langsung teratasi karena rasio angkot masih cukup tinggi, yaitu 3.100 dengan populasi penduduk 1,1 juta. Adapun penggunaan transportasi pribadi juga cukup tinggi, yaitu 55 persen. Sementara penggunaan transportasi publik 26 persen dan transportasi daring 19 persen.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bogor Eko Prabowo menuturkan, selain melalui skema konversi, pengurangan angkot juga akan melalui skema pembatasan usia.
”Sesuai perencanaan, pada Januari akan mempertegas aturan batas usia untuk reduksi angkot. Kami akan mempertegas aturan. Batas usianya 10 tahun. Ini akan dipertegas dalam perda. Di atas usia 15 tahun akan dibesituakan atau dipelathitamkan,” lanjutnya.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Polana B Pramesti menuturkan, setelah melalui proses yang cukup panjang dari 2019, akhirnya di tengah pandemi Covid 19 Bus Kita Trans Pakuan hadir sebagai sebuah layanan angkutan umum massal dengan konsep bus rapid transit (BRT) di Kota Bogor.
Langkah ini merupakan upaya bersama BPTJ dan Pemerintah Kota Bogor dalam menghadirkan layanan angkutan umum massal sesuai standar pelayanan minimal melalui subsidi berbasis skema BTS.
Menurut Polana, pembenahan transportasi perkotaan di wilayah Bodetabek sangat mendesak. Namun, di sisi lain pemda memiliki banyak keterbatasan. Upaya BPTJ untuk menata transportasi publik ternyata sejalan dengan program Pemkot Bogor yang terpilih sebagai kota percontohan penerima subsidi dengan skema BTS.
”Kota Bogor memiliki komitmen membenahi transportasi perkotaan. Pemda umumnya memiliki keterbatasan untuk menyediakan layanan angkutan umum massal yang memiliki standar pelayanan baik. Maka dari itu perlu kolaborasi dan pusat hadir memberikan dukungan dalam bentuk subsidi BTS,” jelasnya.
Bus Kita Trans Pakuan dihadirkan dengan standar layanan yang jauh lebih baik dengan konsep BRT bersubsidi dibandingkan angkutan konvensional. Polana berharap, dukungan subsidi melalui skema BTS dari BPTJ bisa ditindaklanjuti Pemkot Bogor dengan kebijakan strategis agar layanan transportasi publik lebih tertata dan bisa menarik warga beralih ke transportasi publik sehingga permasalahan kemacetan perlahan bisa teratasi.
Kehadiran layanan Bus Kita Trans Pakuan dalam konteks kebijakan transportasi perkotaan, menurut Polana, harus diikuti dengan pull policy atau dari Pemkot Bogor. Kebijakan yang dimaksud tidak hanya untuk menarik minat masyarakat menggunakan angkutan umum, tetapi juga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi atau kebijakan yang mendorong persyaratan yang lebih ketat untuk kepemilikan kendaraan pribadi. Kebijakan push policy itu dinilai penting karena salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) yang harus dicapai pada tahun 2029. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
”Dalam aturan itu mengamanatkan pada 2029 persentase pergerakan manusia di Jabodetabek yang menggunakan angkutan umum sudah harus mencapai 60 persen. Sementara saat ini baru sekitar 28 persen,” kata Polana.
Lebih lanjut ia memaparkan data, pada tahun 2018 wilayah Jabodetabek memiliki 30 juta penduduk dengan 88 juta pergerakan per hari. Jika pergerakan sebanyak itu terlalu mengandalkan kendaraan pribadi, permasalahan kemacetan sulit teratasi.
Sementara itu, pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, juga menilai, BTS di Kota Bogor tidak bisa langsung menurunkan kemacetan. Menurut dia, perlu kebijakan dan strategi kuat oleh Pemkot Bogor agar BTS sukses sehingga ke depan akan berdampak pada pengurangan kemacetan.
Beberapa kebijakan sebagai dukungan menyukseskan BTS, kata Djoko, bisa dimulai dari lingkungan aparatur Pemkot Bogor untuk bergantian menggunakan Bus Kita Trans Pakuan ke kantor. Begitu pula untuk Wali dan Wakil Kota Bogor juga bisa menggunakannya.
”Langkah selanjutnya jika berani buat sistem contra flow di sekitar Istana Bogor atau di jalur lainnya yang memiliki lebar jalan yang luas. Bisa contoh penerapan di Solo. Lalu, perkuat sistem ganjil genap atau dipermanenkan agar arus lalu lintas tidak padat di jalur utama. Kemudian perlu lihat juga tarif parkir,” kata Djoko.
Baca juga: Bogor Jadi Kota Percontohan Program ”Buy the Service”
Djoko menilai BTS di Kota Bogor bisa berjalan sukses karena mendapat dukungan penuh oleh pemerintah pusat salah satunya dalam hal pembiayaan, tidak seperti program transportasi Trans Pakuan sebelumnya. Namun, kesuksesan ini perlu didukung semua pihak, termasuk melalui kebijakan dari Pemkot Bogor.
”Karena tujuan dari BTS ini tidak hanya soalnya kemacetan dan penataan transportasi, tetapi juga memberikan dampak positif pada sopir yang lebih sejahtera. Juga membantu pengusaha daerah hingga mewujudkan green city,” kata Djoko.