China Peringatkan Filipina soal Salah Perhitungan di Laut China Selatan
Wang menyebut hubungan China-Filipina saat ini dalam kesulitan serius. Teodoro menuding Beijing sewenang-wenang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — China mewanti-wanti Filipina agar jangan sampai salah perhitungan yang bisa mengakibatkan letupan konflik di Laut China Selatan. Kapal-kapal penjaga pantai China dan Filipina semakin sering bertemu di perairan yang disengketakan kedua negara dan potensi terjadinya konfrontasi semakin rawan.
China mengutarakan hal itu melalui Menteri Luar Negeri Wang Yi pada Rabu (20/12/2023). Wang menelepon Menlu Filipina Enrique Manalo dari Beijing. ”Filipina berkolusi dengan pihak-pihak luar yang memiliki niat buruk. Ini bisa mengakibatkan salah perhitungan di laut. China pasti akan membela haknya dan memberi tanggapan yang sesuai situasi,” ujar Wang.
Menurut Wang, China dan Filipina harus memperbincangkan Laut China Selatan secara bilateral selaku dua pihak yang bersengketa. Ia mengatakan, jangan membawa pihak luar untuk terlibat masalah tersebut.
Kementerian Luar Negeri China menyebut, Wang mengatakan hubungan China-Filipina saat ini dalam kesulitan serius. ”Akar penyebabnya adalah Filipina mengubah sikap politik yang sudah lama dilakukan, mengingkari komitmennya sendiri, terus memprovokasi dan menyebabkan kesulitan di laut, serta meremehkan hak legal China,” sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri China.
Ini bisa mengakibatkan salah perhitungan di laut. China pasti akan membela haknya dan memberi tanggapan yang sesuai situasi.
Tidak lama setelah Wang menelepon Manalo, Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro memberi tanggapan. ”Filipina tidak mencari-cari masalah ataupun memanas-manasi suasana di Laut China Selatan. Beijing saja yang bertindak sewenang-wenang berdasar aturan yang dibuat sendiri dan tidak didukung satu pihak pun di kalangan internasional,” tuturnya.
Teodoro mengacu kepada klaim China yang disebut Sembilan Garis Putus-putus. Klaim ini mengaku dua pertiga dari Laut China Selatan sebagai milik Beijing dengan alasan sejarah menyebut pelaut China sudah berlayar di perairan itu sejak abad pertengahan.
Klaim itu dibantah oleh negara-negara yang berada di lingkar laut tersebut, yaitu Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Secara sejarah, pelaut berbagai bangsa memang berlayar di Laut China Selatan karena itu perairan internasional. Di zaman sekarang, pelayaran niaga di Laut China Selatan memiliki nilai total 3 miliar dollar AS.
Filipina menggugat klaim China ke Mahkamah Internasional dan memenanginya pada 2016. Klaim China dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki landasan yang sesuai dengan hukum internasional mana pun.
Namun, ini tidak membuat China mundur. Mereka kian menambah kehadiran kapal-kapal penjaga pantai di Laut China Selatan. Kapal-kapal ini sering menghadang kapal-kapal penjaga pantai ataupun nelayan negara lain dengan dalih memasuki wilayah China.
Konfrontasi paling sering terjadi dengan kapal patroli dan milisi Filipina. Pekan lalu, kapal patroli China dan Filipina saling semprot dengan meriam air. Filipina bahkan menuduh kapal-kapal China mulai bertindak agresif. Sebagai contohnya, mereka mengejar kapal milisi Filipina dan memepetnya sehingga rawan tabrakan dan karam.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos mengatakan, perlu pemikiran dan pendekatan baru dalam berhubungan dengan China. ”Tampaknya cara diplomasi tidak membawa hasil positif,” katanya.
Kedutaan Besar China di Manila menanggapi dengan mengatakan bahwa Beijing terus membuka pintu dialog. Adapun Manila meningkatkan patroli bersama dengan AS dan Australia. Pemerintah Filipina memanggil Duta Besar China pada 11 Desember dan menyebut kemungkinan untuk mengusirnya menyusul insiden-insiden yang melibatkan kapal-kapal kedua negara di wilayah sengketa.
Di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), panduan tata perilaku (code of conduct) Laut China Selatan masih dibahas. Direncanakan pada awal tahun 2024 pembahasan akan masuk pada proses pembacaan ketiga. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada September lalu menyebut, kode panduan itu diupayakan bisa selesai pada 2026.
Para pengamat hubungan internasional, antara lain Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Siswanto; ataupun ahli kajian China di Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara, Klaus Raditio, sama-sama menekankan pentingnya kekompakan ASEAN. Sengketa Laut China Selatan memang hanya dialami segelintir anggota ASEAN, tetapi jangan sampai para anggota itu merasa berjuang sendiri.
”ASEAN selama ini kurang aktif membahas Laut China Selatan sebagai persoalan kawasan, bukan masalah bilateral China dengan negara tertentu. Makanya, Filipina merasa ASEAN tidak hadir dan memilih mendekatkan diri ke AS. ASEAN harus mengubah pendekatan,” kata Siswanto. (AFP/Reuters)