Di tengah gencarnya pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang oleh kepolisian, masih ada kasus mandek yang belum terselesaikan hingga kini. Korban berharap mendapat keadilan.
Oleh
JOG/DVD/FRD/ILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak isu perdagangan manusia mendapat perhatian khusus Presiden Joko Widodo, jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO yang diungkap kepolisian melonjak. Namun, polisi diminta tidak lupa bahwa masih ada kasus yang mandek hingga bertahun-tahun.
”Telantarnya” kasus-kasus TPPO di kepolisian terekam dari pengaduan yang masuk ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan diteruskan ke penegak hukum. ”Orang bangga penangkapan ribuan, tetapi kami melihat banyak korbannya yang menjerit juga,” tutur Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno, di Jakarta, awal Agustus silam.
SBMI mencatat ada lima kasus TPPO terkait anak buah kapal (ABK) perikanan migran yang sudah dilaporkan ke kepolisian dan total korbannya 28 orang, tetapi hingga sekarang penanganannya mandek.
Semua sudah berstatus laporan polisi (LP) dengan dua kasus ditangani Kepolisian Daerah Metro Jaya dan tiga kasus oleh Polda Jawa Tengah. Kebanyakan kasus itu sudah berusia sembilan tahun karena diadukan sejak 2014, kecuali satu kasus Polda Jateng yang diadukan tahun 2017.
Pengungkapan kasus
Kondisi ini menjadi catatan di tengah prestasi lonjakan pengungkapan TPPO oleh Polri berdasarkan data kurun 5 Juni-14 Agustus 2023. Aparat Polri dari berbagai penjuru daerah telah menangani 757 laporan kepolisian dengan 901 tersangka. Sebanyak 2.425 korban diselamatkan.
Jumlah korban dalam kurang dari tiga bulan itu sudah melampaui jumlah korban TPPO yang terungkap selama hampir tiga tahun pada 2019 hingga Oktober 2022, yakni 1.545 kasus TPPO dengan 1.732 korban.
Salah satu eks ABK migran yang kasusnya turut mandek berdasarkan laporan SBMI yaitu Saenudin. Warga Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta, ini bagian dari 70-an ABK asal Indonesia yang ditelantarkan perusahaan penyalur dan pemilik kapal ikan di Cape Town, Afrika Selatan, pada awal 2014 serta belum menerima hak gaji secara utuh sesuai durasi kerja.
Saenudin bercerita, ia melaut mulai 2011 dan pulang ke Indonesia tahun 2014 karena deportasi. Kapal tempatnya bekerja, Hoom Xiang 26, tertangkap basah petugas Afrika Selatan karena menangkap ikan tanpa izin. ”Begitu bos kabur, kami telantar,” ujar kepala kamar mesin di kapal berbendera Taiwan itu.
Padahal, dengan janji gaji 350 dollar AS (sekitar Rp 3,65 juta pada 2013) per bulan, Saenudin baru mengirimi keluarganya 600 dollar (Rp 6,26 juta) ketika kapal bersandar di Mauritius. Adapun ia sudah melaut sekitar 2 tahun 4 bulan. ”Kerjanya bisa 20 jam sehari,” ujar Saenudin.
Saenudin bahkan tidak mampu menjalankan pekerjaan fisik hingga kini akibat kecelakaan kerja di kapal itu. Punggungnya terhantam ikan tuna beku sewaktu bongkar muat sehingga efek jangka panjangnya ia susah bernapas.
Begitu bos kabur, kami telantar. (Saenudin)
Dengan segala penderitaan itu, Saenudin tak kunjung mendapat keadilan dari proses penegakan hukum. Padahal, laporan kasusnya sudah sembilan tahun di Polda Metro Jaya.
Saenudin berharap mendapat keadilan. Ia jengkel karena pelaku perekrut di Indonesia yang menjual dirinya untuk dieksploitasi di kapal ikan tak kunjung ditangkap. ”Sejak awal bosnya tinggal di Tanjung Priok (Jakarta Utara) sampai pindah ke Bogor (Jawa Barat), informasinya sudah ada. Tetapi enggak ditangkap sampai sekarang,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, pihaknya perlu mendalami dulu persoalan dari penanganan setiap kasus. Ia pun meminta informasi terkait kasus-kasus mandek itu. ”Nanti akan kami bantu untuk menanyakan,” ujarnya saat ditemui Jakarta.
Menurut Ramadhan, kasus-kasus TPPO saat ini sudah diproses dengan baik dan wajib ada kepastian hukum. ”Kalau dia tidak cukup bukti, harus dihentikan,” ujarnya.
Selain ada yang penanganannya mandek, masalah lain dalam kasus TPPO awak kapal migran adalah pelaku kerap kali dijatuhi vonis rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Hariyanto mencontohkan, ada beberapa kasus yang dikawal SBMI terkait penegakan hukumnya. Salah satu pelaku, misalnya, ada yang divonis rendah dan tidak menjalankan sanksi restitusi.
”Setelah dua bulan ditahan, pelaku kemudian dibebaskan. Namun, selang beberapa waktu, pelaku mengulangi perbuatannya dan ditangkap di daerah Cilacap. Hal ini membuktikan jika vonis rendah tidak memberikan efek jera,” katanya.
Selain pelaku tadi, ada juga pelaku dengan inisial M asal Banten. Awalnya, pelaku didakwa dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, tetapi akhirnya divonis dengan UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
”Dalam UU Perlindungan Pekerja Migran tidak diatur batas minimum berapa tahun hukuman penjara. Hal ini menjadi celah untuk memberikan vonis ringan,” kata Hariyanto.
Jika menerapkan UU TPPO, pelaku bisa dijerat dengan hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara. Selain itu, kata Hariyanto, UU TPPO juga mengatur bahwa pelaku harus memenuhi hak restitusi korban yang meliputi ganti rugi uang serta pemulihan kondisi korban dan keluarga korban.