John Kerry Tiba di China, Bangun Kerja Sama Tangani Iklim di Tengah Rivalitas
Melalui lawatan ke China, Utusan Khusus AS untuk Iklim John Kerry ingin membangun kerja sama penanganan iklim dengan Beijing. Banyak pertentangan AS dan China, tetapi dalam isu iklim mereka harus bekerja sama erat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
BEIJING, MINGGU — Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Urusan Iklim John Kerry tiba di Beijing, China, pada hari Minggu (16/7/2023). Ia dijadwalkan bertemu dengan Utusan Khusus Presiden China untuk Urusan Iklim Xie Zhenhua guna membahas kerja sama peralihan energi fosil ke energi terbarukan di dua negara penghasil emisi terbesar di dunia ini.
Kedatangan Kerry diberitakan oleh stasiun televisi nasional China, CCTV. Kerry akan berada di Beijing hingga 19 Juli. Ia merupakan pejabat ketiga AS pada tahun 2023 yang berkunjung ke China. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Menteri Keuangan Janet Yellen yang melawat.
Hubungan Washington-Beijing mendingin sepanjang tahun 2022. Apalagi, setelah kedatangan Ketua DPR AS 2019-2023 Nancy Pelosi ke Taiwan pada Agustus 2022 yang memicu kemarahan Beijing.
Pada November 2022, Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping bertemu di sela-sela KTT G20 di Bali. Keduanya saat itu menyatakan sadar bahwa hubungan kedua negara besar itu tidak sesuai dengan kepentingan mereka dan harapan dunia kepada mereka. Karena itu, AS-China juga perlu mencari cara untuk mengelola hubungan.
Namun, hubungan kedua negara kembali memanas, terutama setelah insiden penembakan balon China yang melayang di wilayah udara AS oleh militer AS pada Februari 2023.
Terkait lawatannya ke Beijing, Kerry mengatakan bahwa pertemuannya dengan Xie bertujuan membangun kembali komunikasi dan kerja sama dengan China. Memang, AS dan China banyak memiliki permasalahan, terutama di sektor politik dan pertahanan. Akan tetapi, berusaha menangani krisis akibat perubahan iklim adalah isu universal yang bisa dilakukan bersama-sama.
Pada Kamis (13/7/2023), Kerry melakukan rapat dengar pendapat dengan Komite Urusan Luar Negeri DPR AS. ”China bukan mitra wicara yang jujur. Mereka mengatakan hendak mengurangi emisi, tetapi kenyataannya tetap mengoperasikan pembangkit listrik dengan tenaga batubara secara masif,” kata Ketua Komite Michael McCaul.
China selama ini tidak mau mengurangi emisi sebesar standar negara-negara maju yang notabene adalah AS, Eropa, dan Jepang. Menurut Beijing, mereka masih dalam fase negara berkembang sehingga harus diberi target lebih rendah atau jangka waktu lebih lama untuk beralih ke energi terbarukan.
Selain itu, DPR AS juga mempermasalahkan kasus pelanggaran hak asasi manusia di China. Salah satu contohnya ialah di Provinsi Xinjiang. Di sana orang-orang dari kelompok etnis minoritas─terutama Uighur─yang tidak mematuhi aturan Beijing dimasukkan ke berbagai kamp kerja paksa, termasuk membuat panel surya untuk pembangkit listrik tenaga sinar matahari.
Kerry menanggapinya dengan menjelaskan perilaku China itu bukan alasan bagi AS untuk tidak bekerja sama. ”Hambatan politik selalu ada, tetapi kita selalu mengedepankan diplomasi. Pintu dialog harus terus dibuka. Apalagi, ini isu mengenai hajat hidup orang banyak secara global,” ujarnya.
Hambatan politik selalu ada, tetapi kita selalu mengedepankan diplomasi. Pintu dialog harus terus dibuka. Apalagi, ini isu mengenai hajat hidup orang banyak secara global.
Pembicaraan Kerry dengan mitranya di Beijing akan fokus pada sejumlah isu, termasuk pengurangan emisi metana, pembatasan penggunaan batubara, pengendalian deforestasi, serta membantu negara-negara miskin dalam menangani perubahan iklim. Kerry dan Xie selama lebih dari dua dekade telah menjalin hubungan akrab.
Menurut beberapa pengamat, keduanya diperkirakan juga akan membahas keberatan China terhadap tarif AS dan pembatasan-pembatasan lain atas impor panel surya dari China serta komponen-komponen baterai. Washington berupaya memproteksi pabrik-pabrik AS dari para pesaingnya di China yang bisa menghasilkan barang dengan harga murah.
