Gen Z Memilih Hidup Seimbang, Bekerja, Menjadi Aktual dan Bahagia
Gen Z semangat bekerja selama pekerjaan itu bernilai tambah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Generasi Z pemalas, mudah menyerah, dan manja? Ayo, coba kita pikirkan lagi. Data dari Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat malah menunjukkan sebaliknya. Per tahun 2023, tercatat jumlah remaja yang bekerja sambilan di negara tersebut tertinggi sejak tahun 2009.
Laporan Depnaker AS itu diliput oleh surat kabar Washington Post edisi Minggu (21/1/2024). Pada tahun 2023, jumlah Gen Z yang bekerja sambilan sebanyak 250.000 orang, lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sebelum pandemi Covid-19.
Tercatat, di kalangan remaja berumur 16-19 tahun, 37 persen di antaranya bekerja paruh waktu. Hal ini menguntungkan bagi bisnis-bisnis di AS, terutama pada usaha kecil dan menengah. Akan tetapi, angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2005. Ketika itu, ada 44 persen remaja bekerja sambilan.
Laporan Depnaker AS mengatakan, penurunan selama periode 2005 hingga kini bukan karena remaja menjadi semakin malas. Ada faktor kesenjangan jumlah remaja. Artinya, mereka - remaja di 2005 - telah beranjak dewasa, tetapi generasi di bawah mereka masih terlalu kecil. Generasi itu baru menginjak usia remaja setelah tahun 2010.
Ada pula faktor angka putus sekolah yang kian menurun, sesuai laporan lembaga penelitian Pew tahun 2019. Tingkat penerimaan mahasiswa baru juga naik yang menandakan semakin banyak remaja menghabiskan waktu mereka untuk belajar ataupun melakukan kegiatan lain di sekolah.
Mandiri
"Anak-anak ini sangat rajin dan bersemangat bekerja. Saya awalnya tidak punya pegawai. Sekarang, ada tiga remaja bekerja sambilan di kedai," kata Nilo Gonzalez, pemilik kedai piza di Albuquerque, Negara Bagian New Mexico.
Reilly Dunlap (16) bekerja sambilan sebagai pramuniaga di salah satu toko cendera mata di Traverse, Michigan. Ia bekerja tiga kali dalam sepekan dan diupah 16 dollar per jam. Menurut dia, bekerja paruh waktu memberinya kemandirian, walaupun terbatas.
"Ada barang-barang yang bisa saya beli tanpa tergantung uang saku dari orangtua," ujarnya.
Alasan lain para remaja bekerja paruh waktu adalah "membalas dendam" isolasi selama pandemi Covid-19. Mereka harus berdiam di rumah dan melakukan segala sesuatu secara daring, padahal remaja membutuhkan interaksi langsung dengan sesama. Bekerja sambilan memungkinkan mereka berkegiatan di luar rumah dan berosialisasi.
Beradaptasi
Meskipun remaja tampak antusias bekerja, para pakar ekonomi dan ketenagakerjaan di berbagai negara mengingatkan perusahaan maupun UMKM untuk beradaptasi dengan berbagai tantangan dan kebutuhan Generasi Z. Keluhan terbanyak dari generasi tua ialah Generasi Z tidak tahan banting dan tidak betah bekerja lama-lama.
Media News dari Australia mewawancara sejumlah remaja. Mayoritas mengatakan tidak berminat bekerja delapan jam setiap hari atau pola kerja pukul 09.00 hingga 17.00. Alasannya karena waktu kerja sepanjang itu tidak memungkinkan seseorang menekuni hal-hal baru, bersosialisasi, ataupun pergi berwisata.
"Pulang ke rumah sudah malam dan lelah. Kapan waktu untuk mengembangkan dirinya kalau dari pagi sampai malam habis buat bekerja dan perjalanan untuk bekerja?" Demikian respons para remaja.
Generasi Z menginginkan bekerja sebagai penunjang aktualisasi diri. Artinya, bekerja itu demi membiayai kebutuhan untuk menjelajah tempat-tempat baru, mengenal kebudayaan dan orang-orang baru, serta menambah keterampilan. Bekerja itu untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.
Konsultan sumber daya manusia, Gary Fahey kepada News.com.au menjelaskan bahwa masih banyak Generasi Z yang mau bekerja di perusahaan konvensional. Akan tetapi, perusahaan harus bisa memberi nilai tambah kepada karyawannya agar tidak cuma menyuruh karyawan menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja.
Generasi Z memiliki nilai hidup yang berbeda dengan Generasi X ke atas. Pola hidup generasi tua adalah sekolah, kuliah, bekerja, menikah, dan berkeluarga. Bagi Generasi Millenial dan Z, ini sudah ketinggalan zaman karena kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa dihasilkan dengan berinvestasi kepada diri sendiri dan lingkungan sehingga tercipta keselarasan hidup.
"Perusahaan dan karyawan bukan lagi mesin pencari uang. Harus ada keseimbangan melalui pola kerja yang fleksibel sehingga karyawan memiliki waktu pribadi yang berkualitas," katanya.