Setelah Gempita Pesta Demokrasi Usai
Dua hasil pilpres di kawasan Indo-Pasifik bisa menjadi cermin bagi Indonesia mengenai pemerintah yang baru.
Pemilihan umum presiden dan legislatif di Indonesia kurang dari sebulan lagi. Sembari menyiapkan diri menyambut pesta demokrasi, ada baiknya melihat pesta-pesta yang telah selesai. Terutama melihat negara-negara dan kawasan lain melanjutkan bergulirnya bangsa setelah pemimpin baru terpilih dengan segala konsekuensinya.
Tahun 2024 dikatakan sebagai tahun pemilihan umum paling berbahaya di dunia. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, 25 persen negara di dunia menjalankan pemilu di tahun ini, baik memilih presiden maupun perdana menteri. Selain Indonesia, negara lain yang mengadakan pemilu, antara lain, Bangladesh, Pakistan, Amerika Serikat, dan Rusia.
Baca juga: Lai Menang Pemilu Taiwan, Sikap China dan Indonesia Tidak Berubah
Pemilihan presiden (pilpres) di AS merupakan yang diamati oleh masyarakat global. Kemungkinan besar, calon-calon presidennya masih sama dengan pilpres tahun 2020, yaitu Joe Biden (81) dan Donald Trump (77). Masyarakat AS mengkhawatirkan gerontokrasi—politik yang dikuasai para lansia—karena generasi tua, kulit putih, dan kaya ini tidak melambangkan kenyataan di negara tersebut. Mereka cemas pemimpin dari generasi baheula tidak bisa mengambil kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang muda, majemuk, dan dinamis.
Di kawasan Indo-Pasifik, Taiwan adalah wilayah yang baru saja menyelesaikan pilpres. Wakil Presiden Taiwan Lai Ching-te dari Partai Demokratik Republik (DPP) terpilih sebagai presiden yang akan dilantik bulan Mei. Menariknya, di legislatif, pemenangnya adalah partai politik Kuomintang (KMT). Sejumlah pendapat mengatakan ini memberikan keseimbangan di dalam politik Taiwan.
Selama delapan tahun terakhir, Taiwan dipimpin oleh DPP di bawah Presiden Tsai Ing Wen. Selama itu pula Taiwan tidak berbicara dengan China. Justru Taiwan mendekatkan diri dengan AS dan negara-negara Barat sehingga memicu kecurigaan China bahwa Taiwan yang di bawah Prinsip Satu China adalah salah satu provinsi otonom di bawah Beijing hendak memerdekakan diri.
Konsekuensinya ialah China meradang. Mereka semakin sering dan banyak mengerahkan kapal-kapal militer menyeberangi garis media di Selat Taiwan. Pesawat-pesawat Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat juga kerap memasuki wilayah pertahanan udara Taiwan. Dari segi diplomatik, negara-negara yang awalnya menjalin hubungan formal dengan Taiwan, antara lain Nauru, Kepulauan Solomon, dan Nikaragua, menutup kedutaan besar di Taipei demi mengalihkan hubungan kepada China.
Baca juga: Dibayangi Ketegangan dengan China, Warga Taiwan Antusias Memilih
Aspek yang memukul masyarakat Taiwan ialah dari sisi ekonomi. China menerapkan penaikan tarif impor untuk produk-produk dari Taiwan. Komoditasnya mulai dari hasil pertanian, perikanan, hingga barang jadi. Padahal, China adalah pasar terbesar produk Taiwan.
Rakyat Taiwan akhirnya ribut membicarakan keinginan mereka untuk tidak memerdekakan diri dari China, tetapi menjaga status quo, yaitu di bawah Prinsip Satu China yang menjamin Taiwan dengan segenap otonominya. Awalnya, ini tampak seperti pukulan telak bagi DPP karena rakyat tidak menyukai cara mereka tidak menjaga komunikasi dengan China.
Namun, kemenangan Lai di pilpres mengatakan lain. Berdasarkan wawancara Kompas dengan sejumlah warga Taiwan, mereka memilih Lai karena meski ia selama kampanye berjanji tidak akan membuat Taiwan melepaskan diri dari China dan terus menjaga status quo, Lai menginginkan Taiwan dan China bisa berdialog secara setara. Artinya, praktik menjaga status quo itu berdasarkan keinginan masyarakat Taiwan yang kemudian diajukan kepada China.
Baca juga: Militer AS-China Cairkan Hubungan yang Beku
Ini memunculkan pertanyaan: memangnya Beijing mau melihat, apalagi memperlakukan Taipei dengan setara? Di sini, tampaknya Taiwan memegang hubungannya dengan AS yang terikat dengan Undang-Undang Aksi Taiwan dengan inti bahwa selama Taiwan berada di bawah ancaman, AS harus membantu.
Sedongkolnya China atas Taiwan, mereka harus saksama mengambil perhitungan untuk tidak memantik konflik terbuka. Terlalu banyak pihak yang akan terlibat sehingga bisa mengakibatkan seluruh dunia terjerumus krisis ekonomi, rantai pasok, dan teknologi.
