Filipina Selidiki Tabrakan Kapal di Laut China Selatan
Tiga nelayan tewas akibat tabrakan kapal di Laut China Selatan. Presiden Ferdinand Marcos Jr meminta semua pihak tidak membuat spekulasi.
MANILA, RABU — Pemerintah Filipina tengah menyelidiki insiden yang menewaskan tiga nelayan di Laut China Selatan. Penjaga Pantai Filipina, Rabu (4/10/2023), melaporkan kapal nelayan itu tenggelam setelah bertabrakan dengan ”kapal komersial asing tak dikenal”.
Pernyataan Penjaga Pantai Filipina (PCG) menyebutkan, insiden itu terjadi pada Senin (2/10/2023) saat kapal nelayan berlayar sekitar 85 mil laut (157 kilometer) di sebelah barat laut Karang Scarborough yang menjadi sengketa antara Filipina dan China. Sebanyak 11 awak kapal lainnya selamat.
”Kami menjamin para korban, keluarga mereka, dan semuanya bahwa kami akan mengupayakan segalanya untuk meminta pertanggungjawaban dari siapa pun yang menyebabkan insiden maritim ini,” kata Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr melalui media sosial X.
”Kami masih menyelidiki insiden tersebut untuk mendapatkan detail dan kondisi di sekitar tabrakan antara kapal nelayan dan kapal komersial yang belum diidentifikasi. Biarkan PCG menyelidiki dan mari kita tidak berspekulasi,” ujarnya.
Kami masih menyelidiki insiden tersebut untuk mendapatkan detail dan kondisi di sekitar tabrakan antara kapal nelayan dan kapal komersial yang belum diidentifikasi. Biarkan PCG menyelidiki dan mari kita tidak berspekulasi.
Kapal nelayan itu ditambatkan di bagan penangkap ikan yang disebut payao dalam bahasa Tagalog. ”Kapal utama mereka tenggelam mengakibatkan tiga awak kapal meninggal, termasuk kapten kapal,” demikian keterangan PCG. Awak kapal yang selamat mengusung jenazah para korban dengan kapal–kapal kecil ke kota Infanta di Provinsi Pangasinan.
PCG menyebut, kapal komersial yang terlibat dalam insiden berbendera asing, tetapi tidak disebutkan secara spesifik dari negara mana. Setelah mengecek dengan para nelayan, PCG mencatat sebuah kapal tanker minyak bernama Pacific Anna dan terdaftar berbendera Kepulauan Marshall berada di sekitar area saat insiden terjadi.
Ketegangan kembali timbul di perairan Karang Scarboroguh, pekan lalu, setelah PCG menyingkirkan penghalang terapung yang dipasang China. Penghalang sepanjang 300 meter itu mengitari lokasi Karang Scarborough sehingga menghalangi nelayan Filipina yang bermaksud mencari ikan di sana.
Baca juga: Berkembangnya Dunia Wisata di Pulau Sengketa Laut China Selatan
Karang Scarborough telah lama menjadi sumber ketegangan antara Filipina dan China. China merebut lingkaran karang itu dari Filipina tahun 2012 dan sejak itu mengerahkan patroli di area tersebut. Situasi sempat mereda di masa pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Ketika itu China membiarkan kapal–kapal nelayan Filipina beroperasi di sekitar Scarborough.
Banyak insiden
Insiden awal pekan ini menambah panjang daftar kasus tabrakan kapal di sekitar Laut China Selatan. Dalam laporan kantor berita Amerika Serikat (AS), VOA, pada 25 Juni 2012 terjadi insiden di utara Scarborough Shoal yang mengakibatkan delapan nelayan jatuh ke laut setelah kapal bertabrakan dan tenggelam.
Sekretaris Pertahanan Sipil Filipina Benito Ramos ketika itu mengatakan, satu dari empat orang yang berhasil diselamatkan kemudian meninggal. Diyakini sebuah kapal Hong Kong yang menabrak kapal nelayan tersebut secara tidak sengaja.
Baca juga: Filipina-AS Gelar Latihan Militer Gabungan di Laut China Selatan
Selanjutnya, pada 9 Mei 2013, insiden kapal nelayan Taiwan, Guang Da Xing Nomor 28, ditembak PCG yang mengakibatkan korban jiwa seorang nelayan bernama Hung Shih-cheng (65). Seperti dilaporkan Philstar pada 18 September 2019, sebanyak delapan personel PCG dihukum. Pada kapal Guang Da Xing Nomor 28 ditemukan 50 lubang bekas tembakan.
