Indonesia dan ASEAN hendaknya memanfaatkan ASEAN Outlook of Indo-Pacific untuk mengelola dan menjaga kestabilan kawasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan geopolitik di kawasan semakin terasa di utara, timur, dan selatan Indonesia. Di utara, ketegangan antara Filipina dan China di Laut China Selatan tidak kunjung berhenti. Adapun tetangga di timur Indonesia, Papua Niugini, memperkuat kerja sama pertahanan dengan Australia di selatan dan Amerika Serikat.
Ketegangan di Laut China Selatan (LCS) kembali terjadi pada akhir pekan lalu dan dilaporkan oleh media-media Filipina, Senin (11/12/2023). Ada tiga insiden kapal penjaga pantai China mencegat kapal-kapal sipil Filipina yang mengantar paket Natal ke Karang Ayungin, Pulau Patag, dan Pulau Lawak. Ketiga titik itu berada di dalam zona sengketa LCS.
Emman Hizo, juru bicara koalisi masyarakat sipil Filipina Atin Ito yang melakukan pengiriman paket tersebut, mengatakan, koalisi memutuskan untuk mengalihkan jalur pelayaran ke Palawan. Akibatnya, paket-paket Natal tidak jadi diantar ke tiga pulau di LCS.
”Situasinya tidak aman karena kapal-kapal Atin Ito terus diikuti kapal penjaga pantai China,” tutur Hizo.
Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan Filipina mencatat, selama akhir pekan, kapal-kapal penjaga pantai China menyemprot kapal penjaga pantai Filipina ataupun kapal sipil. Tindakan ini merupakan yang paling agresif dilakukan oleh China sepanjang 2023. Ada tiga kapal Filipina yang rusak gara-gara insiden-insiden itu.
Sebaliknya, Juru Bicara Penjaga Pantai China Gan Yu membenarkan kejadian tersebut. Menurut dia, pihaknya telah berlaku sesuai dengan aturan dalam membela kedaulatan wilayah China. Penjaga pantai China ke depan akan melakukan tindakan serupa jika ada kapal asing yang mereka anggap memasuki perairan di bawah kuasa Beijing.
Pembahasan sengketa LCS antara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China sedang dalam tahap pembacaan kedua kode panduan (code of conduct). Di dalam KTT ASEAN, September lalu, kedua pihak menyepakati bahwa COC ditargetkan bisa selesai pada 2026.
Pasifik Selatan
Tetangga Indonesia di timur, Papua Niugini, menandatangani pakta keamanan dengan Australia. Sebelumnya, pada Mei, Port Moresby menandatangani pakta serupa dengan Amerika Serikat. Washington memberi Port Moresby akses ke satelit dan armada patroli laut demi menangkap para nelayan ilegal. Sebagai balasan, AS bisa mengakses 15 pangkalan militer milik Papua Niugini ketika dibutuhkan.
Kamis lalu, Perdana Menteri Papua Niugini berada di Canberra, Australia. Bersama PM Australia Anthony Albanese, ia menandatangani pakta keamanan. Isinya ialah Australia memberikan bantuan keamanan tradisional dan nontradisional untuk Papua Niugini. Tradisional dalam konteks pengamanan perbatasan, perairan, dan kepolisian. Nontradisional, antara lain, di mitigasi krisis iklim dan ketahanan pangan.
Melalui pakta itu, Port Moresby akan mendatangkan sejumlah polisi dari Australia. Mereka bekerja di bawah arahan kepolisian nasional Papua Niugini dengan target memutakhirkan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi kepolisian lokal. Papua Niugini ingin menaikkan jumlah polisi mereka dari 6.000 orang menjadi 26.000 orang guna menanggulangi berbagai kejahatan berupa kelompok preman bersenjata ataupun perang antarsuku.
Di bawah pemerintahan Marape yang terpilih pada 2019, Papua Niugini lebih dekat pada AS dan sekutunya. Pemerintahan sebelumnya, pada 2018 menandatangani kesepakatan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) dengan China. Dana dari Beijing ini memungkinkan Papua Niugini membangun jalan tol, jembatan, perumahan rakyat, dan sekolah.
”Sekarang, kami lebih selektif menyaring tawaran pinjaman dari negara asing. Kami memastikan dulu tawaran itu memang sesuai dengan kebutuhan di dalam negeri. Papua Niugini mengedepankan investasi di infrastruktur yang secara cepat bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dan investasi baru,” ujar Marape.
Kerja sama dengan China yang tengah digagas ialah di sektor pengembangan industri gas alam cair (LNG). Perusahaan milik Pemerintah Papua Niugini, Kumul Petroleum, tengah berbicara dengan bank-bank di China guna meraih investasi. Menurut Direktur Pengelola Kumul Petroleum, Wapu Sonk, pembahasan kini mengenai risiko dampak terhadap lingkungan dan rencana mitigasinya.
Khanisa Krisman, pengamat isu kawasan di Badan Inovasi dan Riset Nasional menjelaskan, gesekan Filipina dan China di LCS ini menguji kekompakan ASEAN. Sudah semestinya ASEAN menguatkan dukungan terhadap anggotanya dengan cara menggenjot negosiasi kode panduan LCS.
”Jangan sampai Filipina sebagai salah satu pelopor ASEAN malah merasa sendirian menghadapi persoalan ini,” tuturnya.
Memang, sengketa LCS hanya dihadapi oleh Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Akan tetapi, bukan berarti anggota lain di ASEAN bungkam. Justru mereka harus memediasi persoalan ini karena China juga mitra penting bagi ASEAN.
Terkait dengan kiat dekatnya Papua Niugini dengan Barat, Khanisa melihat bahwa sudah saatnya ASEAN mempererat hubungan dengan negara-negara di Pasifik. Apalagi, KTT ASEAN September turut mengundang Forum Kepulauan Pasifik (PIF). Papua Niugini dan Australia termasuk anggota organisasi tersebut.
”ASEAN jangan hanya melihat ke utara, tetapi juga perhatikan sahabat-sahabat di selatan melalui dialog yang substantif. Peresmian hubungan ASEAN-PIF kemarin harus menjadi pintu masuk kerja sama yang bermakna,” katanya.
Pandangan ASEAN untuk Indo-Pasifik (AOIP) adalah wadah yang baik. Kerja sama pembangunan dan ekonomi, ujar Khanisa, hanya tercapai jika semua pihak berkomitmen menjaga kestabilan kawasan. ASEAN selaku penggagas AOIP hendaknya jangan menunggu komitmen, tetapi giat melakukan jemput bola.