Kehadiran Australia di kawasan kian condong pada aspek keamanan yang berisiko meningkatkan ketegangan geopolitik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
Peningkatan perjanjian bilateral antara Australia dengan Tuvalu pekan lalu mengubah pendekatan Australia dalam politik luar negeri mereka. Keduanya adalah negara anggota Forum Kepulauan Pasifik atau PIF. Selama ini, Australia sebagai negara terbesar dan termakmur di dalam organisasi kawasan itu lebih banyak terlihat sebagai senior yang sangat berpengaruh. Umumnya, kebijakan luar negeri mereka di PIF maupun di Indo-Pasifik secara lebih luas mayoritas bersifat memberi bantuan atau karitatif.
Meskipun demikian, Australia merupakan salah satu negara tersulit untuk menerima migrasi warga asing, bahkan untuk pengungsi sekalipun. Ini misalnya terlihat dari reaksi Australia atas krisis Rohingya. Militer dan penjaga pantai Australia sempat membuat iklan yang disiarkan di media arus utama serta Youtube bahwa mereka tidak akan menerima para manusia perahu mendarat di bumi Australia.
Terkait dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, mereka sempat tersinggung ketika Perdana Menteri Australia 2018-2022 Scott Morrison menyebutnya sebagai “pekarangan belakang Australia”. Konteksnya ketika itu ialah China menawarkan sejumlah kerja sama pertahanan dengan Kepulauan Pasifik. Negara yang menyambut dengan antusias adalah Kepulauan Solomon.
Morrison kalah di pemilihan umum 2022 oleh Anthony Albanese. Di bawah kepemimpinan Albanese, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong mencanangkan kebijakan luar negeri bernama keseimbangan strategis (strategic equilibrium). Selain itu, di bawah Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Pertahanan Richard Marles, Canberra meluncurkan strategi Indo-Pasifik 2023.
Intinya ialah Australia harus meningkatkan keaktifan mereka di kawasan. Harus ada pendekatan-pendekatan baru, di luar karitatif, yang membuat negara-negara di Pasifik maupun Asia Tenggara yang menyadari bahwa Australia merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Terkait penerapannya, wujudnya masih banyak yang dirumuskan.
Khusus dengan Tuvalu, negara kepulauan dengan penduduk 11.000 orang ini menghadapi masalah krisis iklim yang gawat. Dua dari sembilan atol Tuvalu sudah tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Salah satu foto yang paling terkenal ialah Menlu Tuvalu memberi sambutan kepada Konferensi Tingkat Tinggi Urusan Iklim (COP 26) tahun 2021 dengan berdiri di tengah genangan air laut setinggi lutut.
Dalam pakta yang diumumkan pada Jumat (10/11/2023) di sela-sela KTT PIF di Kepulauan Cook, PM Albanese bersama PM Tuvalu Kausea Natano mengatakan Canberra memberi izin tinggal khusus kepada warga Tuvalu. Tepatnya, setiap tahun, Australia membuka gerbang untuk 280 warga Tuvalu yang kehilangan tempat tinggal ataupun terdampak krisis iklim.
“Rakyat Tuvalu berhak atas penghidupan, pekerjaan, dan pekerjaan yang layak di tengah dampak krisis iklim,” kata Albanese, dikutip oleh kantor berita Australia, AAP.
Selain menerima pengungsi iklim, Canberra juga mengucurkan dana 16,9 juta dollar Australia kepada Funafuti untuk melakukan reklamasi pantai guna menambah luas daratan. Pakta Falepili yang dalam bahasa Tuvalu berarti “guyub” ini meletakkan isu keamanan dalam konteks selain kerja sama pertahanan juga ada koordinasi mitigasi bencana alam dan pandemi.
Lebih lanjut, Menlu Wong dalam wawancara dengan ABC mengatakan kesempatan yang sama juga terbuka bagi negara-negara lain di Pasifik. Australia ingin menjadikan diri sebagai mitra nomor satu di benak para tetangganya.
Aspek penting dari kerja sama bilateral yang ditingkatkan ini adalah Australia mempunyai hak veto terhadap niatan kerja sama pertahanan mitra tersebut. Artinya, apabila Tuvalu berencana menjalin kerja sama keamanan dengan negara lain yang oleh Australia dianggap berisiko, Canberra bisa menolaknya dan Tuvalu harus patuh. Mengenai jenis kerja sama keamanan yang kemungkinan menuai keberatan Australia masih harus ditelaah penjabarannya.