”Terpilihnya Lai menjadikan dia harus taat pada Undang-Undang Dasar Republik China (Taiwan) sehingga tidak akan ada langkah provokasi seperti mengamendemen konstitusi yang bisa menjungkalkan status quo. Ia tidak punya pilihan kecuali memulai komunikasi dengan China karena berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat,” kata Chien Yu-jie, peneliti dari Institutum Iurisprudentiae Academia Sinica Taiwan kepada China File edisi Sabtu (20/1/2024).
Baca juga: Menjelang Pilpres Taiwan, Presiden Tsai Tekankan Pentingnya ”Status Quo”
Ia menjelaskan, generasi muda Taiwan kesal kepada pemerintah karena upah selama delapan tahun ini relatif stagnan, sementara harga komoditas naik. Masyarakat tidak mau mengambil risiko mengguncang status quo selama tidak ada kestabilan di dalam negeri.
Tidak berubah
Sementara itu, tetangga dekat Indonesia, Filipina, telah memilih Ferdinand Marcos Jr sebagai presiden dalam Pilpres 2022. Ketika itu, masyarakat Filipina dan internasional kaget Marcos berpasangan dengan Sara Duterte-Carpio yang merupakan anak dari Presiden Filipina 2016-2022 Rodrigo Duterte. Pasalnya, Marcos dan Duterte benar-benar bertolak belakang. Duterte sangat pro China dan anti-AS, sebaliknya Marcos dekat dengan AS.
Berbagai penyelidikan media arus utama Filipina mengungkap bahwa ada transaksi politik antara Marcos dan Duterte. Jika Marcos menjadikan Sara sebagai wakil presiden, ia akan melindungi Duterte dari gugatan Mahkamah Internasional atas berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia selama menjabat sebagai presiden.
Baca juga: Ferdinand Marcos: Demokrasi Basa-basi dan Korupsi
Kasus terkenal ialah Duterte mengerahkan aparat penegak hukum untuk langsung menembaki pengedar narkoba tanpa ada proses pengadilan. Data Pemerintah Filipina mengatakan dalam enam tahun itu ada 6.252 orang tewas ditembak polisi dengan alasan perang melawan narkoba. Bekerja sama dengan Marcos terlihat sebagai jalan keluar untuk menjamin keamanan Duterte.
”Kenyataannya ialah, walaupun tampak sebagai musuh politik, sejatinya politik nasional dan daerah Filipina dikuasai oleh sejumlah dinasti yang itu-itu saja. Terlepas kubu yang memenangi pemilu, kubu-kubu lain, termasuk lawan, tetap mengeruk keuntungan politik dan ekonomi,” tutur dosen Ilmu Politik Universitas Ateneo de Manila, Hansley Juliano, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Ia menerangkan, mau pemerintah yang pro-China ataupun pro-AS, ekonomi neoliberalisme tetap menguras sumber daya Filipina tanpa ada nilai yang kembali kepada rakyat. Jalur-jalur investasi dikuasai oleh politikus dan kerabatnya. Terkait konteks Pilpres 2022, partai-partai oposisi tidak memiliki cukup daya dan kemampuan untuk membangun dukungan melawan Duterte ataupun Marcos karena para oposisi memiliki masalah di dalam kelembagaan ataupun kepercayaan masyarakat.
Baca juga: Politik Dinasti yang Makin Kuat di Filipina
Duterte dan Marcos mengambil kesempatan itu untuk berkoalisi. Sejak sebelum pilpres, ”medan perang” oleh Duterte telah diatur dan disiapkan untuk memenangkan Marcos serta Sara. Manuver ini membuat suara dua kubu mayoritas yang awalnya bermusuhan menyatu. Secara alami, tidak ada kesempatan kubu di luar mereka bisa bersaing.
Juliano mengatakan, setiap periode pemerintahan di Filipina tidak pernah ada yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat dan demokrasi. Di bawah setiap presiden, usulan amendemen undang-undang selalu berkutat di tema memperpanjang masa jabatan presiden dan anggota DPR serta menghapus pembatasan persentase kepemilikan investor asing di industri. Para politikus di dalam pemerintahan tidak berganti, hanya berputar dari satu lembaga ke lembaga lain.
”Di akar rumput, masyarakat tidak menginginkan hilangnya relasi patron-klien. Bukan karena mereka suka dan setia kepada penguasa lokal tertentu, tetapi demi memastikan kehidupan sehari-hari warga berjalan lancar,” ucap Juliano.
Baca juga: Tentang Esensi Demokrasi
Ia menuturkan, masyarakat tidak memercayai lembaga-lembaga di Filipina karena kinerja yang buruk. Misalnya, jika anak harus diopname di rumah sakit, melalui jalur formal akan menghabiskan waktu antrean lama yang sampai berbulan-bulan. Jika ada kedekatan dengan penguasa lokal, jalur bisa diterabas dan orangtua tersebut bisa memastikan anaknya memperoleh layanan kesehatan.
Pikiran di benak masyarakat adalah ”pemimpin ini buruk, tapi saya mengetahui cara kerjanya sehingga lebih baik memilih dia daripada calon lain yang baru dan tidak dikenal”. Menurut Juliano, terlepas adanya gerakan people power yang melengserkan kediktatoran Ferdinand Marcos Sr, demokrasi belum benar-benar diterapkan di Filipina.
Baca juga: Dinasti Penguasa Tangan Besi di Filipina Berpeluang Unggul