BPJS Kesehatan menjadi penolong penderita diabetes, terutama dari kalangan masyarakat miskin. Diabetes termasuk penyakit dengan biaya pengobatan mahal. Cakupan layanan BPJS Kesehatan membantu banyak pasien diabetes.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, M PUTERI ROSALINA
·5 menit baca
Pada salah satu rumah petak yang berjejeran di salah satu sudut Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kakak-beradik Alif (4) dan Bianca (2) menghabiskan Senin (3/4/2023) siang itu dengan bermain bersama.
Cuaca terasa terik, pintu rumah petak mungil itu pun dibiarkan terbuka oleh sang ibu, Ayu (30). Sekilas, Alif dan Bianca terlihat normal. Aktif dan bersemangat. Namun di balik aktivitas normal kedua balita tersebut, mereka butuh suntikan insulin setiap hari. Tubuh mereka sudah tidak mampu menghasilkan hormon pengendali gula darah tersebut. Mereka adalah penyandang diabetes melitus tipe 1.
Dalam sehari, Alif dan Bianca sehari bisa disuntik insulin hingga empat kali, 3 kali sebelum makan dan 1 kali saat malam sebelum tidur. Ujung jarinya pun sehari bisa ditusuk kecil hingga 4 kali sehari untuk mengukur kadar gula darahnya.
"Kalau Bianca sudah terlanjur tidur tetapi belum suntik dosis malam, ya saya buka sedikit celananya untuk saya suntik. Bianca sudah tahu kalau mau disuntik, jadi dia diam saja. Mungkin bangun sedikit tapi setelah itu lanjut tidur lagi," tutur Ayu.
Alif didiagnosis menyandang diabetes pada September 2022. Sebulan kemudian, Bianca mendapat diagnosis serupa.
Alif dan Bianca yang kakak-beradik seolah menunjukkan faktor genetik yang sering disebut sebagai penyebab diabetes tipe 2. Namun, hasil uji tes mengukuhkan bahwa mereka menyandang diabetes tipe 1 yang tidak terlalu berhubungan dengan kondisi genetik maupun pola makan.
Biaya mandiri
Sementara 13 tahun yang lalu Moh Faizcenna (19), didiagnosis sebagai penyandang diabetes melitus saat usianya sudah lebih besar dibandingkan Alif dan Bianca, yakni 7 tahun. Faiz kala itu seringkali buang air kecil, bahkan sampai mengompol di malam hari. Badannya kurus dengan berat badan tidak sampai 20 kilogram, meski porsi makannya dalam sehari cukup banyak.
Hingga akhirnya, Ayahnya, Moh Arif Novianto (56) memutuskan membawa Faiz berobat ke dokter. Arif menggunakan biaya mandiri tanpa asuransi kesehatan untuk pembelian insulin dan makanan berlabel diabetes.
"Untuk beli insulin, satu pena Rp 240.000-250.000. Sebulan pakai 4 pena. Sudah kelihatan angkanya," katanya.
Menurut Arif, pengeluaran Rp 1 juta tersebut, belum termasuk makanan berlabel diabetes yang harganya mahal.
Hampir lima tahun lamanya, Arif membiayai pengobatan Faiz tanpa asuransi kesehatan. Baru dua tahun setelah program BPJS berjalan, Arif memutuskan memakai asuransi BPJS karena kebutuhan insulin Faiz makin besar.
Awal menggunakan BPJS, Arif merasa kesulitan. Perubahan sistem tipe layanan fasilitas kesehatan dari tipe 1 ke tipe C, sempat membuat pembelian suntikan insulin tidak diganti oleh asuransi kesehatan pemerintah tersebut.
"Saya bingung karena di rumah sakit lain sebelum berubah sistem kan dicakup. Akhirnya berhenti, enggak kontrol 5 bulan dan pakai sisa insulin yang ada," tutur Arif.
Setelah persediaan insulin Faiz menipis, Arif mencoba kembali mendapatkan insulin gratis melalui BPJS. Arif disarankan meminta rujukan dari rumah sakit pemerintah atau rumah sakit militer tipe C, baru setelah itu, berobat ke fasilitas kesehatan tipe B.
Sesaat proses tersebut kembali lancar, tapi menjadi tersendat kembali. Kantor tempatnya bekerja dipailitkan dan menunggak iuran BPJS karyawannya, termasuk Arif. Pihak BPJS membantu Arif untuk berubah kepesertaan menjadi BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena Arif sudah tidak lagi bekerja menjadi karyawan.