Aspek China
Ada pola di Kepulauan Pasifik untuk mulai berdiplomasi dengan China. Kepulauan Solomon, Kiribati, dan Fiji adalah negara-negara yang memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan demi menggantinya dengan China. Beijing juga membiayai berbagai proyek infrastruktur raksasa di Kepulauan Pasifik. Proyek Insiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China juga masuk ke Kepulauan Pasifik.
Kekhawatiran dari negara-negara di kawasan ialah kabar bahwa China akan mendirikan pangkalan militer di Kepulauan Solomon. PM Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare membantah tudingan itu, tetapi ini tidak cukup mendamaikan hati Australia dan sekutunya, Amerika Serikat dan Inggris yang tergabung dalam pakta pertahanan AUKUS.
AS kemudian membuat perjanjian pertahanan baru dengan Papua Niugini yang isinya memberi Port Moresby akses ke satelit serta bantuan kapal patroli guna mencegah penangkapan ikan ilegal di perairan. Sebagai timbal balik, AS bisa mengakses semua pangkalan udara Papua Niugini apabila diperlukan.
Strategi Indo-Pasifik Australia di bawah Albanese tampaknya tidak banyak berubah dengan di zaman Morrison maupun perdana menteri sebelumnya. Fokus Australia masih kepada minilateralisme yang condong di isu keamanan. Ketika pakta pertahanan Quadrilateral dengan AS, Jepang, dan India, negara-negara Asia Tenggara memprotes karena meskipun berada di tengah-tengah, mereka seolah dilangkahi.
Quad kemudian berevolusi menjadi lebih daripada sekadar pakta pertahanan. Mereka mencakupkan isu penanganan krisis iklim dan perkembangan teknologi. Ketika pandemi Covid-19, sempat terbersit gagasan Quad membantu menyediakan vaksin untuk negara-negara yang membutuhkan. Hal itu kemudian sirna karena India selaku produsen vaksin menolak mengekspor dengan alasan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Terkait AUKUS, Albanese melanjutkan kerja sama dan pembelian kapal selam bertenaga nuklir dengan alasan untuk membantu mengamankan kestabilan Indo-Pasifik. Indonesia, baik secara pribadi maupun sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 2023 menyatakan keberatan atas munculnya minilateralisme yang berisiko kepada perlombaan senjata di kawasan. Di sini tampak dengan berbagai pakta pertahanannya, Australia jika tidak mengelola politik luar negerinya dengan bijak bisa-bisa dianggap sebagai ancaman baru di kawasan.
Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn pada April 2023 mengatakan bahwa bagi ASEAN, strategi Indo-Pasifik adalah inklusif tanpa pengecualian. Artinya, membangun kepercayaan di kawasan harus melalui aksi nyata yang menguntungkan bagi semua.
Kerja sama ekonomi, pembangunan, dan isu-isu universal menjadi ruang untuk berkoordinasi tanpa membiarkan persaingan geopolitik mendominasi. Memang transaksional, tetapi menurut Kao ini yang paling bisa dikelola takaran dan penerapannya.
Mitra Australia di Quad, Jepang, memiliki cara yang lebih elegan di dalam menjalin kerja sama dengan Indo-Pasifik, termasuk dalam menyeimbangkan pengaruh China di kawasan. Ko Hirano, Redaktur Internasional Kantor Berita Kyodo menjelaskan bahwa strategi Indo-Pasifik Tokyo dilandasi dengan Doktrin Fukuda.
“Intinya, semua hubungan adalah dari hati ke hati dan kepala ke kepala. Segala jenis kerja sama, mau di bidang ekonomi ataupun politik, harus peka terhadap kebutuhan serta visi dan misi negara mitra. Hanya melalui cara ini kepercayaan bisa dibangun di kawasan,” ujarnya ketika menjadi panelis dalam diskusi Indo-Pasifik di Institut Kajian Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA) di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Ini pula yang membuat Jepang, meskipun tergeser posisinya sebagai investor utama di kawasan, tetap menjadi mitra yang selalu bisa diandalkan. Kerja sama tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi di berbagai diplomasi lunak seperti pendidikan, kesenian, dan pemberdayaan masyarakat kedua belah pihak.