Anak-anak muda di sejumlah negara mengalami trauma permanen akibat krisis iklim. Frustrasi dan depresi yang mereka alami berisiko memunculkan apatisme dan kekerasan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Krisis iklim tidak hanya merusak lingkungan hidup, tetapi juga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mental generasi muda secara global. Generasi muda menilai, baik pemerintah maupun korporasi belum memperlihatkan niat tulus untuk mengatasi berbagai kerusakan lingkungan dan krisis kemanusiaan. Frustrasi dan depresi yang mereka alami berisiko memunculkan budaya apatisme dan, di sisi lain, kekerasan.
Demikian hasil survei yang dilakukan Caroline Hickman et al, yaitu tim gabungan multidisipliner dari Universitas Bath, Inggris. Survei dilakukan terhadap 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun dari sepuluh negara. Survei ini disponsori lembaga nirlaba Avaaz dan diterbitkan di jurnal ilmiah Lancet edisi Oktober 2021.
Negara-negara asal responden adalah Inggris, Finlandia, Perancis, Portugal, Amerika Serikat, Australia, Brasil, India, Filipina, dan Nigeria. Sebanyak 51 persen responden berumur 21-25 tahun dan sisanya berumur 16-20 tahun.
Sebanyak 84 persen responden mengaku khawatir dengan dampak perubahan iklim. Hingga 45 persen responden mengungkapkan, mereka sangat cemas dan mengalami stres yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. Setelah diperdalam, responden dengan kekhawatiran tinggi ini adalah anak-anak muda dari wilayah bumi bagian selatan yang kerap mengalami ataupun menyaksikan langsung akibat dari krisis iklim. Contohnya ialah bencana, kerusakan lingkungan kronis ataupun akut, kemiskinan, kelaparan, dan kehilangan tempat tinggal.
Di dalam makalah itu dipaparkan bahwa anak-anak muda ini menilai pemerintah negara masing-masing ataupun korporasi tidak menunjukkan kepedulian terhadap krisis iklim. Tindakan yang diambil umumnya bersifat reaktif, yaitu pertolongan ketika bencana sudah terjadi. Sebanyak 48 responden juga mengutarakan bahwa setiap kali berusaha membahas topik krisis iklim di tingkat keluarga, komunitas, bahkan tataran formal sekalipun, mereka sering tidak dipedulikan.
Berdasarkan analisis psikologis dan psikometri yang dipakai di makalah Hickman dan kawan-kawan ini, responden hidup dengan kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu mereka akan mengalami bencana, baik secara langsung maupun sebagai akibat reaksi berantai dari berbagai kerusakan yang terjadi di bumi.
Para peneliti membagi responden ini dalam tiga kelompok, yaitu anak-anak muda yang menunjukkan pemikiran pesimistis karena tidak memercayai akan ada tindakan yang berarti, mereka yang cenderung ketakutan sehingga berisiko memunculkan sikap kekerasan, dan yang berusaha membuat perubahan tetapi di bawah tekanan mental.
Salah satu argumentasi dalam makalah ini, krisis iklim adalah permasalahan yang bisa diatasi dan dimitigasi. Memaparkan penduduk, terutama generasi muda, pada risiko bencana alam dan trauma akibat krisis iklim bisa dikategorikan sebagai tindakan penganiayaan ataupun perbuatan tidak manusiawi yang berlandaskan kesengajaan. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia.
”Riset mengenai trauma permanen di kalangan anak muda akibat krisis iklim sejatinya bukan hal baru. Eva dan Robert Grifford dari Universitas Victoria, Kanada, menulis makalah yang diterbitkan di Bulletin of Atomic Scientists edisi Agustus 2016. Mereka meneliti, antara lain, dampak badai Katrina yang terjadi di AS pada Agustus 2005.
”Sebelas tahun kemudian, di kalangan remaja yang mengalami badai itu ketika masih anak-anak, terpatri trauma mendalam. Mereka takut ketika badai terjadi, mereka sekeluarga akan tewas. Hal ini ditambah dengan melihat rumah mereka porak poranda, kehilangan anggota keluarga dan teman, serta keterpurukan keluarga ke dalam jurang kemiskinan,” demikian kutipan dari makalah tersebut.
Di kalangan kelompok umur dewasa, stres akibat krisis iklim juga ada, terutama kaum perempuan. Stres ini menghalangi mereka untuk hidup semaksimal mungkin karena selalu dirundung ketakutan akan terjadi bencana yang lebih parah daripada sebelumnya.
Kedua riset tersebut senada dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 2050 diperkirakan 216 juta penduduk bumi terpaksa bermigrasi akibat krisis iklim. Ini belum termasuk konflik yang akan muncul akibat perebutan sumber daya alam dan perpindahan penduduk dalam jumlah besar. Demikian pula dengan berbagai pencemaran lingkungan beserta penyakit yang ditimbulkan akibat pembiaran kerusakan alam.
Aktivis lingkungan Greta Thunberg (18) mengaku terus-menerus cemas memikirkan alam. ”Anak muda sekarang semakin terpapar dengan berbagai hal yang terjadi di luar komunitas mereka, bahkan di negara lain. Berbagai krisis akibat perubahan iklim kini menjadi permasalahan personal yang harus segera kita tanggulangi bersama,” katanya. (REUTERS)