DKI Jakarta mengumumkan menunda pembelajaran tatap muka di sekolah pada semester genap tahun ajaran 2020/2021. Namun metode pembelajaran daring harus dibenahi seiring dengan berlanjutnya pembelajaran jarak jauh.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para orangtua yang awalnya sepakat dengan pembelajaran tatap muka kali ini menerima keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunda pembukaan sekolah. Mereka mendorong agar sekolah melaksanakan pembelajaran campuran.
Sunarti (49), warga Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, berdebat dengan putrinya, Nisa (12), pada Minggu (3/1/2021) siang. Sunarti berharap putrinya kembali menjalani pembelajaran tatap muka pada Senin (4/1/2021). Namun, Nisa berharap sebaliknya.
”Enak di rumah, bisa sambil makan dan tiduran belajarnya,” kata siswi kelas VII SMP Negeri 33 Jakarta itu kepada sang ibu.
Sunarti berharap anaknya kembali masuk sekolah agar dapat kembali diajar oleh guru-gurunya. Dia juga mengeluh karena selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) pengeluaran untuk membeli paket data bagi Nisa dan kakaknya, Nova (15), yang juga duduk di kelas VIII SMP Negeri 3 Jakarta, membengkak.
”Masing-masing harus beli paket data Rp 100.000 per bulan. Cepat habisnya karena selain dipakai belajar, juga dipakai main Tik-tok,” ungkap Sunarti sambil melirik sinis ke arah Nisa.
Sayangnya, perdebatan di antara keduanya tidak mampu mengubah apa pun. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana, Sabtu (2/1/2021), mengumumkan menunda pembelajaran tatap muka di sekolah pada semester genap tahun ajaran 2020/2021. Pembelajaran semester genap yang dimulai pada Senin besok tersebut masih akan dilakukan secara daring karena penyebaran Covid-19 masih sulit dikendalikan.
Meski mengaku berat, Sunarti tetap menerima keputusan tersebut. Jika dalihnya karena kesehatan sang putri, dia sepakat. Meski begitu, ia tetap berharap agar PJJ tersebut tidak berlangsung selama satu semester penuh.
”Semoga nanti sebelum ujian semester bisa dibuka sekolahnya. Saya sih enggak pernah dampingi dia belajar jadi enggak repot. Tapi saya kepikiran juga kalau enggak pernah diajar gurunya,” ujarnya.
Sunarti juga menganggap PJJ yang sebelumnya berlangsung selama satu semester penuh terasa tidak adil. Dia mengeluhkan banyaknya orangtua siswa yang mengajari anaknya mengerjakan tugas daring sehingga nilainya sempurna.
Dia menilai hal itu merugikan Nisa yang selama ini belajar mati-matian untuk mendapatkan peringkat teratas di sekolah. Dia mengungkapkan, selama duduk di kelas I-VI SD, Nisa hampir selalu menduduki peringkat I-III di kelas.
”Kemarin dia enggak dapat peringkat. Saya khawatir siswa-siswa lain dibantu orangtuanya. Nilainya bagus-bagus semua,” ungkapnya.
Sementara itu, Fandy (45) warga Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, juga menerima dengan berat hati keputusan penundaan belajar tatap muka di Jakarta. Sebab, hal itu berpotensi membuat putranya, Muhammad Fadil (10), siswa kelas IV SD Negeri 01 Tomang semakin malas belajar.
”Kalau belajar di rumah jadi malas dia. Makanya harus saya tungguin benar-benar. Sebelum berangkat kerja harus dipastikan tugasnya selesai. Kalau enggak, sampai saya pulang juga masih belum dikerjain itu,” kata karyawan toko di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, ini.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga tengah mempertimbangkan untuk menerapkan pembelajaran campuran untuk sekolah-sekolah tertentu. Mereka akan meninjau sekolah-sekolah tertentu di Jakarta yang dianggap siap memadukan PJJ dengan pembelajaran tatap muka secara bergantian.
Selama ini, Fandy mengaku selalu mendapatkan bantuan kuota internet dari pemerintah setiap bulan. Dia berharap bantuan serupa masih bisa diterima seiring dengan diperpanjangnya masa PJJ anaknya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta juga tengah mempertimbangkan untuk menerapkan pembelajaran campuran untuk sekolah-sekolah tertentu. Mereka akan meninjau sekolah-sekolah tertentu di Jakarta yang dianggap siap memadukan PJJ dengan pembelajaran tatap muka secara bergantian. Nantinya, orangtua tetap diberi hak untuk menentukan anaknya mengikuti PJJ atau pembelajaran tatap muka.
Fandy berharap sekolah anaknya termasuk salah satu yang menyelenggarakan pembelajaran campuran ini. Baginya, model pembelajaran campuran ini bisa menjadi solusi dari kecemasan orangtua.
”Anak pertama saya yang sekolah di Surabaya kebetulan juga akan melakukan pembelajaran tatap muka besok. Pihak sekolah hanya menggelar pembelajaran selama dua jam secara bergantian. Menurut saya sih lebih baik begitu,” katanya.
Dari survei guru, terungkap banyakan mereka hanya memberi tugas melalui media sosial kepada siswa karena cara ini lebih ringan dibandingkan menyuruh siswa mengikuti pembelajaran tatap maya melalui Zoom atau Google Classroom
Ditundanya pembelajaran tatap muka artinya akan memperpanjang beban Dian (40), warga Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia masih harus mendampingi anaknya yang duduk di kelas I SD Negeri 9 Bendungan Hilir belajar pada pagi hari sebelum berjualan.
Meski demikian, Dian mengaku legawa dengan penundaan ini. ”Kemarin udah sempet seneng sekolah mau dibuka. Berarti bisa jualan mulai pagi lagi. Eh ternyata ditunda lagi. Mau gimana lagi,” ungkapnya.
Menurut Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim, metode pembelajaran daring harus dibenahi seiring dengan berlanjutnya PJJ. Sebelumnya, organisasinya telah melakukan riset di 100 kabupaten/kota di 29 provinsi. Hasilnya, hanya 25 persen materi yang bisa diserap oleh siswa. Terbatasnya kepemilikan gawai, akses internet, dan kesibukan anak membantu orangtua menjadi sejumlah faktornya (Kompas, 2/1/2021).
”Dari survei guru, terungkap banyakan mereka hanya memberi tugas melalui media sosial kepada siswa karena cara ini lebih ringan dibandingkan menyuruh siswa mengikuti pembelajaran tatap maya melalui Zoom atau Google Classroom. Akan tetapi komunikasinya satu arah, yaitu guru memberi tugas dan menyuruh siswa mengumpulkannya sesuai tenggat waktu. Padahal diskusi tetap bisa dilakukan melalui obrolan,” kata Satriawan.