”Cara Asia”, Jalan Terbaik Mengurai Sengketa Laut China Selatan
Laut China Selatan, wilayah yang sangat jauh dari China dan paling dekat ke negara-negara ASEAN, semakin dikuasai China. China diharapkan bisa lebih bijaksana dalam berhadapan dengan ASEAN terkait sengketa perairan itu.
Kisruh relasi Filipina-China terkait sengketa Kepulauan Spratly di Laut China Selatan sedang menjadi perhatian dunia, terutama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN. Kisruh dipicu sengketa di pulau karang, Ren’ai Jiao sebutan China atau Beting Ayungin dalam sebutan Filipina.
Pulau karang tak layak huni itu membuat berdebar menyusul insiden beberapa pekan terakhir, termasuk pelepasan tali-temali berpelampung buatan China oleh Filipina. Isu terbaru, tiga nelayan Filipina tewas dalam insiden tabrakan kapal walau penyebab tabrakan belum jelas.
Baca Juga: Filipina Selidiki Tabrakan Kapal di Laut China Selatan
Muncul pertanyaan, akankah hal ini bisa memicu konflik militer. Perdana Menteri China Li Qiang memberikan peneguhan, 6 September 2023, terkait sengketa wilayah Laut China Selatan. ”Kami mencari relasi berbasiskan kebersamaan. Kami tak akan lelah mengupayakan perdamaian. Sepanjang kami ada di jalur tepat, lepas dari badai apa pun, kerja sama ASEAN-China akan kukuh selamanya,” kata PM Li.
Ada hal mengkristal dari garisan China, seperti juga dijanjikan pada Vietnam. Kerja sama eksplorasi di Laut China Selatan bisa diwujudkan demi kepentingan ekonomi bersama ASEAN-China.
Tentang Filipina, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, seperti dikutip China Daily, 12 Agustus 2023, menekankan bahwa China telah berulang kali menyatakan keinginan mengatasi perbedaan lewat dialog bilateral. Berdasarkan keinginan China yang konstan, sebaiknya tidak perlu ada campur tangan asing soal sengketa. Juga tidak perlu beranjak ke pengadilan internasional yang bisa bertindak bias.
”Kita semua harus menentang intervensi asing dan menolak niat asing yang ingin mengacaukan kawasan,” kata Presiden China Xi Jinping saat membuka ”2015 Boao Forum for Asia” di Provinsi Hainan, seperti dikutip China Daily, 20 Maret 2015. Seruan serupa berlanjut sampai sekarang.
Frasa ”pancingan AS”
Pertanyaannya, bagaimana agar ASEAN tidak terpancing jadi boneka AS dan menjadi proksinya dalam menghadapi China. Namun, jika dilihat lebih jauh, apakah ASEAN atau salah satunya akan jadi boneka AS, apakah hal itu sangat menakutkan bagi China?
Fakta lain menunjukkan, militer AS tidak bisa lagi segarang dulu terhadap China. China cukup mampu menangkis serangan negara mana pun dengan keberadaan rudal balistiknya, Dong Feng, yang bisa menerjang Guam (The Global Times, 28 Januari 2019).
Lagi, berdasarkan kalkulasi ekonomi, ASEAN semakin tergantung pada China. Neraca perdagangan China-ASEAN pada 2022 sebesar 970 miliar dollar AS, mengalahkan negara dan kawasan mana pun di dunia. Hubungan ekonomi ASEAN-China juga menyangkut relasi industri yang semakin terintegrasi. ASEAN-China menjadi sentra pertumbuhan ekonomi global dengan kontribusi tertinggi.
Baca Juga: Tingkat Integrasi Ekonomi dengan China Relatif Tinggi, ASEAN Bisa Terbuai
Agaknya frasa ”pancingan AS” berdasarkan versi China tidak terlalu valid. Kishore Mahbubani dari Asia Research Institute, 30 September 2023, mengatakan bahwa dominasi AS akan berakhir mengingat kemajuan China di berbagai bidang.
Mengarah ke ”cara China”
China diharapkan bisa lebih bijaksana dalam berhadapan dengan ASEAN terkait sengketa wilayah. Solusi atas sengketa wilayah di Laut China Selatan yang sudah disepakati untuk didalami, dan urgen dipercepat agar persoalan tidak menggantung terus-menerus. Kejelasan tentang ”cara Asia” sesuai tuntutan China untuk mengatasi sengketa sangat urgen.
