Arah industrialisasi menjadi dasar desain pendidikan bagi generasi Z. Generasi itu akan menjadi motor industrialisasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA, AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bonus demografi atau dominasi penduduk berusia produktif, yang puncaknya diperkirakan pada 2030, menjadi faktor krusial dalam mewujudkan Indonesia maju pada 2045. Namun, kesiapan kapasitasnya harus disiapkan sejak dini. Segala upaya perlu diawali dengan menentukan arah industrialisasi yang diambil Indonesia.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Amirullah Setya Hardi, dihubungi pada Senin (30/10/2023), mengatakan, Indonesia tidak akan kekurangan jumlah sumber daya manusia (SDM) sampai dengan 2035. Tantangannya adalah pada kualitas dan kompetensinya.
Yang terjadi di Indonesia selama ini, kurikulumnya lebih banyak trial and error. Dicoba, tidak cocok, kemudian diubah lagi. Ke depan harus terintegrasi dengan kebutuhannya.
Menyiapkan SDM di bidang industri, menurut Amirullah, harus spesifik dan tidak bisa seketika. Untuk itu, kesiapan generasi Z mengisi kebutuhan industri harus dipastikan sejak dini.
”Perguruan tinggi dengan berbagai level pendidikannya akan bisa (turut menyiapkan). Namun, yang terjadi di Indonesia selama ini, kurikulumnya lebih banyak trial and error. Dicoba, tidak cocok, kemudian diubah lagi. Ke depan harus terintegrasi dengan kebutuhannya. Di industri, yang paling kentara ialah kebutuhan untuk sertifikasinya,” ujar Amirullah.
Desain dan konsisten
Oleh sebab itu, perlu desain tepat mengenai pendidikan hingga sertifikasi dalam menyiapkan kebutuhan SDM industri. Ia mencontohkan, lulusan perguruan tinggi akan kalah bersaing dengan lulusan sekolah teknik yang memiliki sertifikat juru las.
”Konten pendidikan yang dibutuhkan industri dan nonindustri pasti berbeda. Jadi, perlu didesain dengan baik, dan yang paling penting, konsisten,” ucapnya.
Konten pendidikan yang dibutuhkan industri dan nonindustri pasti berbeda. Jadi, perlu didesain dengan baik, dan yang paling penting, konsisten.
Sejalan dengan itu, Amirullah menekankan, penting untuk menentukan arah industrialisasi Indonesia. Ini akan mendasari upaya peningkatan kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini masih 18,25 persen dari total perekonomian nasional. Idealnya 28-30 persen terhadap PDB.
”Bagian mana yang akan kita ambil dalam global value chain (rantai nilai global). Jadi, jangan sampai hanya jargon (hilirisasi) menaikkan nilai tambah, tetapi wujudnya belum jelas. Apabila sudah ditentukan, penyiapan SDM industri juga bisa lebih fokus,” kata Amirullah.
Menurut Pelaksana Harian (Plh) Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi, SDM menjadi salah satu faktor terpenting dalam visi Indonesia menjadi negara maju, di samping kepastian hukum dan juga komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah.
Kadin Indonesia memiliki program Kadin for Naker yang bertujuan untuk pengembangan kapasitas. Program itu menyasar tenaga kerja yang hendak mengembangkan keterampilan untuk meningkatkan jenjang karier, peluang berwiraswasta, dan mempelajari keterampilan di industri spesifik.
Yukki menilai, sudah semakin banyak tenaga kerja Indonesia yang bisa terserap pada sejumlah industri di Indonesia, termasuk pada pabrik baterai kendaraan listrik. Secara perlahan, perlu terus didorong agar serapan tenaga kerja dalam negeri terus meningkat, termasuk hingga tingkat penanggung jawab operasional.
”Dengan perkembangan hilirisasi, yang beradaptasi tidak hanya pelaku usaha. Teman- teman pekerja juga harus beradaptasi dan bertransformasi,” ucapnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, melalui siaran pers, Jumat (15/9), mengatakan, sasaran Indonesia pada 2045 ialah PDB nominal senilai 9,8 triliun dollar AS, dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita 30.300 dollar AS. Kontribusi manufaktur ditargetkan 28 persen dengan serapan tenaga kerja mencapai 25,2 persen.
”Indonesia punya modal yang besar untuk mencapai sasaran sebagai bangsa yang maju,” katanya. Modal yang dimaksud adalah jumlah angkatan kerja yang besar, periode bonus demografi, serta peningkatan ekonomi digital.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Nurul Ichwan di sela-sela CEO Insight, rangkaian Kompas 100 CEO Forum Powered by PLN, di Jakarta, Senin (23/10), mengatakan bahwa kolaborasi antara Indonesia, sebagai pemilik keunggulan komparatif, dan pemilik keunggulan kompetitif, yang menguasai teknologi dan capital, penting.
Tantangan saat ini, menurut Nurul, Indonesia masih dalam posisi menduga-duga, serta belum bisa mendesain teknologi apa yang hendak dikembangkan ke depan. Teknologi dan investasi apa yang akan masuk di masa depan belum dapat diketahui.
Oleh karena itu, dalam peta jalan hilirisasi, narasi yang sedang dijual Indonesia saat ini adalah 8 sektor, 21 komoditas, dengan potensi investasi sebesar 545,3 miliar dollar AS hingga 2040. ”Dengan membawa teknologi, diharapkan mereka datang dan berinvestasi untuk mengelola hilirisasi ini. Kapan datangnya? Itu akan tergantung pasar,” ucap Nurul.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), serapan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019, kontribusi industri manufaktur terhadap serapan tenaga kerja nasional sebesar 14,91 persen. Pada 2020 dan 2022, angkanya turun, masing-masing 13,61 persen dan 14,17 persen.
Pada 2019, kontribusi industri manufaktur terhadap serapan tenaga kerja nasional sebesar 14,91 persen. Pada 2020 dan 2022, angkanya turun, masing-masing 13,61 persen dan 14,17 persen.
Pada 2022, industri makanan merupakan subsektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak, yakni 3,86 persen. Berikutnya adalah pakaian jadi sebanyak 2 persen. Disusul kemudian industri kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan anyaman dari bambu, rotan, serta sejenisnya sebanyak 1,25 persen.
Sementara jenis lainnya, seperti industri logam dasar; barang logam, bukan mesin, dan peralatannya; dan kendaraan bermotor, di bawah 0,5 persen.