Alih-alih mendapat pengobatan, Muhammad Syafi'í (32) yang tersiram minyak panas di kapal Lu Rong Yuan Yu 211 dipaksa terus bekerja hingga kapal bersandar satu tahun kemudian. Selama itu, dia juga menderita.
Oleh
FRD/JOG/DVD/ILO
·5 menit baca
Begitu kapal mulai mengangkat sauh dan menuju laut lepas, tak ada jalan kembali bagi anak buah kapal perikanan migran. Selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sebagian dari mereka seperti memasuki lorong gelap yang tak pernah mereka bayangkan dalam hidup.
Situasi itu setidaknya dirasakan Muhammad Syafi’i (32), anak buah kapal atau ABK migran asal Gunung Kidul, Yogyakarta, ketika bekerja di kapal ikan Lu Rong Yuan Yu 211 pada Mei 2021 silam. Pengalaman bekerja di kapal ikan berbendera China ini berbuah penderitaan yang tak berkesudahan bagi Syafi’i.
Petaka yang dialami Syafi’i berawal dari kecelakaan kerja di kapal tersebut. Kecelakaan terjadi ketika Syafi’i sedang memasak di dapur dan kapal tiba-tiba limbung karena menghantam ombak di Samudera Pasifik. Minyak yang mendidih di atas penggorengan kemudian tumpah ke tubuhnya.
Rasa sakit yang tak tertahankan membuat Syafi’i terkapar. Dia menderita luka bakar cukup serius di bagian perut, alat kelamin, hingga kedua pahanya. Lapisan kulitnya pun melepuh dan membengkak karena terkena minyak panas.
”Rasa sakit saya enggak tertahan. Kalau saya tidak mengingat ibu dan calon istri yang akan saya nikahi setelah pulang, mungkin saya sudah terjun (ke laut),” ungkap Syafi’i saat ditemui di rumahnya pada Rabu (26/7/2023).
Selama sekitar tiga pekan usai kejadian, Syafi’i tak mampu berkegiatan normal. Hari-harinya dihabiskan dengan merebahkan tubuh di tempat tidur. Dia bahkan sempat berhenti makan demi menghindari buang air besar yang menyiksa.
Ketiadaan obat-obatan di kapal membuat pemulihan luka Syafi'i berjalan lambat. Satu-satunya penanganan yang dia lakukan adalah mengolesi luka bakar dengan krim pelembab kulit yang dibawa dari Indonesia.
Kecelakaan terjadi saat kapal ikan tersebut baru berlayar hampir dua bulan. Ironisnya, Syafi'i belum pernah menerima pelatihan keselamatan kerja. Padahal, dia mengantongi sertifikat kompetensi pelatihan dasar keselamatan atau basic safety training yang diurus perusahaan penyalur.
Kerja di kapal ikan itu memang bagai mimpi buruk. Saya seperti diperbudak, tidak punya hak apa-apa. Dibayar berapa pun saya tidak akan mau bekerja lagi di kapal ikan. (M Syafi'i)
Kendati didapuk menjadi koki, Syafi’i tidak hanya bertugas memasak makanan untuk ABK dan kru kapal. Setelah memasak, dia juga bekerja mencari ikan seperti ABK pada umumnya. Padahal, gaji yang diterima Syafi'i sama dengan ABK lain, yakni 320 dollar AS atau setara Rp 4,8 juta per bulan.
Dia bahkan pernah diminta mencuci pakaian kapten kapal yang berujung pada kekerasan fisik. ”Sudah saya cuci, tapi dia enggak percaya. Akhirnya saya ditempeleng,” kata Syafi’i.
Khawatir kondisinya semakin parah, Syafi’i mengajukan kepulangan kepada kapten kapal. Namun, permintaan itu tak dipenuhi. Syafi'i malah diminta kembali bekerja dan diancam membayar denda apabila menolak. Tak ada pilihan baginya selain harus bekerja sambil menahan rasa sakit.