Urgensi ini didasarkan pada beberapa faktor yang memperlihatkan ”cara Asia” berpotensi menjelma menjadi ”cara China”. Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang bermarkas di Washington DC menyebutkan bahwa di Kepulauan Spratly, luas konstruksi oleh Vietnam telah mencapai 220 hektar (The Guardian, 15 Desember 2022). Namun, menurut Direktur Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) Greg Poling, luas wilayah yang dikuasai Vietnam jauh lebih kecil dari 1.295 hektar yang telah dibangun China.
Amati juga perkembangan situasi geopolitik setelah peluncuran armada kapal induk China, Liaoning. ”Angkatan Laut (China) berlayar menuju era baru,” tulis China Daily, 26 September 2012, saat peluncuran itu.
”Debut armada tersebut dimulai saat situasi kritis, ditandai dengan ketegangan antara China dan Jepang terkait Kepulauan Diaoyu dan (peluncuran Liaoning) ini merefleksikan resolusi kuat China untuk membela wilayahnya,” kata Li Daguang, profesor di University of National Defense.
Jepang menyebut kepulauan yang disengketakan dengan China dengan nama Kepulauan Senkaku.
Sasaran bukan Diaoyu/Senkaku
Seiring dengan berjalannya waktu, langkah strategis China bukan tentang Diaoyu (Senkaku dalam nama Jepang). Diaoyu dengan jarak yang lebih dekat ke Taiwan tetap didaulat kuat oleh China. Namun, Laut China Selatan, wilayah yang sangat jauh dari China dan paling dekat ke negara-negara ASEAN, semakin dikuasai China.
Pola perwujudan hard power (kekuatan keras), termasuk aksi unjuk gigi militer sangat nyata di Laut China Selatan, bukan di Diaoyu. Langkah Filipina menegaskan haknya di daerah sengketa, dihadapi China lewat peringatan bernada ancaman.
Baca Juga: Ketegangan Baru di Laut China Selatan, China Tembakkan Laser dan Cegat Kapal Filipina
China juga memprotes langkah Filipina yang melakukan penguatan atas struktur badan BRP Sierra Madre, kapal perang Filipina yang menjadi markas terapung bagi penjaga pantai Filipina di Beting Ayungin. Hardikan terbaru muncul dari China.
Pola perwujudan hard power (kekuatan keras), termasuk aksi unjuk gigi militer sangat nyata di Laut China Selatan, bukan di Diaoyu.
”Jika Filipina sadar akan pentingnya kelestarian ekologi di Laut China Selatan, Filipina harus segera menyingkirkan kapal perang yang jangkar secara ilegal di Ren’ai Jiao. Agar Filipina juga menghentikan pembuangan air tercemar dan tidak membiarkan kapal perang berkarat tersebut menyebabkan kerusakan laut yang tidak dapat dipulihkan,”kata jubir Kementerian Luar Negeri Filipina, Mao Ning, sebagaimana dikutip The Manila Times, 29 September 2023.
Mao merespons Filipina yang berencana mengadukan China karena tuduhan merusak terumbu karang di Beting Ayungin.
Kegelisahan presiden
Taring China dirasakan Presiden Filipina Benigno Simeon Cojuangco Aquino III yang berkuasa mulai 2010 hingga 2016 dan memutuskan untuk berhadapan dengan China. Dalam wawancara dengan Rappler, 29 Juni 2016, Benigno Aquino III mengatakan, keputusan menghadapi China tidak mudah, apalagi Filipina sangat tergantung secara perdagangan dengan China.
”Saya tidak akan mengatakan bahwa saya tidak merasa gelisah,” katanya.
Ia berpikir, ”Bagaimana China akan memperlakukan kami jika kami berani? … Tetapi, dengan keyakinan bahwa masyarakat ada di sana, bahwa jika Anda menyajikan fakta, mereka akan melihat betapa masuk akalnya posisi kita, betapa logisnya, betapa benarnya kita. Kami dapat mengandalkan dukungan rakyat,” kata Benigno Aquino III.
Aquino III mengulangi perlawanan yang pernah dilakukan Presiden Ferdinand Marcos. Pada Juni 1978, Presiden Marcos menyatakan, sebagian dari Spratly sebagai wilayah negaranya, yakni ”Kalayaan Island Group”. China tentu memprotes langkah tersebut.
Pada dekade yang sama, Vietnam juga mendaulat haknya di Paracels dan terlibat konflik militer walau hanya berlangsung sebentar.
Aquino III tidak mengikuti ibunya, Presiden Cory Aquino, Presiden Fidel Ramos, Presiden Joseph Estrada, hingga Gloria Macapagal Arroyo yang memilih berelasi baik dengan China. Namun, efek keputusan Aquino III adalah nelayan Filipina tidak bisa berlayar ke laut lebih dalam.
