Menerka Efektivitas PSBB Jawa-Bali di Tangerang Raya
Untuk pertama kalinya, pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Jabodetabek dilaksanakan secara serentak. PSBB Jawa-Bali memunculkan momentum itu. Namun, akan seberapa efektif hasilnya di Jabodetabek?
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melintasi tempat cuci tangan di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2021).
Untuk pertama kalinya, pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Jabodetabek dilaksanakan secara serentak. Sebelumnya, pembatasan sosial cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan ketentuan yang berbeda-beda di setiap wilayah. Pemberlakuan PSBB Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 membersitkan harapan baru upaya menekan penularan Covid-19. Namun, bentuk pembatasannya dinilai masih kurang ideal untuk menekan laju penularan wabah.
Pemerintah daerah di Jabodetabek, khususnya di Tangerang Raya, menindaklanjuti kebijakan Presiden Joko Widodo tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau pengetatan PSBB. Kepala daerah di kawasan tersebut, Sabtu (9/1/2021), telah dan tengah menyusun surat edaran (SE) serta peraturan wali kota/bupati tentang pembatasan aktivitas masyarakat pada 11-25 Januari 2021.
Pembatasan aktivitas masyarakat secara lebih ketat setidaknya tecermin dari SE yang diterbitkan Bupati Tangerang, Wali Kota Tangerang, dan Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Namun, poin ketentuan atau isi ketiga SE tersebut tidak berbeda jauh antara satu dan yang lain. Tidak ada tambahan aturan yang menyesuaikan dengan kondisi khas tiap-tiap wilayah. Secara keseluruhan, isi SE ketiga kepala daerah di Tangerang Raya tersebut ”menjiplak” Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021.
Tidak ada tambahan aturan yang menyesuaikan dengan kondisi khas tiap-tiap wilayah. Secara keseluruhan, isi SE ketiga kepala daerah di Tangerang Raya tersebut ”menjiplak” Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021.
Sebagai contoh, di Kota Tangerang, Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang telah menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 2 Tahun 2021. Perwal tersebut, menurut Arief, merupakan respons Pemkot Tangerang dalam menindaklanjuti kebijakan pemerintahh pusat mengenai PSBB Jawa-Bali 11-25 Januari 2021.
”Poin-poin yang ditetapkan (di dalam perwal) menyesuaikan dengan arahan yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat,” kata Arief.
Poin ketentuan yang dimaksud di antaranya penerapan sistem kerja dari rumah 75 persen bagi karyawan sektor publik atau swasta, pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar secara daring, membatasi jam operasional mal hingga pukul 19.00, dan membatasi keterisian tempat ibadah 50 persen. Ketentuan serupa setidaknya terlihat dari SE yang diterbitkan Wali Kota Tangsel dan Bupati Tangerang.
Kendati PSBB dimulai 11 Januari 2021, ada pemerintah daerah yang memilih melaksanakannya lebih dulu. Kota Tangsel, misalnya, telah melaksanakan pengetatan per 9 Januari 2021. Itu terlihat dari langkah penutupan sejumlah taman kota yang sebelumnya bisa diakses secara bebas oleh masyarakat. Di sejumlah taman kota beberapa kali masyarakat terlihat berkumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan.
Kompas/Hendra A Setyawan
Warga yang terjaring razia masker didata dan didenda dalam razia masker di Jalan Muhtar Raya, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Selasa (25/8/2020).
Tidak kompak
PPKM Jawa-Bali boleh dikatakan menjadi momentum untuk pertama kalinya pelaksanaan PSBB di Tangerang Raya dan wilayah sekitarnya berjalan beriringan. Sebelumnya, kawasan Tangerang Raya kerap tidak kompak dengan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi dalam menerapkan ketentuan pembatasan aktivitas masyarakat.
Pada awal Oktober 2020, misalnya, pemerintah daerah di Jabodebek melaksanakan penerapan jam malam untuk mengendalikan kerumunan orang dan mencegah penularan Covid-19 meluas. Kebijakan itu awalnya dicetuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kemudian didukung Bogor, Depok, dan Bekasi. Namun, Pemerintah Kota Tangsel yang wilayahnya berbatasan langsung dengan DKI Jakarta tidak ikut menerapkan jam malam.
Ketidakkompakan antarwilayah tersebut cukup berdampak pada ikhtiar mengendalikan pandemi. Sebab, penduduk DKI Jakarta kemudian berbondong-bondong pergi ke Tangsel pada malam hari untuk mencari hiburan. Itu membuat kebijakan jam malam DKI Jakarta menjadi tidak optimal.
Contoh lain ketidakkompakan Tangerang Raya dengan DKI Jakarta terlihat saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk menarik rem darurat dan memperketat PSBB pada pertengahan September 2020. Sebelum memutuskan menarik rem darurat, Anies sempat mengembalikan PSBB Jakarta menjadi PSBB transisi dengan sejumlah pelonggaran.
Kebijakan Anies yang kembali menarik rem darurat tersebut kurang mendapat respons serupa dari Gubernur Banten Wahidin Halim yang membawahkan bupati/wali kota di Tangerang Raya. Dalam wawancara tertulis dengan Kompas, September 2020, Wahidin menyiratkan keberatannya jika Banten selalu dibanding-bandingkan dan harus mengikuti irama langkah selaras Jakarta.
”Banten konsisten dari awal terapkan PSBB. Coba tanya Jakarta, ada PSBB transisi-lah, new normal, atau apa. Saat DKI cabut PSBB, kami tetap PSBB di seluruh Banten,” kata Wahidin.