Berselang dua tahun, Kapal Coast Guard China menabrak tiga kapal nelayan Filipina di Karang Scarborough pada Februari 2015 (Reuters, 4 Februari 2015). Sebelumnya, Filipina memprotes 24 kapal China yang mengumpulkan kerang raksasa di Scarborough pada Januari 2015.
Tidak hanya melibatkan China dan Filipina, terjadi pula insiden sepasang kapal Penjaga Pantai Vietnam menabrak kapal TNI AL agar kapal–kapal nelayan Vietnam bisa meloloskan diri (ABC, 29 April 2019). Insiden ini terjadi di utara Kepulauan Natuna. Selanjutnya TNI menahan 12 nelayan Vietnam dari kapal nelayan yang tenggelam terkait insiden tabrakan kapal patroli tersebut.
Berselang dua bulan, kembali terjadi insiden antara kapal China dan kapal Filipina. Kapal nelayan Filipina, F/B Gemver 1, ditabrak kapal nelayan China, Yue Mao Bin Yu 42212, di Reed Bank (Recto Bank) pada 9 Juni 2019. Sebanyak 22 nelayan Filipina terapung di laut, diselamatkan nelayan Vietnam. Pemilik kapal China kemudian meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada nelayan Filipina sebesar 6 juta peso tahun 2022.
Peristiwa terakhir adalah kapal nelayan Vietnam ditabrak dan tenggelam oleh kapal Penjaga Pantai China pada 3 April 2020 di dekat Kepulauan Paracel. Filipina mendukung Vietnam dalam insiden tersebut.
Lokasi sengketa
Bill Hayton, peneliti dari Chatam House Inggris, dalam kajian yang dibagikan oleh situs lembaga kajian ISEAS Singapura menerangkan, ada dua gugus kepulauan utama yang menjadi sengketa di Laut China Selatan, yakni Paracels (yang disebut Hoang Sha oleh Vietnam dan Xi Sha oleh China) di sebelah utara dan Spratlys (yang disebut Truong Sa oleh Vietnam dan Nan Sha oleh China) di sebelah selatan. Karang Scarborough di timur disengketakan oleh Filipina, China, dan Taiwan. Adapun Pratas atau Dong Sha menjadi rebutan China dan Taiwan.
Menurut Hayton, model di Laut Utara di antara negara Eropa, jika pulau–pulaunya tidak ada secara fisik (hanya berupa gugus karang atau gusung pasir), akan dibagi area perairan dan sumber daya. Namun, jika pulau-pulaunya besar dan berpenduduk seperti di Laut Tengah, penduduk pulau-pulau tersebut menentukan akan bergabung dengan negara mana atau memilih mandiri.
Baca juga: Menanti Bukti Investasi Jepang di Natuna
Dia mencontohkan, warga Kepulauan Natuna menjadi bagian Republik Indonesia karena memang warga Natuna pun mengaku sebagai rakyat Indonesia.
Dia menambahkan, China, Taiwan, Vietnam, dan Filipina mengajukan klaim secara keseluruhan tanpa dasar spesifik dari fisik pulau atau lokasi masing–masing yang berbeda, yakni pulau, gugus karang, dan lain-lain. China mengklaim seluruh Nan Hai Zhu Dao, gugusan kepulauan di Laut Selatan sejak 1948.
Di sisi lain, Kongres AS dengan persetujuan Presiden Harry S Truman mengeluarkan perintah eksekutif 9843 pada 16 Juli 194 untuk mengirim kapal dan material guna membantu militer China. Salah satu kapal perang dari Angkatan Laut AS yang digunakan membantu China sekarang berada di Taiwan, yakni kapal ROCS Chung Hai LST 201, yang aslinya adalah LST 755 US Navy.
Baca juga: ASEAN Perlu Lebih Tegas soal Laut China Selatan
Taiwan mengklaim masing–masing dari empat gugus kepulauan, yakni Xi Sha, Nan Sha, Dong Sha, dan Zhong Sha. Zhong Sha adalah gugusan karang di bawah permukaan laut, termasuk Karang Scarborough. Vietnam mengklaim Hoang Sa dan Truong Sa, sedangkan Filipina mengklaim Karang Scarborough dan Kepulauan Kalayaan di Kepulauan Spratly, kecuali Pulau Spratly. Para pihak memainkan politik zero sum game (menang-kalah) atas klaim mereka sehingga tidak memungkinkan kompromi. (AFP)