Situasi berbalik drastis saat Rodrigo Duterte memimpin Filipina. Ia bahkan berkunjung ke China pada 2016. Hubungan di titik nadir berubah manis. Para nelayan Filipina pun bisa menangkap ikan ke laut yang lebih luas.
Situasi berubah lagi setelah Presiden Ferdinand Marcos Jr berkuasa di Filipina sejak 2022.
Namun, situasi berubah lagi setelah Presiden Ferdinand Marcos Jr berkuasa sejak 2022. Seperti dikatakan Marcos Jr, kedaulatan wilayah adalah hak sebuah negara, sebagaimana juga diinginkan China.
Baca Juga: Marcos Jr Bertekad Tidak Biarkan China Semena-mena di Laut China Selatan
Marcos Jr mengatakan, ini bukan hendak mencari permusuhan dengan China. Urusan ini juga bukan soal pertikaian geopolitik China-AS, melainkan soal hak negara berdaulat. Namun. sama seperti perlawanan Aquino III, China menghadapi Filipina dengan relatif keras.
Dalam wawancara dengan CNN pada 29 September 2030, Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro mengatakan, Filipina menghadapi perundungan (bully). Ada manuver berbahaya dari pasukan penjaga pantai China seperti semprotan air, tembakan sinar laser, dan penghalangan bagi bagi nelayan.
Baca Juga: Filipina Buktikan Gertakannya, Potong Penghalang yang Dipasang China
Teodoro menyatakan, China memang telah menyatakan kepemilikan di Laut China Selatan. Hanya hal itu adalah aksi unilateral China. Negara-negara lain juga memiliki pandangan tersendiri. Namun, Filipina menghadapi perundungan.
Solusi terbaik
Perundungan dari China tidak akan menyelesaikan masalah. Sebagaimana China ”dendam” dengan sejarah dipermalukan oleh asing ketika ia lemah, ASEAN juga kelak bisa mengidap perasaan serupa di masa depan. Akan tertanam opini bahwa ASEAN telah dipermalukan oleh China jika isu sengketa tidak diatasi saksama.
China juga terkesan agak berubah. ”China relatif lebih akomodatif dan friendly dengan negara-negara Asia lewat jargon Asian Ways. Begitu jadi superpower, jargonnya mungkin sudah berubah menjadi China's Ways,” kata pengamat hubungan internasional Mangadar Situmorang.
Mangadar menyarankan pada China dan ASEAN agar menjadikan Laut China Selatan sebagai wilayah bersama, atau saling berbagi, atau sebagai lautan bebas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE) masing-masing. Inilah Asian ways dan cocok dengan win-win solution yang digaungkan China. Atau jika mau, sengketa wilayah sama-sama ditangani lewat hukum kelautan internasional.
Baca Juga: Berkembangnya Dunia Wisata di Pulau Sengketa Laut China Selatan
Ada juga opini alternatif dari Filipina. Wartawan senior Filipina yang pernah dituduh sebagai pengkhianat negara, Rigoberto D Tiglao, memberikan peringatan, seperti ia tuliskan di The Manila Times, 29 September 2023. Dalam isu sengketa Laut China Selatan, Tiglao mengingatkan akan fenomena misinformasi dan efek kekuatan AS dan alat-alat propaganda AS di Filipina. Ia juga mengingatkan secara implisit agar dalam kasus ini sebaiknya dihindari sentimen anti-China, juga dihindari pola berpikir ”kita versus mereka”.
Karena itu, mungkin tidak perlu melibatkan pengadilan internasional atau tidak perlu memakai narasi AS yang diduga memperalat ASEAN. Masalah sengketa ini harus dituntaskan lewat cara Asia. Atau bisa juga cara ASEAN-China.
China juga tidak perlu terlalu takut dengan intervensi AS. Tidak semua Asia menyukai perangai AS dengan kisah invasi yang mengharu-biru, seperti invasi ke Irak. Asia tidak lupa akan hal ini, sebagaimana China juga tidak lupa.
Bagi ASEAN, perlu juga melihat bahwa sekecil apa pun gejalanya, pihak China tetap terlihat akomodatif. Konstruksi Vietnam di Laut China Selatan tetap terjadi. CSIS AS menyebut hal tersebut sebagai langkah signifikan. Ada kemajuan bahwa Vietnam bisa membangun di lokasi sengketa. Pihak Filipina juga menyambut China yang pernah mundur dari Pulau Pagasa pada 2019.
Ada kemelut, tetapi solusi sekecil apa pun bisa membesar menuju kebaikan. (AP/AFP/REUTERS)