Susah jadi generasi muda zaman sekarang. Mau belajar dan bekerja sekeras apapun, lingkungan tidak mendukung. Krisis iklim, pandemi, kesenjangan sosial menggerus kesempatan dan optimisme.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Di Indonesia ada lagu populer yang dikumandangkan oleh kelompok Chaseiro. Judulnya ”Pemuda”. Liriknya, antara lain, sebagai berikut, ”Pemuda, ke mana langkahmu menuju. Apa yang membuat engkau ragu. Tujuan sejati menunggumu sudah. Tetaplah pada pendirian semula”.
Tampaknya, jika lagu itu dinyanyikan kepada generasi milenial dan Z, jawaban mereka akan kompak. Apa yang membuat mereka ragu? Krisis iklim, pandemi Covid-19, konflik terbuka, risiko menjadi imigran akibat bencana alam ataupun peperangan. Daftarnya akan panjang sekali.
Generasi muda sekarang, baik yang digital migrant maupun digital native, memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penguasaan teknologi. Di satu sisi, kepiawaian menggunakan gawai elektronik dan internet membuat mereka bisa mengakses lebih banyak informasi, terlepas dari cara mereka menyaringnya. Di sisi lain, pengetahuan ini membuat banyak anak muda mengalami tekanan mental.
Mungkin mudah bagi generasi X dan yang lebih tua mengatakan ini lebay, alias berlebihan. Akan tetapi, apabila diperhatikan, hal ini wajar terjadi. Dua generasi itu, yang usianya berkisar 13-40 tahun, jauh lebih memahami dan waspada dengan kejadian yang terjadi di dunia. Mereka menyadari, tidak ada cita-cita mereka yang bisa tercapai apabila masa depan suram alias ”madesu”.
Jangankan konflik terbuka, generasi muda yang akan menjadi ahli waris Planet Bumi sudah keburu pusing menghadapi krisis iklim. Suhu Bumi diperkirakan akan naik 2,5 derajat celsius dalam satu dekade. Apabila dalam empat tahun ke depan tidak bisa diturunkan sebesar 1,5 derajat celsius, Bumi mengalami kerusakan yang tidak akan bisa diperbaiki. Sebanyak 255 juta warga dunia akan mengungsi akibat terimbas perubahan iklim. Pastinya, anak muda masuk dalam ancaman itu.
Berbagai gerakan anak muda telah dimulai untuk perubahan. Misalnya, gerakan berhenti berbelanja produk mode cepat (fast fashion). Bahkan, industri penjualan baju bekas meningkat. Bloomberg memperkirakan, tahun 2030, bisnis pakaian bekas akan mencapai nilai 84 miliar dollar AS, sementara bisnis mode cepat 40 miliar dollar AS. Mengubah pola konsumsi atas jenis pakaian, kendaraan, dan makanan adalah cara termudah bagi generasi muda untuk melakukan perubahan yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, hal itu tidak akan bisa mereka lakukan sendirian. Pandemi Covid-19 yang berlangsung lebih dari dua tahun ini membuat banyak anak muda merasa tersisihkan. Hampir segala kegiatan kini hanya boleh dilakukan secara daring. Manusia adalah makhluk sosial. Karantina wilayah berkepanjangan mengakibatkan orang-orang kesepian dan mengganggu kesehatan mental. Jangankan kreativitas, semangat menghadapi hari dengan optimistis sudah pupus duluan.
Di Inggris, musim panas 2021, pemerintah mengumumkan hari kebebasan. Generasi Z dan milenial bersukacita setelah satu tahun lebih terkungkung akibat pandemi. Vaksinasi sudah dilakukan, kini waktunya untuk kembali kumpul-kumpul dan melepas kangen dengan teman serta orang tersayang. Tidak sampai enam bulan, Covid-19 galur Omicron muncul akibat ketimpangan vaksin. Anak-anak muda pun kembali terpaksa ”dikandangkan” dan terisolasi.
Di AS, Akademi Kedokteran Anak, Akademi Psikiatri Anak dan Remaja, serta Asosiasi Rumah Sakit Anak mengeluarkan pernyataan bersama pekan lalu. Kondisi anak-anak di negara tersebut tidak baik-baik saja. Sebanyak 140.000 anak di AS kehilangan orangtua ataupun pengasuh utama mereka gara-gara Covid-19. Di kalangan remaja dan dewasa muda, trauma, depresi, dan kecenderungan bunuh diri meningkat.
Itu di negara maju dengan pendataan kesehatan yang sudah bisa dikatakan mumpuni. Bagaimana dengan di negara berkembang yang tekanannya lebih besar akibat kekurangan sarana dan prasarana?
Kembali ke lagu “Pemuda”, bait ketiga berbunyi “di mana artinya berjuang. Tanpa sesuatu pengorbanan. Ke mana arti rasa satu itu”. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia berkali-kali mengatakan bahwa kunci bangkit dari pandemi dan krisis iklim adalah bekerja sama. Mudah dikatakan, susah dilaksanakan.
Keadilan vaksin belum terwujud. Anak muda yang sudah divaksin lengkap dan hidup di negara maju tidak akan bisa memikul sendiri beban perkembangan dunia apabila di belahan Bumi lain ada jauh lebih banyak anak muda usia produktif yang tidak divaksin. Anak muda di suatu tempat mengurangi belanja, tetapi produksi mode cepat yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terus digenjot.
Generasi muda di Eropa menikmati udara bersih dan energi dari sumber-sumber terbarukan. Hal itu tidak akan bisa memajukan dunia jika generasi muda di Indonesia masih menghirup uap dan debu dari pembangkit listrik bertenaga batubara. Kalau terus begitu, ujung-ujungnya, gletser dan es di kutub utara dan selatan juga akan tetap mencair dan menenggelamkan sepertiga Bumi.
Bersatu tidak hanya di kalangan generasi muda. Generasi tua yang semestinya lebih bijaksana, berpengalaman, dan berwawasan juga jangan gengsi ikut anak muda. Generasi tua berada di puncak kekuasaan dan bisa mengambil kebijakan politik ataupun bisnis. Mereka juga dulunya adalah pemuda bukan?