Bogor Jadi Kota Percontohan Program ”Buy the Service”
Program ”buy the service” tak hanya mengatasi kemacetan, penataan, dan integrasi transportasi, tetapi pelaku transportasi tetap jadi pengusaha, pemerintah memberikan subsidi, dan pengemudi dapat jaminan secara ekonomi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·7 menit baca
Kota Bogor akan menjadi kota percontohan pertama di Jabodetabek untuk pelayanan trasportasi melalui program pembelian layanan atau buy the service. Program yang akan disubsidi pemerintah ini diproyeksikan tidak hanya untuk mengurangi kemacetan, tetapi juga membentuk jaringan integrasi transportasi hingga menyejahterakan pengemudi yang masuk dalam program.
Buy the service (BTS) merupakan program subsidi yang berbasis pada skema remunerasi berjangka. Pemerintah akan menyubsidi 100 persen biaya operasional kendaraan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimal yang sudah ditetapkan. Skema BTS dari pemerintah pusat di bidang pelayanan transportasi angkutan massal perkotaan bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui operator angkutan umum.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, dalam skala nasional, BTS masih menjadi embrio, tetapi melalui BTS bisa menjadi sistem transportasi massal yang berkelanjutan, aman, nyaman, dan ramah lingkungan. Program BTS telah dimulai di Medan, Palembang, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar. Selanjutnya, Kementerian Perhubungan memperluas program BTS ke Kota Bogor dan menjadi kota pertama sebagai percontohan di Jabodetabek.
”Jabodetabek merupakan satu wilayah aglomerasi dengan pergerakan masyarakat yang cukup besar setiap hari. Kota Bogor memiliki potensi untuk menjalani proyek percontohan. Program BTS ini diharapkan mendorong penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum,” kata Budi dalam webinar bertajuk ”Penataan Lalu Lintas dan Angkutan Perkotaan melalui Skema Pembelian Layanan Buy The Service (BTS)” di Kota Bogor, Rabu (28/4/2021).
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana B Pramesti mengatakan, Kementerian Perhubungan akan memberikan subsidi 100 persen untuk layanan angkutan umum perkotaan melalui skema BTS.
Menurut Polana, program BTS dinilai penting sebagai upaya untuk penataan transportasi umum yang belum maksimal. Tidak hanya itu, jumlah kendaraan pribadi sudah sangat banyak dan sangat sedikit warga yang menggunakan transportasi massal sehingga menimbulkan kemacetan.
Berdasarkan data yang dihimpun Kemenhub, kata Polana, dampak pergerakan mobilitas tinggi kendaraan di enam kota metropolitan mengakibatkan pemboroson BBM sebanyak 2,2 juta liter per hari sehingga berdampak pada kerugian ekonomi senilai 71,4 triliun per tahun.
Dampak pergerakan mobilitas tinggi kendaraan di enam kota metropolitan mengakibatkan pemboroson BBM sebanyak 2,2 juta liter per hari sehingga berdampak pada kerugian ekonomi senilai 71,4 triliun per tahun.
Dilihat dampaknya terhadap lingkungan pun sangat merugikan. Mobilitas tinggi kendaraan menjadi penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca dari sektor energi di Indonesia. Belum lagi dampak kerugian waktu yang harus dibayar warga karena terjebak macet. Waktu tempuh kecepatan rata-rata kendaraan dan angkutan umum perkotaan pada jam puncak kemacetan di semua jaringan jalan minimal 30 kilometer per jam.
Dari permasalahan itu, perlu ada kepastian pelayanan angkutan umum yang baik bagi masyarakat. ”Karena, BTS ini bersubsidi sehingga meringankan pengeluaran masyarakat yang menggunakan angkutan umum untuk mobilitas. Supaya akuntabel, kami mengunakan tiket elektronik. Dalam tahap sosialisasi selama tiga bulan, tarif tiket bus gratis agar membiasakan warga menggunakan sistem pembayaran tiket elektorik. Setelah tiga bulan sosialisasi, baru akan dikenakan tarif,” kata Polana.
Dasar pengenaan tarif sedang disusun dalam peraturan pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penentuan tarif berdasarkan studi kemampuan dan kemauan membayar masyarakat (ATP/WTP). Meski nanti sudah bertarif, lanjut Polana, pemerintah tetap akan memberikan subsidi.
Agar BTS bisa diakomodasi dan berjalan, Polana meminta Pemkot Bogor untuk mempersiapkan halte bus, halte eksisting, atau halte portable. Selain itu, karena tujuan BTS untuk mengurai kemacetan, Pemkot Bogor harus mengonversi angkutan kota atau angkot melalui mekanisme 3:1, yaitu 3 angkot untuk 1 bus. Pemkot Bogor juga harus membantu sosialisasi dan membuat kebijakan prioritas penggunaan angkutan umum daripada kendaraan bermotor pribadi.
Polana menuturkan, dalam pelaksanaan BTS perlu ada lembaga yang mengelola manajemen transportasi, seperti Transjakarta. Kota Bogor sendiri memiliki BUMD Trans Pakuan. BUMD itu bisa menjadi badan pengelola transportasi.
”BTS ini memang masih dalam uji coba untuk tahun ini di Jabodetabek. Kami punya komitmen, jika BTS bermanfaat akan diteruskan beberapa tahun ke depan. BTS ini melakukan mekanisme pelelangan. Saat ini sedang dalam proses. Diharapkan pada bulan Juni bisa terealisasi untuk enam rute,” kata Polana.
