Sindrom Katak Direbus
Seperti katak yang direbus dalam kuali secara perlahan, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa pemanasan global saat ini sudah mendekati titik ekstrem yang bisa memungkasi peradaban manusia.
Minggu lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mendeklarasikan bahwa era pemanasan global sudah berakhir dan babak pendidihan Bumi sudah tiba. Akankah retorika baru ini menggerakkan aksi nyata menghadapi krisis iklim?
Para penyangkal krisis iklim mungkin akan skeptis menghadapi kalimat metafora dari Guterres ini. Namun, para ilmuwan bisa melihat kenapa Guterres sampai mengeluarkan istilah ini.
Gelombang panas berkepanjangan menjadikan Juli 2023 sebagai rekor suhu terpanas secara global. Terik matahari yang memanggang memicu kebakaran hutan terdahsyat dalam sejarah Kanada, menyebabkan kehancuran dan evakuasi, bahkan merenggut puluhan korban jiwa.
Asap kebakaran itu menyebar luas hingga Amerika Utara. Kebakaran hebat juga melanda sebagian wilayah Eropa, meliputi Mediterania, Yunani, Italia, dan Spanyol.
Gelombang panas juga melanda Asia, dengan Bangladesh, India, Thailand, hingga China mencatat suhu tertinggi. Di tengah rezim pemanasan ini, badai dan hujan ekstrem melanda pada awal Agustus 20233. Pekan lalu, China mengalami hujan dengan intensitas 744,8 milimeter, paling lebat dalam sejarah mereka.
Baca juga : Perubahan Iklim dan Pengasaman Laut
Tidak ada lagi yang luput lagi cuaca ekstrem. Di Indonesia, titik api mulai bermunculan seiring datangnya El Nino. Beberapa bulan ke depan, ancaman kekeringan dan kebakaran kemungkinan bakal meluas. Tiga tahun sebelumnya, La Nina memicu hujan berkepanjangan dan menyebabkan banjir serta longsor di mana-mana, selain juga kegagalan panen.
Deretan bencana terkait cuaca merupakan sinyal nyata dari pemanasan global yang mengacaukan iklim di Bumi kita.
Studi cepat dari para ilmuwan iklim yang tergabung dalam World Weather Atribution menyimpulkan, tanpa perubahan iklim akibat ulah manusia, peristiwa cuaca ekstrem seperti saat ini akan amat jarang terjadi.
”Di China, gelombang panas seperti kali ini merupakan peristiwa pertama dalam 250 tahun. Sementara panas maksimum seperti pada Juli 2023 hampir tidak mungkin terjadi di Amerika Serikat, Meksiko, dan Eropa Selatan jika manusia tak menghangatkan planet ini dengan membakar bahan bakar fosil,” sebut para ilmuwan iklim ini dalam rilis pada 25 Juli 2023 lalu.
Fenomena ini menggarisbawahi mendesaknya pengurangan emisi gas rumah kaca secepat dan sedalam mungkin. Meski demikian, hingga kini belum tampak upaya meluas dan drastis untuk mengubah pola hidup boros emisi. Nyaris semua negara gagal memenuhi target penurunan emisi sehingga suhu Bumi terus meningkat.
Dengan segenap penanda krisis iklim ini, mengapa kebanyakan orang belum tergerak?
Normalisasi bencana
Sementara beberapa dampak perubahan iklim dicirikan oleh peristiwa yang tiba-tiba berupa bencana kebakaran hutan, mulai dari banjir hingga badai, sebagian besar perubahan itu terjadi bertahap melalui penurunan kondisi yang stabil dari tahun ke tahun, dekade demi dekade.
Laju perubahan ini membantu kita beradaptasi dengan menyediakan setidaknya beberapa waktu bagi sistem ekonomi, politik, dan sosial kita untuk merespons.
Manusia memang makhluk yang luar biasa mudah beradaptasi, tetapi kemampuan ini bisa melemahkan mitigasi. Ingatan pendek itu cenderung menormalkan kenaikan suhu dan kenaikan muka air laut yang terjadi lintas generasi.
Baca juga : Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Cuaca ekstrem yang berulang melanda pun dianggap sebagai ”normal baru”, bahkan sangat normal. Mereka yang menormalisasi anomali demi anomali ini akhirnya tidak menyadari betapa buruknya kondisi saat ini dan kurang termotivasi untuk melawan pemanasan global: normal chaos of every day life.
Hal ini merupakan sindrom ”katak direbus”, legenda urban tentang eksperimen dengan memasukkan katak ke dalam panci berisi air mendidih, di mana ia dengan cepat melompat keluar.
Mereka yang menormalisasi anomali demi anomali ini akhirnya tidak menyadari betapa buruknya kondisi saat ini dan kurang termotivasi untuk melawan pemanasan global.
Namun, jika dimasukkan ke dalam panci berisi air hangat di atas kompor dan panasnya dinaikkan secara bertahap, katak akan tetap berada di dalam panci sampai mati. Katak yang direbus perlahan tidak menyadari perbedaan kenaikan suhu hingga sangat terlambat untuk menyelamatkan diri.
Penelitian Frances C. Moore dari Department of Environmental Science and Policy, University of California dan tim di jurnal PNAS pada 2019 menunjukkan, keterbatasan ingatan dan ekspektasi, serta bias dalam pikiran, membuat manusia bukan penilai terbaik untuk perubahan suhu.
Kebanyakan orang akan menggunakan pengalaman cuaca dalam beberapa tahun terakhir ini daripada periode sejarah yang lebih panjang untuk mengevaluasi cuaca saat ini. Kesimpulan ini didapatkan Moore dan tim setelah menganalisis lebih dari 2 miliar unggahan media sosial antara tahun 2014 dan 2016.
Mereka menemukan, ketika terjadi suhu tidak biasa untuk waktu tertentu dalam setahun, orang akan ramai mengomentarinya. Namun, jika tren suhu berlanjut dan terjadi lagi suhu tidak biasa pada waktu itu di tahun berikutnya, orang tidak lagi peduli.
Ketidakpedulian ini memiliki implikasi terhadap perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan. Jika emisi tidak dikurangi dengan cepat, pemanasan selama abad berikutnya akan melebihi setengah juta tahun terakhir.
Baca juga : Krisis Iklim di Piring Kita
Para saintis memprediksi, suhu Bumi bakal tembus 1,5 derajat celsius lebih panas pada tahun 2027 dibandingkan dengan tahun 1850, dan hingga akhir abad ini, kenaikan suhu bakal melebihi 4 derajat celsius, dan hal itu bisa menjadi akhir peradaban manusia.
Mari kita pikir ulang mengapa kita mengabaikan sedemikian banyak penanda tentang perubahan iklim, bahkan menjadi terbiasa dengan iklim baru kita. Mari bertindak untuk memeriksa persepsi kita sendiri.
Mari waspada terhadap normalisasi kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Dan, yang paling penting, mari melompat keluar dari kuali sebelum semuanya terlambat.