Kepulauan Solomon, Negeri Kecil Rebutan Para Raksasa Dunia
Semua pihak menginginkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Akan tetapi, pakta-pakta pertahanan terus muncul dan melanggar impian tersebut.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Kepulauan Solomon adalah negara kecil di tengah Samudra Pasifik. Penduduknya hanya 700.000 jiwa. Sangat kecil apabila dilihat dari konteks Indonesia. Akan tetapi, negara ini membuat negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik, bahkan Amerika Serikat nun jauh di sana, kelabakan. Pasalnya, Kepulauan Solomon menandatangani pakta pertahanan dan keamanan dengan China. Langkah tersebut membuat negara ini dituduh bisa mengacaukan keseimbangan di Indo-Pasifik.
Sebuah pakta pertahanan adalah kerja sama bilateral yang lumrah. Kepulauan Solomon sudah memiliki pakta pertahanan dengan Australia dan Selandia Baru yang merupakan negara-negara kaya terdekatnya. Jarak Kepulauan Solomon ke Australia mencapai 2.000 kilometer.
Permasalahannya, pakta dengan China ini diperkarakan banyak pihak karena perumusannya tertutup, termasuk di dalam negeri Kepulauan Solomon sendiri. Parlemen tidak dilibatkan dalam merancang dan menguji konteks yang dikemukakan di dalam pakta. Belum ada rilis dokumen yang resmi. Akan tetapi, pada Maret 2022, lawan-lawan politik Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare membocorkan naskah rancangan pakta kepada media massa.
Di dalam naskah itu disebutkan, Pemerintah Kepulauan Solomon bisa meminta bantuan China agar menurunkan polisi maupun Tentara Pembebasan Rakyat China ke negara di Pasifik itu apabila dibutuhkan. Klausul ini kemudian ditafsirkan bahwa Kepulauan Solomon akan mengizinkan China membangun pangkalan militer di wilayah tersebut.
Reaksi dari negara-negara Barat bak kebakaran jenggot. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, adanya pangkalan militer China di Kepulauan Solomon yang bagaikan pekarangan belakang Australia pasti akan membahayakan keamanan di Indo-Pasifik. Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton langsung menuduh China menggunakan taktik kotor menyogok para politisi Kepulauan Solomon demi tujuan ini.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern lebih bijak dalam menyuarakan kekhawatiran negaranya. Ia menuturkan, Selandia Baru masuk dalam Forum Negara-Negara Kepulauan Pasifik. Di dalam forum ini ada kesepakatan bahwa segala jenis pakta pertahanan harus dimusyawarahkan karena menyangkut kepentingan kawasan.
Ardern tampaknya kepala pemerintahan di Pasifik yang cukup berkepala dingin dan adil. Ia dulu juga menegur Australia ketika tiba-tiba mengumumkan penandatanganan pakta pertahanan Australia, Inggris, Amerika Serikat (AUKUS). Selandia Baru kemudian melarang kapal-kapal selam bertenaga nuklir yang dioperasikan ketiga negara anggota AUKUS melintasi perairan mereka.
Bukan hanya Kepulauan Solomon yang memiliki pakta pertahanan dengan China. Selain dengan negara-negara Barat, Fiji juga memiliki pakta pertahanan dengan China. Sebenarnya, pakta pertahanan Australia dengan Kepulauan Solomon apabila diamati konteksnya juga memiliki isi serupa dengan pakta Kepulauan Solomon-China. Tentara ataupun polisi Australia bisa diturunkan ke Kepulauan Solomon untuk alasan menertibkan keamanan atas permintaan pemerintah setempat.
Hal yang membedakan pakta Kepulauan Solomon-China dengan pakta-pakta lain adalah transparansinya. Sogavare meyakinkan para utusan khusus AS dan Jepang yang datang ke Honiara bahwa di negaranya tidak akan berdiri pangkalan militer China. Akan tetapi, ini tidak mengubah keraguan dari Barat dan sekutunya.
”Soal transparansi ini penting karena jika dokumen pakta tidak dibuka, kita semua akan selalu curiga ada maksud tersembunyi dari pakta itu,” kata Wakil Menlu AS Bidang Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink dalam jumpa pers seusai menyelesaikan rangkaian kunjungan ke Kepulauan Solomon, Fiji, dan Papua Niugini.
