Perkawinan spesies manusia purba ”Neanderthal” dan ”Denisovan” yang hidup dalam lingkungan berbeda dipicu perubahan iklim.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Perubahan kadar karbon dioksida di atmosfer pada masa lalu memainkan peran kunci dalam menentukan waktu dan lokasi perkawinan spesies manusia purba kawin. Spesies Neanderthal dan Denisovan yang memiliki preferensi lingkungan berbeda ternyata bisa saling bertemu, kawin, dan menghasilkan keturunan campuran.
Hal ini diceritakan tim internasional dalam jurnalScienceyang dipublikasikan 10 Agustus 2023. Riset tersebut merespons hasil riset tahun 2018. Saat itu sejumlah peneliti mengumumkan penemuan seorang individu perempuan-dijuluki Denny-yang hidup 90.000 tahun lalu.
Sosok anak perempuan ini berasal dari ayah Denisovan dan ibu Neanderthal. Neanderthal dan Denisovan merupakan dua manusia purba yang terpisah proses evolusinya dengan manusia modern sejak 500.000 tahun lalu. Denny bersama dengan sesama individu keturunan campuran yang ditemukan di goa Denisova, bersaksi bahwa perkawinan silang mungkin umum terjadi di antara hominin.
Seolah-olah pergeseran glasial-interglasial dalam iklim menciptakan panggung untuk kisah cinta manusia yang unik dan bertahan lama, yang jejak genetiknya masih terlihat sampai sekarang.
Untuk mengungkap waktu dan lokasi hibridisasi manusia terjadi, para ilmuwan biasanya mengandalkan analisis paleogenomik dari spesimen fosil yang amat langka dan kandungan DNA purba mereka yang bahkan lebih langka. Dalam laporan hasil riset di Science tersebut, tim ahli iklim dan ahli paleobiologi dari Korea Selatan dan Italia melakukan pendekatan berbeda.
Mereka menggunakan bukti paleo-antropologis, data genetik, dan simulasi superkomputer dari iklim masa lalu. Tim menemukan bahwa Neanderthal dan Denisovan memiliki preferensi lingkungan yang berbeda.
Lebih khusus lagi, Denisovan jauh lebih beradaptasi dengan lingkungan dingin, yang dicirikan oleh hutan boreal dan bahkan tundra, dibandingkan dengan Neanderthal mereka yang lebih menyukai hutan beriklim sedang dan padang rumput.
”Hal ini berarti habitat pilihan mereka dipisahkan secara geografis, dengan Neanderthal biasanya lebih memilih Eurasia barat daya dan Denisovan di timur laut,” kata Jiaoyang Ruan, peneliti pascadoktoral di Institute for Basic Science (IBS) Center for Climate Physics (ICCP), Korea Selatan, dan penulis utama laporan itu dalam situs internet IBS yang diakses 11 Agustus 2023.
Melalui simulasi komputer, para ilmuwan dapat menemukan perkiraan lokasi dan waktu pertemuan Neanderthal dan Denisovan. Pada periode interglasial yang hangat, ketika orbit Bumi mengelilingi Matahari lebih elips dan musim panas di belahan bumi utara terjadi lebih dekat ke Matahari, habitat hominin mulai tumpang tindih secara geografis.
”Ketika Neanderthal dan Denisovan berbagi habitat yang sama, ada lebih banyak pertemuan dan interaksi di antara kelompok-kelompok tersebut, yang akan meningkatkan kemungkinan kawin silang,” kata Prof Axel Timmermann, Direktur ICCP dan profesor di Pusan National University.
Simulasi tumpang tindih habitat masa lalu tidak hanya menempatkan Denny sebagai hasil campuran Neanderthal-Denisovan generasi pertama ke dalam konteks iklim, tetapi juga sesuai dengan episode perkawinan silang lainnya yang diketahui sekitar 120 ribu tahun yang lalu.
Rekonstruksi paleogenetik
Rekonstruksi paleogenetik masa depan digunakan untuk menguji kekokohan prediksi berbasis model superkomputer baru dari potensi interval kawin silang sekitar 210.000 dan 320.0000 tahun lalu.
Untuk lebih menentukan pendorong dampak perubahan iklim, para ilmuwan melihat lebih dekat bagaimana pola vegetasi berubah di Eurasia selama 400.000 tahun terakhir.
Mereka menemukan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer dan kondisi interglasial ringan menyebabkan perluasan hutan beriklim ke arah timur ke Eurasia tengah yang menciptakan koridor penyebaran bagi Neanderthal ke tanah Denisovan.
”Seolah-olah pergeseran glasial-interglasial dalam iklim menciptakan panggung untuk kisah cinta manusia yang unik dan bertahan lama, yang jejak genetiknya masih terlihat sampai sekarang,” komentar Ruan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi para peneliti dalam studi mereka adalah memperkirakan kondisi iklim yang disukai untuk Denisovan.
”Untuk menangani kumpulan data Denisovan yang sangat jarang, kami harus menyusun alat statistik baru, yang juga dapat menjelaskan hubungan leluhur yang diketahui di antara spesies manusia,” kata Profesor Pasquale Raia dari University of Naples, Federico II di Italia, rekan penulis laporan itu.