Politik Luar Negeri Indonesia, Potensi Besar Belum Tergarap Maksimal
Indonesia memiliki modal politik luar negeri untuk menguatkan pengaruh global. Mampukah kita meraih kesempatan?
Giliran keketuaan Indonesia di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN berakhir seiring berakhirnya 2023. Akan tetapi, ini bukan berarti kepemimpinan Indonesia di kancah internasional harus ikut surut. Memasuki 2024 yang tiba dua pekan lagi, ada potensi besar untuk menggarap kekuatan pengaruh Indonesia di dunia.
Bisa dibilang, politik luar negeri Indonesia ”mati suri” selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ketika itu sangat fokus pada pembangunan di dalam negeri. Baru ketika Jokowi menjabat lagi di periode kedua, Indonesia kembali bangkit.
Kebangkitan itu dipicu momentum Keketuaan G20 dan ASEAN. Indonesia sukses menggelar G20 yang dibayangi perang Ukraina. Di ASEAN, Indonesia membawa Pandangan Indo-Pasifik ASEAN (AOIP) dan Forum Indo-Pasifik ASEAN (AIPF) menjadi kenyataan. ”Indonesia berusaha membumikan kebijakan luar negerinya,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhammad Iqbal.
Baca juga: Isu Kawasan Uji Kekompakan ASEAN
Kebijakan luar negeri harus berdasarkan kepentingan nasional. Indonesia memprioritaskan ekonomi dan perlindungan WNI di luar negeri.
”Indonesia sudah memiliki wadah, kini kita harus menyusun rencana mengoptimalkan dan memaksimalkan modal politik itu. Politik luar negeri tidak boleh lagi sekadar pragmatis atau terlalu idealis, melainkan harus menyeimbangkan keduanya guna menjadikan Indonesia tidak hanya aktif, tetapi juga berpengaruh secara global,” kata profesor riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Siswanto, di Jakarta, Sabtu (16/12/2023).
Politik luar negeri yang kelewat pragmatis berisiko menggadaikan kepentingan nasional. Pragmatisme hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek, tetapi tidak membangun fondasi untuk jangka panjang.
Sebaliknya, kelewat idealis berisiko membuat Indonesia dikucilkan apabila tidak luwes mengikuti perubahan zaman dan keadaan global. Kuncinya adalah transparansi dan kejelasan di setiap butir kerja sama agar tidak ada persyaratan yang muncul tiba-tiba.
Baca juga: Tantangan ASEAN Mengelola Tarikan Hegemoni China-AS di Kawasan
Ia mengingatkan, konstitusi mengamanatkan Indonesia agar bebas aktif di kancah politik dunia. Artinya, ialah terlibat di dalam gerakan menjaga perdamaian dunia dan menghormati kemerdekaan setiap bangsa. Caranya dengan menerapkan prinsip yang tidak memihak, tetapi mencari solusi yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Di dalam konteks menjaga perdamaian, Indonesia sebagai pemimpin de facto ASEAN harus lebih giat lagi mempromosikan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC). Persoalan mendasar ialah belum semua negara mitra ASEAN yang menandatanganinya ternyata menerapkannya.
”Salah satu contohnya ialah sengketa di Laut China Selatan antara para anggota ASEAN dan China. Pendekatan yang diambil oleh China adalah bilateral, bukan musyawarah dengan ASEAN. Ini tidak sesuai dengan TAC yang ditandatangani China pada 2003,” tutur Siswanto.
Baca juga:
> Tantangan ASEAN Mengelola Tarikan Hegemoni China-AS di Kawasan
> Rivalitas AS-China Bisa Menjadi Peluang Indonesia
> Penguatan Kerja Sama Warnai Pertemuan Bilateral Jokowi di Sela-sela KTT AIS
Harus ada ketegasan dari ASEAN meminta komitmen para mitra wicara untuk mematuhi TAC, terlepas hubungan bilateral mitra tersebut dengan setiap anggota. Indonesia merupakan negara dengan kekuatan menengah.
