Hubungan Indonesia-AS lebih banyak berkelindan dengan politik, militer, serta pertahanan-keamanan. Sementara hubungan dengan China lebih banyak di sektor ekonomi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan Amerika Serikat dan China di kawasan Indo-Pasifik memberikan dampak positif dan dampak negatif. Di tengah rivalitas itu, Indonesia dinilai bisa memosisikan diri dan mencari manfaat.
Pandangan itu mengemuka dari hasil penelitian Tim Riset Politik Luar Negeri Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) yang diluncurkan pada Kamis (7/12/2023) di Jakarta. Hadir dalam peluncuran Koordinator Tim Riset Emilia Yustiningrum, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Vahd Nabyl Achmad Mulachela, serta dosen Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad.
Survei dilakukan terhadap kalangan pengambil kebijakan dan akademisi. Emilia menjelaskan, pendapat responden berimbang dalam hal perebutan pengaruh kedua negara itu atas Indonesia. Persepsi responden berbeda dalam hal pertahanan keamanan dan ekonomi.
Di bidang pertahanan-keamanan, responden memiliki persepsi hampir sama bahwa AS berpengaruh lebih dominan dibandingkan dengan China meski dalam derajat berbeda. Sementara di bidang perekonomian, survei memperlihatkan China memiliki pengaruh jauh lebih besar dibanding AS.
Beberapa pengaruh nyata China dalam bidang perekonomian di Indonesia, menurut Emilia, terlihat dari berbagai proyek masif hasil kerja sama Indonesia-China. Proyek itu di antaranya kereta cepat Whoosh, pertambangan di Sulawesi, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Responden juga menyebutkan, dari sejumlah kerja sama, konsep Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) lebih dikenal dan dibutuhkan oleh Indonesia ketimbang kerja sama lain seperti Quad atau AUKUS yang lebih bersifat militeristik. Responden menilai, keterlibatan Indonesia dalam BRI telah memperkuat perekonomian Indonesia.
Tim peneliti dalam survei itu menemukan, hubungan Indonesia-AS lebih banyak berkelindan dengan politik, militer, serta pertahanan-keamanan. Sementara hubungan dengan China lebih banyak di sektor ekonomi.
Survei menemukan, respons dan kebijakan yang diambil pemerintah sudah sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Indonesia bisa memanfaatkan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP) sebagai platform untuk meminimalisasi konflik di kawasan sekaligus mencapai kepentingan ekonomi regional.
Hal itu akan berpotensi menjadi masalah jika tidak dicermati secara detail. Bisa jadi jebakan utang.
Akan tetapi, para pengambil kebijakan dan akademisi menilai situasi itu juga mengancam kepentingan ekonomi nasional Indonesia. ”Akademisi cukup sadar dengan konsesi 80 tahun dalam kontrak kerja sama pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung. Hal itu akan berpotensi menjadi masalah jika tidak dicermati secara detail. Bisa jadi jebakan utang,” kata Emilia.
Shofwan mengatakan, BRI lebih dikenal karena berbagai proyek di dalamnya dikesankan sebagai proyek untuk membantu konektivitas antarwilayah di Indonesia. Menurut dia, temuan itu sejalan dengan temuan hasil survei yang pernah dilakukan lembaga lain, seperti Foreign Policy Community Indonesia (FPCI)-Eria dan ISEAS Yusof-Ishak.
Shofwan menilai, BRI yang digagas China lebih dikenal karena Beijing lebih murah hati dibanding AS untuk mengucurkan kerja sama ekonomi. Konsep kerja sama ekonomi yang digagas AS, seperti Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indo Pacific (IPEF), menurut Shofwan, maju mundur sehingga menimbulkan banyak pertanyaan.
Keseriusan AS untuk mendorong kerja sama ekonomi dengan negara-negara di kawasan kini dipertanyakan. ”Anda (AS) serius atau tidak dengan sesuatu yang tangible?,” kata Shofwan.
Dia berpendapat Pemerintah AS kesulitan mewujudkan hal itu karena tidak memiliki pengaruh yang cukup besar pada pengambilan kebijakan di perusahaan-perusahaan agar bisa berinvestasi di kawasan Indo-Pasifik. ”Pengusaha-pengusaha itu memiliki kalkulasi yang berbeda dengan pemerintah,” ujarnya.
Jepang, yang turut mendorong IPEF, pun kesulitan mentransfer teknologi ke negara-negara tujuan. ”Sementara China, kasih dulu. Jika ada perubahan, nanti bisa dibicarakan di tengah jalan,” kata Shofwan.
Nabyl mengatakan, dinamika rivalitas AS dan China di kawasan membuat Indonesia harus menjaga posisinya untuk tidak terseret ke salah satu pihak. Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan China ataupun AS.
Indo-Pasifik menjadi tuan rumah bagi tujuh kekuatan militer besar dunia, mulai dari China, Amerika Serikat, hingga India. Sejak 2005 sampai diperkirakan tahun 2025, banyak negara meningkatkan secara signifikan belanja militernya. Mereka berupaya memperoleh postur pertahanan dan keamanan yang lebih baik, yang berujung pada perlombaan senjata.
”Kawasan ini menjadi strategis karena keberadaan mereka. Namun, hubungan mereka tidak selalu berada dalam sisi yang sama,” kata Nabyl.
Dalam pandangan Kementerian Luar Negeri, menurut Nabyl, hal lain yang harus dicermati adalah AUKUS dan perlucutan senjata nuklir di kawasan. Selain itu ada ancaman kejahatan transnasional.
Nabyl mengatakan, Indonesia dan ASEAN berkepentingan menjaga Indo-Pasifik tetap stabil. ASEAN di bawah keketuaan Indonesia pada 2023 telah mencanangkan Asia Tenggara sebagai pusat pertumbuhan. ASEAN menginginkan agar tidak ada gejolak yang bisa berdampak pada kemampuan anggotanya melaksanakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan warganya.
Indo-Pasifik menjadi sumber bagi investasi Indonesia. Singapura, China, Jepang, dan Korea Selatan adalah negara-negara penanam modal utama dan mitra dagang utama di Indonesia. Total nilai perdagangan pada 2022 mencapai 179 miliar dollar AS. Jepang dan Korea Selatan juga menjadi negara tujuan pekerja migran Indonesia yang memasok remitansi besar bagi perekonomian Indonesia.
Banyak kalangan menilai kerja sama Indonesia-AS dari kacamata militer. Namun, sejatinya AS menjadi salah satu penyedia vaksin Covid-19 saat pandemi, di samping China. Dalam catatan Nabyl, Indonesia negara kedua terbesar penerima vaksin dari AS.
AS juga pasar terbesar kedua produk nonmigas Indonesia dan penanam modal terbesar keenam. Menurut Nabyl, AS telah meningkatkan status kemitraan dengan Indonesia, dari mitra strategis menjadi mitra komprehensif strategis sejak November 2023.