Ditunggu, Aksi Nyata Kerja Sama Penanganan Krisis Iklim
Berdebat sering, tawar-menawar berjalan, tetapi kapan proyek nyata mitigasi krisis iklim dijalankan?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Hampir dua pekan ini berita terbesar dari berbagai penjuru dunia ialah mengenai bencana alam. Kebakaran lahan, gelombang panas, topan, badai, dan banjir. Semua analisis pakar lingkungan menggarisbawahi satu fakta, yaitu pemanasan global mengakibatkan penguapan air laut meningkat yang akhirnya mengakibatkan cuaca ekstrem.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres bahkan mengatakan—walaupun secara dramatis—bahwa bumi sejatinya tidak lagi dalam fase pemanasan global, melainkan pendidihan global.
Mungkin kita bertanya-tanya. bagaimana mungkin disebut pendidihan, sementara suhunya tidak mencapai 100 derajat celsius? Di beberapa tempat yang sangat panas sekalipun, misalnya di Amerika Serikat, suhunya ”hanya” mencapai 49 derajat celsius. Bukan titik didih.
Lebih lanjut dijelaskan oleh James Skea, Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), salah satu lembaga PBB, bahwa memang secara fisik bumi tidak akan hancur jika suhu naik 1,5 derajat celsius lagi, tetapi secara sosial terjadi kiamat.
Kenaikan suhu, yang mungkin tidak seberapa ini apabila kita sudah terbiasa dengan cuaca panas, akan melelehkan katup-katup es yang mengalirkan semakin banyak air tawar ke laut. Permukaan air laut semakin naik dan salinasi berkurang. Pada saat yang sama, suhu laut juga naik. Dampaknya ialah berkurangnya biota laut yang menjadi sumber pangan masyarakat global.
Tidak hanya itu, negara-negara kepulauan kecil, termasuk sejumlah pulau di Indonesia, terancam terendam banjir rob. Negara-negara di Kepulauan Pasifik, seperti Kiribati, Tonga, dan Vanuatu, berisiko tenggelam sehingga tidak lagi layak ditempati. Lantas, ke mana mereka akan pergi kalau bukan bermigrasi ke negara lain?
Kita belum lagi membahas mengenai risiko bencana kemanusiaan akibat kekeringan. Bayangkan negara-negara di Asia Barat, Asia Tengah, dan di Afrika Sahel yang gagal panen akibat kemarau berkepanjangan. Perkiraannya, jika terjadi bencana pangan global ini, ada setidaknya 200 juta migran baru.
Kiamat kemanusiaan
Dunia sudah pusing menangani krisis migran sekarang. Apabila ditambah dengan gelombang migran baru yang jumlahnya setara dengan penduduk Indonesia, tidak terbayangkan risiko pecahnya konflik, diskriminasi, dan berbagai bencana kemanusiaan yang beranak pinak. Inilah kiamat kemanusiaan.
Meskipun demikian, jangan sampai kita semua gemetar ketakutan di pojokan. Kerja sama untuk melakukan mitigasi dan adaptasi adalah keniscayaan.
Kerja sama untuk melakukan mitigasi dan adaptasi dalam penanganan krisis iklim adalah keniscayaan.
PBB mengatakan, dengan mengucurkan 1,8 triliun dollar AS untuk melakukan berbagai pencegahan dan penanganan kerusakan alam, dunia bisa menghindari risiko kerugian 7 triliun dollar AS akibat bencana alam yang diperparah oleh emisi karbon.
Salah satu kerja sama yang menyorot perhatian adalah antara dua rival, AS dan China. Kedua negara itu merupakan penghasil emisi terbesar global. Ketika emisi dua negara itu digabung, volumenya 40 persen emisi sedunia. Para politikusnya saling menyalahkan. Negara maju menuduh negara berkembang tergantung dengan energi fosil. Sebaliknya, negara berkembang menuding negara maju cuma bisa mengkritik, padahal industri mereka yang menghasilkan emisi selama dua abad terakhir.
Kerja sama AS-China ini ialah AS meminta China untuk mengurangi penggunaan batubara sebagai sumber energi. Adapun China meminta AS mengurangi tarif impor panel surya. Penasihat Senior Greenpeace China, Li Shuo, mengatakan kepada CNN bahwa banyak yang pesimistis dua permintaan ini bisa mulus terlaksana karena pasti akan dipolitisasi di setiap negara.
Alex Wang, pakar kebijakan iklim China di Universitas California Los Angeles, AS, menjelaskan bahwa pengurangan batubara sebagai sumber energi listrik ini penting. Sebab, sebanyak apa pun kendaraan listrik yang beroperasi di China, pencemaran udara tetap serius apabila emisi batubara tidak berkurang. Oleh sebab itu, menyasar sumber energi, yakni pembangkit listrik, adalah fondasi dari transisi energi.
Di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa (UE) Josep Borrell Fontelles dalam Pertemuan ke-56 Para Menteri Luar Negeri ASEAN bulan Juli 2023 mengutarakan komitmen Uni Eropa memberi hibah 10 miliar euro agar negara-negara anggota ASEAN melakukan transisi energi. Persoalannya, sekadar bagi-bagi uang juga bukan jalan keluar.
Harus ada kerja sama nyata berupa saling berbagi teknologi dan kebijakan peralihan energi yang masuk akal sehingga tidak menyakiti pembangunan. Polandia, misalnya, memberi usulan kerja sama di bidang peningkatan teknologi pembangkit listrik batubara dengan sistem penangkapan karbon ataupun penurunan emisi. Tidak sempurna, tetapi bisa membantu mengendalikan emisi sementara sistem energi terbarukan dibangun.
Pertanyaannya adalah kapan proyek nyata tersebut dilakukan, bukan dijajaki?