Jika bergerak sendiri, suaranya tidak terdengar. Akan tetapi, dengan wahana multilateralisme yang antara lain adalah ASEAN dan MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) ada kekuatan untuk mendesak negara-negara adidaya dan maju agar menaati hukum internasional.
Memang, tidak selalu metode itu berhasil. Indonesia dipercaya oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk berbicara dengan Amerika Serikat terkait pentingnya gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza. Jokowi membawa amanat ini ketika berbicara dengan Presiden AS Joe Biden bulan lalu. Pesan itu tidak digubris oleh AS karena perang tersebut berkaitan dengan keberlangsungan politik dalam negeri AS.
”Di sini, tampak strategi pendekatan ke AS kurang memperhitungkan sejarah keeratan hubungan mereka dengan Israel. Walaupun begitu, Indonesia memiliki kesempatan di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), terutama di Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum. Indonesia dikenal sebagai pembawa suara Selatan Dunia (Global South) dan ini yang harus digaungkan lagi,” kata Siswanto.
Dunia selatan
Konteks Selatan Dunia ini juga senada dengan pandangan Faisal Karim, pakar hubungan internasional di Universitas Internasional Indonesia. Sejak Indonesia merdeka, negara ini dikenal selalu mengumandangkan isu-isu negara miskin dan berkembang ke panggung dunia. Ini yang kemudian melahirkan Gerakan Nonblok dan membantu kemerdekaan berbagai bangsa di Asia dan Afrika.
”Sekarang, membawa suara itu bukan cuma menjadi corong, tetapi hadir dengan konsep yang jelas di setiap organisasi PBB. Konsep yang berbobot ini butuh data yang akurat dan kekompakan negara-negara berkembang lainnya. Kita harus bisa memaksimalkan reputasi sebagai honest broker (penengah yang jujur),” ujar Faisal.
Baca juga: Peran Strategis ASEAN Mendorong Perdamaian dan Kemakmuran Dunia
Oleh sebab itu, butuh konsep politik luar negeri yang lebih dari sekadar mencari investasi. Indonesia pernah menorehkannya pada Bali Package 2007 yang melahirkan konsep REDD+ untuk pengurangan karbon yang berkeadilan. Ini tidak hanya transaksi jual beli karbon, tetapi juga lebih menyeluruh. Konsep ini luruh sebelum sempat dikembangkan lebih lanjut.
Di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pada 2013, Indonesia juga bisa menggerakkan multilateralisme agar beras tidak masuk ke dalam liberalisasi komoditas. Demikian pula ketika bernegosiasi dengan Uni Eropa mengenai produk-produk pertanian yang bisa diekspor ke blok tersebut, Indonesia menggandeng negara-negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin agar jangan sampai ada aturan yang bias terhadap negara berkembang.
”Indonesia punya sifat berjuang bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan demi kesetaraan semua. Ini bisa dikembangkan dengan misi politik luar negeri menjadikan negara-negara berkembang sebagai mitra setara,” kata Faisal.
Negosiasi bukan lagi soal pemaksaan standar oleh pihak yang dinilai lebih maju. Perundingan seyogianya kini membahas pemenuhan standar itu secara berkeadilan dan berkesetaraan. Artinya, jika pihak yang satu dianggap belum mumpuni, ada ruang untuk membenahi keadaan dengan bantuan mitra, bukan sekadar donor.
Modal Indonesia antara lain OKI, ASEAN, G20, dan G77 yang merupakan kerja sama negara-negara berkembang di WTO. Semuanya memerlukan konsep yang jelas hingga penerapan teknis di lapangan.
Konsep jelas ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada Kementerian Luar Negeri, melainkan dari kepala negara yang memiliki visi pembangunan di dalam negeri dan pembangunan pengaruh politik luar negeri berjalan berdampingan melalui penguatan diplomasi bilateral dan multilateral.