Sekarang pengobatan Faiz sudah menggunakan BPJS PBI. Setiap bulannya Faiz mendapat 10 pena, dilengkapi dengan 10 jarum dari RSUD Pesanggrahan.
Rasa syukur juga diungkapkan Via (40) yang sudah delapan bulan terakhir rutin membutuhkan insulin untuk merawat sang buah hati. Anaknya, Alisha (8) rata-rata menghabiskan tiga pena suntik insulin setiap bulannya. "Alhamdulillah ringan sekali kami dibantu BPJS,” ungkap Via.
Gula darah Alisha ketika awal dinyatakan diabetes melitus seringkali tinggi hingga pena suntik yang dijatah BPJS tidak cukup. Via pun harus membeli sendiri kekurangan insulin itu. Namun kini gula darah Alisha sudah lebih terkendali, dan semua insulin yang dibutuhkannya telah tercakup layanan BPJS.
Saya bingung karena di rumah sakit lain sebelum berubah sistem kan dicakup. Akhirnya berhenti, enggak kontrol 5 bulan dan pakai sisa insulin yang ada
Tak hanya Arif dan Via, Ayu juga mengakui dengan BPJS Kesehatan, mengurus kedua anaknya yang diabetes menjadi hal yang mungkin dilakukan. Pekerjaan suaminya yang serabutan bukan halangan bagi kesehatan dan kelanjutan hidup Alif dan Bianca.
Belas kasihan
Meski demikian, ada sejumlah hal mendasar yang tidak tercakup layanan BPJS Kesehatan dan bisa memberatkan kemampuan ekonomi keluarga muda tersebut.
Di awal periode kedua anaknya didiagnosis diabetes, Ayu membutuhkan biaya uji c-peptide yang digunakan untuk mengetahui tipe diabetes anaknya. Ongkosnya hampir mencapai Rp 2 juta saat itu. Dokter mewajibkan uji tersebut. Tes c-peptide tak tercakup BPJS Kesehatan.
Penghasilan suaminya yang hanya sekitar Rp 3 juta menjadi halangan mengakses tes tersebut. Tanpa bantuan dari Arif yang juga Ketua Ikatan Diabetes Anak dan Remaja, Alif dan Bianca tidak bisa mengakses tes c-peptide.
Strip gula yang digunakan untuk mengukur gula darah harus ia beli sendiri. Padahal harganya tidak murah. Sehari setidaknya butuh mengukur gula darah empat kali untuk memonitor kadar gula darah kedua anaknya.
Syukurlah hingga 2027 kelak, kebutuhan strip gulanya didukung melalui program kemitraan global Changing Diabetes in Children (CDiC).
Ketersediaan jarum suntik insulin juga dikeluhkan oleh Ayu dan Arif. Jarum suntik seharusnya diberikan bersamaan dengan saat klaim BPJS untuk insulin. Namun, kenyataannya, mereka harus membeli jarum suntik sendiri.
"Jadi, untuk mengirit, saya jarang ganti jarum suntik. Sempat akhirnya Alif demam karena jarum suntik enggak pernah diganti. Pernah juga jarum suntik juga digunakan berdua bersama Bianca tetapi kan sebetulnya tidak boleh juga," tutur Ayu. Kini untuk mendapatkan jarum suntik, Ayu sering menggunakan fitur paylater pada situs lokapasar.
Jadi, untuk mengirit, saya jarang ganti jarum suntik. Sempat akhirnya Alif demam karena jarum suntik enggak pernah diganti. Pernah juga jarum suntik juga digunakan berdua bersama Bianca tetapi kan sebetulnya tidak boleh juga
Faiz juga melakukan hal sama. Dia memilih menggunakan jarum suntik berkali-kali. "Sampai tumpul, ya rada sakit saja rasanya," kata Faiz.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dokter Anak Internasional Prof Aman Bhakti Pulungan setuju bahwa ada sejumlah layanan mendasar yang perlu ditambahkan dalam cakupan BPJS Kesehatan.
"Kalau pasien tidak mampu, jadi sulit. Nah seharusnya BPJS Kesehatan yang bisa menanggung ini. Jarum, uji lab, itu harus ditanggung," katanya.
Terkait hal ini Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti mengatakan memang sudah seharusnya jarum suntik diberikan bersamaan dengan pemberian insulin. Dia berharap masyarakat yang merasa fasilitas kesehatan tidak memberikan jarum suntik, bisa melaporkan ke BPJS Kesehatan.