Bumi Mendidih, Bencana di Mana-mana
Bumi mendidih. Di saat seperti ini, yang penting adalah kerja sama menurunkan emisi dan melakukan mitigasi serta adaptasi bencana iklim. Bukan berseteru.
Pendidihan global mengakibatkan semakin sering terjadi bencana akibat cuaca ekstrem. Mitigasi dan adaptasi krisis iklim tidak bisa ditunda. Persoalannya, setiap negara bergerak sendiri-sendiri. Bahkan, beberapa negara malah saling menyalahkan, dibandingkan melakukan pembenahan di dalam negeri.
Dalam satu pekan ini terjadi setidaknya terjadi lima bencana alam akibat cuaca ekstrem yang didorong oleh perbuatan manusia. Wujudnya mulai dari kebakaran hingga banjir.
Sekilas, tampaknya bertolak belakang karena yang satu berupa bencana api dan yang satu lagi bencana hidrometrologi. Akan tetapi, keduanya berakar dari semakin memanasnya suhu Bumi yang oleh para pakar iklim disebut sebagai era pendidihan.
Baca juga: Sindrom Katak Direbus
Di Amerika Serikat terjadi dua bencana. Pertama, kebakaran lahan akibat cuaca yang sangat kering di Negara Bagian Hawaii. Api kebakaran itu dikipasi oleh angin kencang yang dibawa badai Dora. Badai ini tidak langsung melintasi Hawaii dan mengguyur gugus kepulauan itu, tetapi angin yang menyertainya mengimbas dan memperbesar wilayah kebakaran.
Gubernur Hawaii Josh Green mengumumkan pada Jumat (11/8/2023), di Pulau Maui saja ada 55 warga yang tewas. Jumlah ini diduga akan bertambah karena para petugas penanganan bencana masih terus melakukan pencarian di puing-puing hunian, perkantoran, dan bangkai mobil.
Distrik bersejarah Lahaina di Maui rata dengan tanah. Pemerintah AS mencatat, kebakaran di Maui ini terburuk sejak tahun 2018, yaitu kebakaran di California yang menghanguskan kota kecil Paradise dan menewaskan 85 orang.
Sementara itu, di dataran utama AS, angin puting beliung diperkirakan terbentuk. Pekan ini, angin kencang menerjang AS mulai dari ibu kota Washington sampai ke wilayah tengah dan selatan di Alabama. Ada dua orang yang tewas akibat tersambar petir dan tertimpa pohon. Bahkan, kantor-kantor di Washington sampai ditutup saking kencangnya angin.
Kelompok pertama yang terdampak hawa panas ialah warga lansia, ibu hamil, anak kecil, dan orang dengan penyakit kronis maupun serius.
Di China, warga masih terdampak Topan Doksuri dengan total korban jiwa mencapai 78 orang. Bahkan, di Beijing saja ada 33 warga yang tewas. Tanah-tanah pertanian terendam banjir dan gagal panen. Selain Doksuri, di Asia Timur juga tengah melaju Topan Khanun yang melintasi Jepang, Korea Selatan, dan kini sedang menuju ke Korea Utara.
Para pakar iklim mengkhawatirkan di Korut kerusakan oleh Khanun lebih parah mengingat infrastruktur negara tersebut sudah tua dan mayoritas petaninya adalah petani tradisional. Bisa-bisa, Korut terjerumus ke dalam krisis pangan.
Topan Khanun ini adalah topan pertama yang benar-benar melintasi seluruh Semenanjung Korea. Biasanya, hanya wilayah di barat daya dan selatan Korea Selatan yang terdampak. Pada saat yang sama, di selatan Jepang sedang terbentuk Topan Lan.
Di Asia Tenggara, Myanmar yang tengah dilanda krisis keamanan juga didera bencana alam. Banjir datang dan 40.000 orang harus diungsikan. Sudah ada lima orang yang tewas. Padahal, pada Mei, Myanmar baru diterjang Topan Mocha yang menewaskan 148 orang.
Suhu semakin memanas
Tanpa bencana alam itu, sebenarnya Bumi sudah berada di titik yang mengkhawatirkan karena suhu yang semakin memanas. Wartawan isu iklim Jeff Goodell menulis di dalam bukunya, The Heat Will Kill You First, gelombang panas merupakan penyebab kematian akibat cuaca terbesar di dunia.