Patut diperhatikan bahwa AS memiliki 750 pangkalan militer yang tersebar di 70 negara, seperti di Singapura, Jepang, dan Filipina. Adapun China hanya memiliki satu pangkalan militer luar negeri, yaitu di Djibouti, negara di Afrika bagian timur.
Menurut Kritenbrink, jika ada pangkalan militer China di Kepulauan Solomon, akan membuka risiko penangkapan ikan secara ilegal hingga pencaplokan wilayah-wilayah bahari yang disengketakan. Meskipun demikian, AS tidak memaksa Kepulauan Solomon membatalkan pakta dengan China.
”Kepulauan Solomon adalah negara yang merdeka, berdaulat, dan mampu mengambil keputusan sendiri. Akan tetapi, jika sampai ada pangkalan militer China, AS pasti akan bertindak,” ujar Kritenbrink tanpa menjelaskan lebih lanjut definisi dari tindakan yang ia maksud.
Dari negara Pasifik, Presiden Federasi Mikronesia David Panuelo mengingatkan Sogavare, jangan sampai bangsa-bangsa Pasifik terseret ke persaingan geopolitik negara-negara adidaya. Sejauh ini, negara-negara kepulauan Pasifik tergolong stabil dan aman tanpa ancaman dari luar negeri.
Sogavare mengatakan, pakta dengan China itu merupakan diversifikasi mitra pertahanan. Apalagi, China membantu pelatihan aparat penegak hukum Kepulauan Solomon setelah kerusuhan anti-China di Honiara yang menghancurkan pecinan dan mengganggu perekonomian. Sogavare menekankan, kemitraan utama dengan Australia dan Selandia Baru tidak akan surut.
Peneliti Pusat Pengembangan Kebijakan Universitas Nasional Australia (DPC ANU), Terence Wood, dalam kolom di laman resmi lembaga tersebut menjelaskan, sejatinya pangkalan militer China di Pasifik kecil kemungkinan terjadi. Alasannya, tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak.
”Sogavare bukan pemimpin yang populer. Sudah terjadi banyak unjuk rasa menolak pemerintahannya, termasuk mosi tidak percaya yang hampir menjatuhkan dia. Membangun pangkalan militer China sama saja dengan bunuh diri, apalagi Australia mengancam menghentikan bantuan dana pembangunan yang pada tahun 2019 saja jumlahnya 2,5 kali lipat dari yang dijanjikan China tahun 2021,” papar Wood.
Terkait China, ia menerangkan, China mengutamakan pengaruh politik di wilayahnya sendiri seperti di Tibet, Xinjiang, Taiwan, dan Hongkong. Pola politik luar negeri China ialah mengedepankan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Keuntungan dari kerja sama ini yang membiayai kemakmuran China beserta partai politiknya.
”Jika diamati, pakta pertahanan Kepulauan Solomon-China ini pun lebih menekankan perlindungan para pengusaha China dan perusahaan yang berbisnis di Kepulauan Solomon. Membangun pangkalan militer ini justru mubazir tenaga dan biaya,” kata Wood.
Ia juga menyoroti sikap negara-negara Barat yang kontraproduktif dan cenderung memandang rendah negara-negara kecil di Pasifik. Contohnya, perkataan PM Morrison yang menyebut Kepulauan Solomon sebagai ”pekarangan belakang” Australia. Sikap ini lama-kelamaan membuat negara-negara di Pasifik antipati terhadap Barat.
Peneliti isu Indo-Pasifik Universitas Binus, Sukmawati Bela Pertiwi, menjabarkan, negara-negara anggota AUKUS sejatinya juga tidak bisa memprotes pakta pertahanan Kepulauan Solomon-China. Keberadaan AUKUS pun merusak kestabilan di Indo-Pasifik dan menuai protes dari negara-negara kawasan. ”Terkait adanya AUKUS dan pakta pertahanan Kepulauan Solomon-China ini, memang harus ada pihak yang berperan untuk menjaga kestabilan kawasan,” ucapnya.
Selain itu, Sukmawati mengingatkan, setiap pakta berlandaskan situasi dalam negeri setiap negara yang terlibat. Ini lebih kompleks dibandingkan dengan hubungan luar negeri suatu negara dan kerap lupa dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang keberatan dengan suatu pakta.