”Saya tidak melihat bakal adanya terobosan dari pertemuan-pertemuan ini, tetapi harapan saya bahwa mereka bisa memulihkan kembali keselarasan dan diplomasi mereka secara normal,” ujar David Sandalow, Direktur Program AS-China pada lembaga Center on Global Energy Policy.
Batu ujian
AS dan China mengatakan, mereka seharusnya bisa bekerja sama dalam menangani perubahan iklim, terlepas ada perbedaan-perbedaan dalam bidang-bidang lain. Li Shuo dari Greenpeace di Beijing menyebutkan, pembicaraan antara Kerry dan mitranya di Beijing menunjukkan perubahan klim ”masih menjadi batu ujian dalam hubungan bilateral paling penting di dunia.”
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komite Urusan Luar Negeri DPR AS, Kamis, Kerry menyampaikan perihal tujuan lawatannya ke China. ”Yang sedang kita upayakan untuk bisa dicapai saat ini adalah benar-benar membangun sejumlah stabilitas dalam hubungan tanpa harus memberikan apa-apa,” ujarnya.
Perundingan antara AS dan China telah meningkatkan negosiasi-negosiasi dalam upaya penanganan perubahan iklim, termasuk menjadi landasan kesepakatan iklim Paris tahun 2015. Panel Lintas Pemerintahan untuk Urusan Perubahan Iklim─sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa─mengatakan bahwa per tahun 2030, dunia harus bisa mengurangi suhu setidaknya 1,5 derajat celsius. Apabila suhu terus naik melebihi batas itu, dunia akan mengalami bencana iklim terburuk sepanjang sejarah.
Katup-katup es akan meleleh akibat pemanasan global yang membuat permukaan air laut naik dan suhu laut memanas. Ini memicu matinya biota laut dan juga tenggelamnya berbagai kota pesisir. Negara-negara kepulauan kecil otomatis tidak memiliki kesempatan bertahan. Krisis pangan dan bencana alam akan membuat setidaknya 250 juta penduduk dunia terpaksa bermigrasi. Ini bisa melebar menjadi krisis politik dan keamanan.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kompas, 2 September 2022, Kerry mengatakan kerja sama dengan China merupakan langkah besar untuk mengurangi emisi. Apalagi, terlepas berbagai kritik, China tetap memiliki perkembangan energi terbarukan yang tercepat di dunia.
Surat kabar nasional China, China Daily, mengutip hasil penelitian lembaga riset AS, Global Energy Monitor. Lembaga ini melaporkan, pembangunan infrastruktur energi surya dan energi bayu di China lebih cepat dibandingkan target yang ditetapkan hingga tahun 2030.
Presiden China Xi Jinping pada tahun 2020 menargetkan, per 2030 negara itu memiliki energi total 1.200 gigawatt dari matahari dan angin. Pada akhir tahun 2022, China memiliki kapasitas menghasilkan listrik 379 gigawatt dari energi surya dan 371 gigawatt dari energi bayu.
Sementara itu, Institut untuk Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan (IEEFA)─lembaga kajian energi yang berbasis di Amerika Serikat─melaporkan bahwa secara umum pada tahun 2022 di Asia kontribusi listrik energi terbarukan ialah 34,6 persen. Jumlah ini naik dibandingkan pada tahun 2019, yakni 29,6 persen.
Khusus di China, listrik hijau ini pada 2022 sebanyak 39 persen atau naik 6 persen dari tahun 2019. Negara dengan populasi terbesar di dunia, India, listrik hijau pada 2022 adalah 22,9 persen. Ini naik dibandingkan pada 2019 yang jumlahnya 20 persen.
”Perkiraannya, hingga tahun 2025, kenaikan listrik hijau di Asia berkisar 18-19 persen setiap tahun. Umumnya dari surya dan bayu,” kata Ramnath Iyer, peneliti utama IEEFA, kepada South China Morning Post.
Penyumbang signifikan pengurangan energi fosil di China adalah kendaraan listrik. Lembaga Climate Energy Finance melakukan penelitian yang mengatakan bahwa setiap bulan tahun 2022, kisaran pembelian mobil penumpang listrik 32-34 persen dari pasaran. China mengurangi energi fosil dari aspek kendaraan bermotor dulu sebelum beralih ke pembangkit tenaga listrik. (AP/REUTERS/SAM)