Kapal akhirnya baru bersandar di Fiji, setahun berselang dari kecelakaan kerja. Setelah menunggu beberapa hari di Fiji, Syafi’i akhirnya dipulangkan PT Keluarga Samudera Indonesia (KSI), selaku perusahaan penyalur, dari Fiji ke Indonesia pada 15 Agustus 2022.
Alami kerusakan saraf
Luka di kemaluan Syafi’i menjelma menjadi infeksi serius karena tak segera ditangani. Ketika ditemui di rumahnya, Syafi’i menderita kerusakan saraf di bagian alat kelaminnya. Dia harus berobat rutin ke rumah sakit dengan biaya jutaan rupiah.
”Kerja di kapal ikan itu memang bagai mimpi buruk. Saya seperti diperbudak, tidak punya hak apa-apa. Dibayar berapa pun saya tidak akan mau bekerja lagi di kapal ikan,” ujar Syafi’i dengan suara terbata.
Usai kejadian itu, Syafi’i harus menjalani terapi saraf. Dia juga bersiap menjalani operasi bedah untuk kali kedua. Syafi’i kini tinggal di Desa Selorejo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, ditemani sang istri. Akibat sakit yang dideritanya, Syafi’i belum bisa bekerja lagi selepas pulang dari kapal ikan.
Menanggapi penanganan kecelakaan kerja Syafi’i, staf PT KSI yang mengurus pemberangkatan calon ABK migran, Endri Sulistyo, menyampaikan bahwa dokter biasanya tersedia di kapal penampung (collecting) yang dalam jangka waktu tertentu merapat ke kapal penangkap ikan untuk menerima operan ikan di tengah laut. Namun, kapal penampung kemungkinan tidak datang karena kesulitan mengakses lokasi kapal tempat Syafi’i bekerja.
Kapal juga tidak bisa segera berlabuh karena terkait kewenangan negara pemilik daratan terdekat dari posisi kapal. ”Tidak bisa sembarangan berlabuh ke pelabuhan karena harus ada izinnya terlebih dahulu,” ucap Endri saat ditemui di kantor PT KSI di Indramayu, Jawa Barat.
Selain itu, Endri juga membantah bahwa di kapal tidak tersedia obat-obatan yang memadai guna mencegah dan menangani infeksi.
Kekerasan di kapal
Tidak hanya Syafi’i yang mengalami penderitaan di kapal, Ardi Ligantara (31) juga turut menjadi korban sekaligus saksi terjadinya kekerasan di atas kapal ikan asing. Pengalaman itu didapatkan lelaki asal Medan, Sumatera Utara, ini saat menjadi ABK migran di kapal berbendera Taiwan awal 2019.
Pada suatu dini hari, Ardi melihat rekannya dipukul di bagian belakang telinga kanan. Pagi harinya, SG sudah tak bernyawa dengan posisi tangan memegangi bagian yang terkena pukulan. Selama dua pekan, jenazah disimpan dalam palka pendingin ikan sebelum akhirnya kapal bersandar di Fiji.
Sebelumnya, Ardi juga pernah menjadi sasaran amuk dari mandor. Kala itu, Ardi dilempar menggunakan tongkat dari atas dek kapal karena dianggap tidak bekerja serius. Hal ini membuat paha kanan Ardi memar dan jalannya pincang. Kendati demikian, Ardi tetap diminta untuk terus bekerja.
Perjalanan Ardi menjadi ABK di kapal pun hanya berlangsung selama tiga bulan. Karena dianggap tidak menyelesaikan kontrak kerja, Ardi dan kawan-kawan tak mendapat gaji sepeser pun dari perusahaan penyalur. Bahkan, beberapa di antaranya diminta membayar denda dan mengganti biaya transportasi kepulangan dari Fiji ke Indonesia. Sebagai jaminannya, perusahaan menahan dokumen-dokumen penting, seperti KTP, kartu keluarga, hingga ijazah sekolah.
Harapan ABK migran untuk memperbaiki taraf ekonomi kadang justru berakhir sebaliknya seperti yang dialami Syafi’i dan Ardi. Nasib mereka ibarat kapal yang diempas badai di laut lepas dan tak tahu kapan dapat bersandar kembali ke daratan.