Narasi dunia masih dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara besar. Dalam situasi itu, negara-negara kecil dan menengah seperti meniti buih memperjuangkan kepentingan nasionalnya.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
AFP/MAVIS PODOKOLO
Koordinator Indo-Pasifik pada Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat Kurt Campbell (kiri depan) berjalan meninggalkan tempat pertemuan seusai menggelar pembicaraan dengan pemimpin oposisi Kepulauan Solomon, Mathew Wale (tengah) di Honiara pada Jumat (22/4/2022).
Berangsur-angsur ”awan gelap” Covid-19 memudar. Di banyak negara angka kasus baru Covid-19 cenderung melandai. Meskipun demikian, dunia tetap harus waspada karena pandemi belum usai.
Seiring itu, pecah perang di Ukraina. Rusia menyerbu. Dunia yang memerlukan langkah bersama untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi harus kembali terseok-seok membangun sikap saling percaya. Pasalnya, relasi antarnegara terjerembap dalam sikap saling curiga. Operasi khusus Rusia juga kental diwarnai hal itu. Moskwa khawatir pada rencana Ukraina untuk bergabung dengan NATO.
Situasi serupa tersirat pada cara Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menyikapi kerja sama keamanan China dan Kepulauan Solomon. Mereka khawatir pada menguatnya kehadiran China di Pasifik Selatan.
KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO
Tarian tradisional asal Tuvalu turut ditampilkan pada acara Eksposisi Pasifik 2019 di Auckland, Selandia Baru, Sabtu (13/7/2019). Dalam acara yang diinisiasi Pemerintah Indonesia itu, turut ditampilkan aneka kesenian dari sejumlah negara di kawasan Pasifik.
Hu Bo, Direktur Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan, dalam opininya bertajuk ”US is strategizing in South Pacific region while China promotes development” mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, komunitas strategis AS hidup di bawah bayang-bayang ”ekspansi dan ancaman China”. Mereka percaya ketika AS tidak memberikan perhatian yang cukup, China mengambil keuntungan dari situasi tersebut dengan meningkatkan investasinya, dan berusaha untuk mendirikan fasilitas militer untuk melemahkan kekuatan militer AS di Pasifik.
Dalam opini yang dimuat di laman globaltimes.cn pada Senin (27/3/2022) itu, Hu menjelaskan, cara China berbeda dengan cara AS. Jika AS dan sekutunya memperlakukan negara di Pasifik Selatan sebagai bidak catur dalam strategi keamanan, Beijing tidak. Hubungan China dengan negara di Pasifik lebih berbasis pada kerja sama ekonomi. ”Filosofi diplomatik China adalah saling menghormati, dan terutama mengejar logika pembangunan dan kerja sama, daripada logika politik kekuasaan dan strategi militer,” tulis Hu.
Merujuk tulisan Zongyuan Zoe Liu, salah satu pakar pada lembaga Council on Foreign Relations, Rabu (4/5) berjudul ”What the China-Solomon Islands Pact Means for the U.S. and South Pacific”, investasi langsung China di negara-negara Kepulauan Pasifik naik dari 900 juta dollar AS pada 2013 menjadi 4,5 miliar dollar AS pada 2018. Meningkat 400 persen hanya dalam kurun waktu lima tahun. ”China memandang kawasan Pasifik sebagai komponen penting dari Prakarsa Sabuk dan Jalan,” tulis Zongyuan.
AFP/MAVIS PODOKOLO
Dalam foto yang diambil pada Jumat (22/4/2022) ini tampak Perdana Menteri Kepuluan Solomon Manasseh Sogavare dan Duta Besar China untuk Kepulauan Solomon Li Ming memotong pita saat peresmian kompleks stadion nasional di Honiara.
Menguatnya pengaruh China di kawasan seolah menegaskan apa yang menjadi kesimpulan Daniel W Drezner, Guru Besar Politik Internasional di Fletcher School of Law and Diplomacy, Universitas Tufts, AS. Dalam tulisannya berjudul ”The United States is not great right now” di The Washington Post pada 17 September 2020, Drezner mengatakan, merujuk pada hasil survei Pew Research Center, dalam bidang ekonomi, dunia tidak lagi berpikir bahwa AS adalah kekuatan ekonomi terkemuka. Sebaliknya, para responden merujuk China sebagai kekuatan utama ekonomi dunia. Menurut Drezner, dampaknya besar, reputasi AS menurun, terutama di era Presiden Donald Trump.
Dalam kancah geopolitik, Solomon dan Kiribati adalah dua negara yang menyusul menjalin hubungan diplomatik resmi dengan China. Sementara itu, AS tengah berupaya hadir kembali di Solomon setelah pada tahun 1993 menutup kedutaan besarnya di Honiara.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Teuku Rezasyah mengatakan, kritik AS, Jepang, dan Australia pada Solomon yang menjalin kerja sama dengan China dapat dimengerti. Mereka melihat kemampuan China membangun hegemoni baru di kawasan Pasifik Selatan, yang secara tradisional adalah wilayah yang secara ekonomi dan militer ada di bawah pengaruh mereka.
REUTERS
Pegawai Kedutaan Besar Taiwan untuk Kepulauan Solomon menurunkan bendara Taiwan, Selasa (17/9/2019). Solomon mengumumkan hubungan diplomatik dengan Taiwan sudah berakhir. Solomon menyusul negara-negara lain yang memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan, dan mengalihkan hubungan diplomatiknya dengan China.
Menurut Rezasyah, masalahnya adalah pada AS dan sekutunya. Akibat kemunduran ekonomi dan militernya, mereka tidak peka lagi pada perkembangan strategis di banyak kawasan. Rezasyah menjelaskan, selama 10 tahun terakhir, kawasan Pasifik Selatan mereka abaikan, dan mereka tidak peka pada kemampuan China membangun kerja sama diplomatik yang berbalut bantuan ekonomi, yang secara bertahap mendegradasi hegemoni AS dan sekutu-sekutunya.
Sementara itu, menurut Rezasyah, negara kecil dan menengah berada pada posisi sulit. Pada satu sisi, mereka ingin mengedepankan idealisme. Namun, pada sisi yang lain, mereka terperangkap dalam ketidakmampuan membangun secara terstruktur, dalam tata dunia yang tidak ideal. Karena itu, mereka mencoba mengambil manfaat dari rivalitas AS dan sekutu-sekutunya, melawan China yang mampu memberikan berbagai opsi pembangunan yang lebih menarik.
”Hingga saat ini, pola ini berlangsung terus karena belum ada model yang lebih baik, lebih demokratis, dan lebih memihak pada negara kecil atau menengah,” tulis Rezasyah melalui Whatsapp.