Enam rute yang disiapkan untuk program BTS, seperti Terminal Bubulak-Yasmin-Warung Jambu-Baranangsiang atau Cidangiang; Terminal Bubulak-Stasiun Bogor-Kebun Raya Bogor Baranangsiang atau Cidangiang-Ciawi; Terminal Bubulak-Stasiun Bogor-Kebun Raya Bogor-Suryakencana atau Empang-Sukasari Lawang Gintung-Ciawi; Ciawi-Baranangsiang/Cidangiang-Kebun Raya Bogor-Warung Jambu Pomad atau Ciparigi; Ciparigi-Stasiun Bogor; dan Parung Banteng-Warung Jambu.
Percepat konversi angkot
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, di Jabodetabek, rasio angkot di Kota Bogor paling tinggi, yaitu mencapai 3.412 angkot dengan populasi penduduk 1,1 juta. Adapun penggunaan transportasi pribadi sebesar 55 persen, transportasi publik 26 persen, dan transportasi daring 19 persen.
Sementara di Tangerang memiliki 3.196 angkot dengan jumlah penduduk 2.047.000, Depok memiliki 2.884 angkot dengan jumlah penduduk 2.106.000, Bekasi memiliki 3.500 angkot dengan jumlah penduduk 2.715.000, dan Kabupaten Bogor ada 6.732 angkot dengan jumlah penduduk 5.460.000.
”Ini menjadi salah satu pangkal permasalahan di Kota Bogor. Oleh karena itu, transportasi menjadi program prioritas kami. Saya harus jujur mengakui selama 7 tahun menjadi wali kota, yang paling tidak memuaskan adalah progress di bidang transportasi. Ini masih harus diakselerasikan,” kata Bima.
Bima menjelaskan, sejumlah upaya sudah dilakukan Pemkot Bogor, seperti pembatasan izin baru, rerouting, jaringan trayek, dan penataan manajemen operator, misalnya konversi 3:1 untuk bus dan 3:2 untuk angkot modern. Target Pemkot Bogor, mereduksi 730 angkot. Saat ini sudah ada 15 badan hukum untuk angkot.
Berdasarkan data terakhir Dinas Pehubungan pada Januari yang dihimpun Kompas, sepanjang 2020 ada 120 angkot dari berbagai trayek yang direduksi atau dibesituakan. Ada 120 angkot yang direduksi, antara lain trayek 02 Sukasari-Bubulak sebanyak 52 kendaraan, trayek 03 Baranangsiang-Bubulak sebanyak 44 kendaraan, trayek 07 Merdeka-Ciparigi sebanyak 20 kendaraan, dan trayek 21 Ciawi-Baranangsiang sebanyak 2 kendaraan.
”Skema BTS akan berdampak besar untuk mempercepat program konversi angkot. Kami saat ini memiliki badan hukum untuk angkot, ada 15 badan hukum. Untuk angkot ini tidak by individual,” ucap Bima.
Jaringan transportasi
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, program BTS ini bukan program menggusur, melainkan menggeser. Artinya, pelaku transportasi tetap menjadi pengusaha, pemerintah memberikan subsidi, dan pengemudi mendapat jaminan secara ekonomi. Dalam program BTS, pengemudi mendapat gaji sekitar 7 juta atau dua kali upah minimum regional (UMR) kota masing-masing.
”Seperti lima kota yang sudah menjalankan BTS, para operator dan pengemudi tidak lagi memikirkan mencari tambahan atau menutup operasional karena sudah ada program bantuan. Pengemudi sejahtera, pendapatan per bulan dua kali di atas UMR kota masing-masing,” kata Djoko.
Pengamat transportasi,Darmaningtyas mengatakan, melihat kondisi jalan Kota Bogor yang tidak terlalu lebar, angkot yang direduksi atau konversi harus dalam bentuk bus ukuran medium. Dalam konsep BTS juga tidak hanya menyiapkan pengadaan bus, tetapi perlu juga memikirkan transportasi penghubung. Keberadaan angkot di Kota Bogor bisa dimanfaatkan menjadi penghubung transportasi warga dari titik pemberhentian yang sudah ditentukan ke halte bus.
”BTS sebagai satu langkah untuk penataan transportasi publik dan angkot di Kota Bogor. Angkot bisa menjadi trans line atau feeder, seperti Jak Lingko di Jakarta. Jadi, jasa angkot bisa termaksimalkan. Mereka digaji untuk menghubung satu titik ke halte,” kata Darmaningtyas.
Menurut Darmaningtyas, Transjakarta bisa menjadi contoh BUMD dalam pengelolaan transportasi perkotaan. Tidak hanya sebagai pengelola layanan bus, tetapi juga berkerja sama dengan operator lainnya, seperti angkot, dan meluaskan jaringan layanan bersama moda transportasi massal, misalnya KRL dan MRT. Melalui BTS justru menghidupkan operator transportasi untuk berkembang sehingga jaringan transportasi lebih baik.
”BTS ini bisa berjalan karena saya melihat Pemkot Bogor memiliki komitmen politik dalam mengambil kebijakan. Selain itu, ada komitmen pula dari Kemenhub dan BPTJ berupa subsidi. Kedua, proses restrukturisasi angkot sudah dimulai, pengelolaan angkot sudah berbadan hukum, ada dukungan dari Organda juga. Nah, Kota Bogor ini, kan, sudah ada BUMD, yaitu Trans Pakuan, tinggal pembenahan. Tidak perlu ada BUMD lagi,” katanya.
BTS ini bisa berjalan karena saya melihat Pemkot Bogor memiliki komitmen politik dalam mengambil kebijakan.
Tantangan selanjutnya yang perlu disiapkan, katanya, ialah keberlanjutan program BTS. Penentuan operator lebih baik melalui lelang dan kontak kerja sama hingga 7 tahun karena memperhitungkan besaran investasi dan keuntungan operator.
”Kontrak jangan 1-2 tahun. Kalau kontrak 5 tahun baru balik modal. Jadi, paling tidak kontrak 7 tahun,” kata Darmaningtyas.