Pada akhirnya, saat Anies menarik rem darurat saat itu, Banten dan Tangerang Raya memang tetap menerapkan PSBB. Namun, PSBB yang diterapkan di Banten dan Tangerang Raya itu adalah PSBB transisi dengan sejumlah pelonggaran. Ini berbeda dengan Jakarta yang kembali ke bentuk PSBB ketat.
Cerita kembali berulang mana kala beberapa restoran dan pusat perbelanjaan di Tangerang Raya diserbu penduduk Jakarta yang mencari hiburan setelah mal di wilayah mereka ditutup. Kondisi itu menyebabkan upaya menghentikan penularan Covid-19 di Jabodetabek seolah jalan di tempat.
Wilayah terintegrasi
Dalam pemaparan pada Sabtu (9/1/2021) pagi, Anies Baswedan kembali menekankan betapa Jabodetabek sesungguhnya merupakan wilayah yang terintegrasi. Dengan demikian, penanganan Covid-19 perlu dilakukan secara bersamaan dan kompak oleh pemerintah daerah di DKI Jakarta bersama wilayah penyangganya.
Ia memaparkan data mengenai total jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Jakarta pada Desember 2020. Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat ada 63.742 kasus positif. Dari jumlah tersebut, 26 persennya adalah warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Selain itu, dari sisi jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit sepanjang pekan pertama hingga ketiga November 2020, sebanyak 72-76 persen adalah warga DKI, 17-18 persen warga Bodetabek, dan sisanya warga luar Jabodetabek.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pasien tanpa gejala Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, menikmati udara segar dari balkon salah satu menara, Minggu (22/11/2020).
Dari data itu, Anies hendak mengatakan bahwa untuk bisa mengendalikan Covid-19, harus ada aktivitas pengendalian bersama. Jakarta, menurut dia, punya keterkaitan dengan wilayah sekitarnya. Dengan demikian, DKI Jakarta dan wilayah di sekitarnya sudah merupakan satu wilayah terintegrasi.
”Kalau kita hanya membatasi wilayah tertentu saja, sementara sebagian wilayah lain tetap berkegiatan normal, ikhtiar memutus mata rantai penularan tidak akan optimal,” ujar Anies.
Oleh sebab itu, Anies menyambut positif keputusan pemerintah pusat untuk memberlakukan PSBB Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021. Kawasan Jabodetabek menjadi salah satu prioritas untuk menerapkan PSBB tersebut. Anies menyebut, PSBB Jawa-Bali memungkinkan pemerintah di Jabodetabek mengendalikan pandemi secara bersinergi dan simetris.
Efektivitas PSBB
Meski PSBB Jawa-Bali membuat penanganan Covid-19 di Jabodetabek menjadi simetris dan lebih kompak, lalu apakah upaya itu akan membuat pemerintah daerah di Jabodetabek berhasil menekan pertambahan jumlah kasus?
Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, punya pendapat lain. Menurut Yunis, PSBB Jawa-Bali belum tentu secara serta-merta mampu menekan pertambahan jumlah kasus. Yunis melihat PSBB hanya diterapkan di sejumlah wilayah di Pulau Jawa dan Bali, tidak menyeluruh.
Dengan begitu, penularan atau transmisi antarwilayah masih berpotensi terjadi. Di Banten, hanya kawasan Tangerang Raya yang melaksanakan PSBB Jawa-Bali. Sedangkan daerah lain, seperti Kota Serang, Cilegon, dan Kabupaten Serang, tidak ikut menerapkan PSBB. Padahal, wilayah-wilayah tersebut masuk zona jingga penularan Covid-19 dan mobilitas antarpenduduk di sana juga tergolong tinggi.
Dalam ketentuan PSBB Jawa-Bali yang diterbitkan pemerintah, salah satu lokasi yang cukup rawan penularan Covid-19, yaitu pasar tradisional, belum diatur terkait dengan bentuk pembatasannya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengumuman penutupan untuk kunjungan umum saat pergantian tahun terpasang di sejumlah titik di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Selasa (29/12/2020).
Aturan atau bentuk pembatasan kegiatan masyarakat yang ditetapkan pemerintah juga belum cukup. Dalam ketentuan PSBB Jawa-Bali yang diterbitkan pemerintah, salah satu lokasi yang cukup rawan penularan Covid-19, yaitu pasar tradisional, belum diatur terkait dengan bentuk pembatasannya. Mal, kata Yunis, juga semestinya tidak hanya dibatasi.
”Seharusnya diberlakukan juga jam malam untuk semua warga. Itu baru efektif. PSBB ini kurang begitu ketat. Makanya perlu ada kebijakan lokal tambahan (dari kepala daerah),” kata Yunis.
Ketika dikonfirmasi secara terpisah, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar dan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany menyatakan tidak ada kebijakan lokal tambahan dalam peraturan bupati/wali kota yang mereka rancang. Kedua kepala daerah itu kompak mengikuti secara bulat-bulat apa yang ditentukan pemerintah pusat.
Pola itu sebetulnya kerap dilakukan pemerintah daerah di Tangerang Raya. Selama ini, mereka minim inovasi dan terkesan hanya melaksanakan instruksi pemerintah pusat tanpa berupaya menghasilkan inovasi segar guna mengendalikan pandemi di wilayah masing-masing. Kebijakan yang dibuat cenderung top down.
Pada akhirnya, efektivitas PSBB Jawa-Bali akan bisa terlihat 10 atau 14 hari setelah ia berakhir. Sembari menunggu waktu tersebut, tidak ada salahnya bagi kita semua untuk melaksanakan porsi dan kewajiban masing-masing. Masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan dan pemerintah daerah bertanggung jawab melaksanakan surveilans secara serius.