Jatuh Bangun Generasi Z Saat Pandemi, Cari Teman dan Pacar Sama Susahnya
Remaja dan anak muda generasi Z (13-24 tahun) paling terdampak pandemi Covid-19. Terputus dari interaksi sosial dengan teman dan sekolah memicu stres dan depresi. Tetapi, mereka mampu bertahan dan bangkit.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Isolasi. Kecemasan. Ketidakjelasan. Pernah merasakan hal-hal tersebut selama pandemi Covid-19? Barangkali banyak orang pernah atau mungkin sampai sekarang pun masih merasakannya.
Rupanya, remaja dan anak mudalah yang merasa paling menderita dan paling susah bertahan melewati masa-masa pandemi. Setidaknya ini menurut jajak pendapat MTV Entertainment Group dan Pusat Penelitian Urusan Publik NORC-kantor berita The Associated Press (AP) di Amerika Serikat, 1-19 September 2021. Lebih dari sepertiga warga AS berusia 13-56 tahun mengaku stres karena hidup mereka semakin susah akibat pandemi.
Remaja atau anak muda yang masuk kategori generasi Z (usia 13-24 tahun) merasa hidupnya ambyar, terutama ketika menyangkut urusan sekolah atau kuliah, pertemanan, dan percintaan. Jajak pendapat AP-NORC ini melibatkan 3.764 orang, 2.683 orang di antaranya termasuk generasi Z. Sebanyak 46 persen dari responden berusia 13-24 tahun mengeluhkan susahnya sekolah, mengejar karier, dan mencari pacar.
Jangankan mencari pacar, 45 persen generasi Z mengaku susah menjaga pertemanan. Akibatnya, hidup tak lagi terasa menyenangkan, tetapi malah membuat stres dan kesehatan mental terganggu.
Kalangan ahli kesehatan mental mengkhawatirkan banyaknya remaja dan anak muda yang depresi dan cemas setelah selama berbulan-bulan terpaksa belajar di rumah, dengan interaksi sosial mereka yang terbatas. ”Kondisinya bisa parah pada remaja karena tidak ada interaksi sosial dengan temannya. Pada saat yang sama, orangtuanya juga mengalami masalah yang sama di rumah,” kata Cora Breuner, dokter anak di Rumah Sakit Anak Seattle, AS.
Padahal, di masa-masa pertumbuhan, anak dan remaja masih membutuhkan banyak interaksi sosial agar keterampilan mengelola stres dan membuat keputusan lebih terasah.
Pemicu depresi
Ivy Enyenihi (16), remaja di Knoxville, Tennessee, masih belajar daring, tetapi hanya dua hari dalam seminggu. Selebihnya, tak ada yang dilakukan. ”Saya aslinya sering keluar dan banyak teman. Susah buat saya kalau sendirian terus begini. Bisa depresi,” ujarnya.
Ia menjadi malas mengerjakan tugas-tugas sekolah. Akibatnya, nilai-nilai pelajarannya pun ala kadarnya saja. Ia merasa tidak ada ikatan lagi dengan teman-teman sekolah dan guru-gurunya.
Syukurlah, kondisinya mulai membaik ketika sekolah mulai membuka pembelajaran tatap muka lagi. Tetapi, kondisi ini juga dikhawatirkan tak akan lama. Ketidakjelasan terkait pandemi ini membuat banyak orang stres.
Gara-gara stres, Tanner Boggs (21), mahasiswa University of South Carolina, hanya mendekam tidur di kamarnya sepanjang hari. Ia kehilangan motivasi untuk melakukan apa pun. Membeli makanan saja malas. ”Gara-gara korona, hidup saya berantakan,” ujarnya.
Vilmaris González, yang mengelola program anak muda untuk organisasi nonprofit Education Trust, khawatir banyak anak muda masuk ke dunia yang serba tak pasti. ”Kita tidak akan tahu seberapa besar dampak pandemi bagi anak beberapa tahun ke depan,” kata González.
Akibat pandemi pula, banyak anak muda mengubah rencana masa depan mereka. Sebelum pandemi, Gabi Hartinger (21) bercita-cita ingin menjadi guru. Tetapi, semua berubah ketika ayahnya harus dirawat di rumah sakit selama 40 hari karena Covid-19. Ia harus ikut isolasi dan malah stres hingga perlu bantuan konselor.
Kini, siswa di College of the Ozarks, Point Lookout, Missouri, itu ingin menjadi konselor sekolah untuk membantu siswa mengelola tantangan. ”Sekolah selama masa pandemi sangat berat. Pandemi ini mengubah segalanya, sampai rencana hidup saya di masa depan,” ujar Hartinger.
Peneliti dan Presiden Pusat Kinetika Generasi Jason Dorsey kepada situs Insider menjelaskan bahwa generasi Z merasa dunia mereka ambyar karena kehidupan sosial pertemanan dan percintaan mereka biasanya berkisar di sekolah. Sementara sekolah-sekolah ditutup sejak pandemi Covid-19 merajalela.
Anak-anak dan remaja pun terpaksa tinggal di rumah saja bersama orangtuanya. Padahal, masa remaja adalah masa yang penting untuk membuat koneksi sosial. Masa-masa praremaja dan awal-awal remaja menandai masa pertumbuhan kemandirian serta mengembangkan identitas dan harga diri.
Mampu melewati
Psikolog dan guru besar di Departemen Psikologi Clark University, Massachusetts, Jeffrey Arnett, mengatakan bahwa selama masa pertumbuhan dari remaja menuju dewasa (18-25 tahun), seseorang akan berada di posisi serba belum jelas. Ini sebenarnya wajar sesuai tahapan perkembangan diri. Pandemi atau tidak, proses itu wajar.
Bahkan, saat kondisi baik-baik saja pun, anak muda ada saja yang merasa ketinggalan dari teman-temannya atau bahkan merasa gagal. ”Saya tidak bermaksud meremehkan persoalan yang mereka hadapi. Tetapi, saya yakin anak-anak muda mampu bertahan dan bangkit lagi seperti biasa,” ujar Arnett.
Senada dengan Arnett, psikolog anak di Johns Hopkins University, Carisa Parrish, kepada majalah The Atlantic, 13 Desember 2021, menilai bahwa remaja dan anak muda akan sanggup melewati masa-masa sulit saat pandemi dan pascapandemi jika mereka bisa segera beraktivitas kembali seperti semula.
Siapa pun pasti akan stres dan depresi apabila harus lama mengisolasi diri, hidup di tengah ketidakpastian, atau jika sampai kehilangan orang-orang terkasih. Apalagi jika masih berusia muda. Agar tidak stres atau depresi terlalu lama, kita harus menyadari dan mengakui ada rasa sedih dan kehilangan. Ada beberapa hal yang tidak berjalan seperti yang diharapkan.
”Tentu ini menyedihkan. Remaja juga pasti sedih kehilangan momen-momen karya wisata sekolah, pesta perpisahan sekolah, atau wisuda. Tetapi, mereka masih bisa membuat kenangan dengan cara lain, misalnya sesederhana membuat video-video di media sosial, seperti di Tiktok yang mendadak populer semasa pandemi,” kata Parrish. (AP)