Baca juga: Kaum Muda, Menggugatlah untuk Masa Depan Bumi
”Kelompok pertama yang terdampak hawa panas ialah warga lansia, ibu hamil, anak kecil, dan orang dengan penyakit kronis maupun serius,” tuturnya kepada media CBS. Di AS, Goodell mengumpulkan data bahwa gelombang panas menyebabkan serangan jantung ke kelompok rentan tersebut karena tubuh mereka berusaha menyesuaikan diri dengan suhu yang terik dan menyesakkan.
Lembaga kajian iklim Climate Central mengeluarkan data pada 2 Agustus lalu yang menyatakan sebanyak 81 persen penduduk Bumi terpapar cuaca sangat panas setidaknya tiga kali. Panas ekstrem ini merupakan akibat dari emisi karbon.
Climate Central meneliti 4.700 kota di 200 negara. Kota-kota besar yang berpenduduk di atas 6 juta jiwa mengalami cuaca sangat panas akibat inkubasi gas rumah kaca.
Luciana Bonifacio, Direktur Pengembangan Save the Children, menulis di majalah Forbes bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2022 akan mengalami cuaca ekstrem dua hingga tujuh kali lebih banyak dibandingkan dengan generasi kakek dan nenek mereka. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyatakan, 1 miliar anak di dunia terpapar risiko tinggi bencana alam akibat krisis iklim.
Baca juga: Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi PanganAnak-anak dari kelompok miskin dan masyarakat adat merupakan yang paling rentan di antara semua. Selain berisiko kehilangan tempat tinggal akibat bencana, mereka juga semakin terpapar risiko kekerasan.
Pasalnya, di berbagai komunitas adat, perempuan dan anak perempuan yang bertanggung jawab mencari air. Semakin surut sumber air, semakin jauh mereka harus berjalan dan semakin rentan mereka akan marabahaya alam maupun kekerasan seksual. Hak pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak rentan ini juga tidak akan terpenuhi.
Kerja sama antarnegara
PBB menyatakan, jika terpenuhi dana sebesar 1,8 triliun dollar AS, bisa dipakai untuk membangun sistem mitigasi dan adaptasi global untuk krisis iklim yang menghindarkan dunia dari kerugian sebesar 7,1 triliun dollar AS. Akan tetapi, jumlah ini belum terwujud.
Butuh kerja sama yang lebih intensif antarnegara untuk menurunkan krisis iklim tersebut. Negara-negara berkembang perlu dibantu untuk mempercepat penurunan emisi. Jika tidak, yang terjadi adalah terus menyalahkan negara maju.
Di China, misalnya, yang merupakan penghasil sepertiga emisi global, narasi krisis iklim selalu menyerang negara-negara Barat yang memaksa negara berkembang untuk menurunkan emisi. Di sisi lain, negara berkembang berdalih masih membutuhkan energi fosil untuk pembangunan.
”Ini narasi yang berbahaya. Semestinya, dorong kerja sama semua pihak dan antarnegara untuk berbagi teknologi pengurangan emisi maupun energi terbarukan karena itu lebih produktif dan efektif,” kata Li Shuo, penasihat senior di Greenpeace China.
Baca juga: Hibah Uni Eropa untuk Transisi Energi ASEAN
Negara-negara maju menargetkan bisa nirkarbon per tahun 2030. Akan tetapi, negara-negara berkembang tidak mampu. Umumnya, mereka baru bisa nirkarbon 15-25 tahun lebih belakangan dari negara maju. Oleh sebab itu, kerja sama mitigasi dan adaptasi krisis iklim sangat penting dilaksanakan.
Save the Children, misalnya, melakukan proyek adaptasi iklim di beberapa negara yang salah satunya adalah Etiopia. Adaptasi yang mereka lakukan relatif sederhana dengan menembok kanal-kanal dan tali air. Upaya ini memungkinkan pengendalian persebaran air yang lebih efektif dan mencegah air berkurang. Efeknya ialah membantu pertanian sehingga para petani tomat bisa meningkat panennya hingga 2,6 kali. (AP/Reuters)
Baca juga: John Kerry Tiba di China, Bangun Kerja Sama Tangani Iklim di Tengah Rivalitas