Arab Saudi Turunkan Produksi Minyak secara Sepihak
Arab Saudi beralasan ingin menstabilkan harga minyak yang selama ini lesu. Diperkirakan harga minyak bakal naik lagi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
AP PHOTO/RONALD ZAK
Foto yang diambil pada 6 Maret 2020 ini menunjukkan Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman Al Saud tiba untuk pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan negara-negara eksportir minyak lain di luar OPEC bertemu di Kantor Pusat OPEC di Vienna, Austria.
VIENNA, SENIN — Arab Saudi secara sepihak memutuskan mengurangi produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari. Langkah itu diambil demi menstabilkan harga minyak yang dinilai terlalu rendah. Padahal, berkat rendahnya harga minyak itu inflasi di beberapa negara bisa tertangani.
Keputusan itu disampaikan oleh Menteri Energi Arab Saudi Abdulaziz bin Salman Al Saud dalam rapat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC+) di Vienna, Austria, Minggu (4/6/2023) malam waktu setempat atau Senin (5/6/2023) pagi waktu Indonesia. ”Kami harus mengambil segala cara untuk menstabilkan harga minyak dunia,” katanya.
Penurunan ini berarti Arab Saudi per Juli 2023 hanya menghasilkan 9 juta barel minyak per hari. Jumlah produksi minyak Arab Saudi terus menurun sejak pertengahan tahun 2022. Sama seperti Arab Saudi, OPEC+ secara umum juga menurunkan produksi rata-rata sebanyak 2 juta barel per hari sejak tahun lalu.
Tindakan itu mereka lakukan akibat sanksi negara-negara Barat terhadap minyak Rusia gara-gara invasi ke Ukraina. Saat ini, minyak Rusia dikenai batas harga tertinggi 60 dollar AS per barel apabila hendak dijual ke negara-negara Barat. Sebagai balasan, Rusia memilih menjual minyak ke India, China, dan Turki dengan harga lebih tinggi, tetapi dengan biaya distribusi lebih besar. Kepada kantor berita TASS, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa Rusia juga mengurangi produksi sebanyak 500.000 barel per hari.
Jika pengurangan produksi ini berlangsung dalam waktu cukup lama, terjadi defisit global. Pada akhir tahun 2024, bisa-bisa harga minyak tembus 100 dollar AS per barel.
Pengumuman penurunan produksi ini belum ditanggapi oleh Amerika Serikat. Berkaca dari pengalaman pada Oktober 2022, Presiden AS Joe Biden mengutarakan kemarahan ketika OPEC+ mengurangi produksi minyak yang berarti harga bahan bakar di AS akan naik. Apalagi, pada November 2022 AS mengadakan pemilu sela dan isu harga minyak bisa menjadi senjata politik melawan pemerintah.
Hingga Mei 2023, harga minyak mentah Brent adalah 75 dollar AS per barel. Ini membantu 20 negara di Eropa menangani inflasi karena harga bahan bakar masih terjangkau oleh masyarakat di tengah meroketnya tarif listrik. Sementara itu, di Amerika Serikat, harga minyak malah 70 dollar AS per barel. Ini memungkinkan masyarakat bisa menikmati libur musim panas dengan pergi berwisata.
Perkiraannya, dengan keputusan Riyadh mengurangi produksi, harga minyak mentah Brent akan naik menjadi 87 dollar AS per barel. Ini berpengaruh dalam jangka waktu pendek. Adapun hasil yang signifikan akan terlihat jika Arab Saudi memutuskan untuk meneruskan kebijakan penurunan produksi tersebut.
”Jika pengurangan produksi ini berlangsung dalam waktu cukup lama, terjadi defisit global. Pada akhir tahun 2024, bisa-bisa harga minyak tembus 100 dollar AS per barel,” kata Bob McNally, Direktur Utama Rapidan Energy, kepada CNBC.
AP PHOTO/AMR NABIL
Rombongan wartawan meninjau kilang gas alam Aramco di Hawiyah, Arab Saudi, 28 Juni 2021.
Sementara itu, Wakil Direktur Rystad Energy Jorge Leon menjelaskan, sebagai penghasil minyak nomor satu di dunia, Arab Saudi memang mempunyai kemampuan untuk mengatur volume dan distribusi minyak global. Intinya, Arab Saudi menginginkan adanya landasan harga yang bisa diatur untuk mencukupi kebutuhan mereka atas harga minyak yang dianggap ideal.
Selama ini, permintaan minyak terus menurun, terutama di AS dan Eropa. Salah satu faktornya ialah peralihan ke energi terbarukan. China sebagai negara industri nomor satu mulai bangkit setelah pandemi Covid-19. Namun, jumlah permintaan mereka terhadap minyak belum terlalu berpengaruh.
Alasan lain Arab Saudi ingin menjaga harga minyak ialah karena laba dari penjualan ini membiayai berbagai proyek ambisius mereka. Riyadh ingin beralih ke perekonomian yang tidak bergantung pada bahan bakar fosil, tetapi modal membangun keragaman ekonomi itu memakai uang dari minyak.
Salah satu proyek yang dikejar oleh Arab Saudi adalah pembangunan kota masa depan Neom yang membutuhkan dana 500 miliar dollar AS. Dana Moneter Internasional (IMF) menghitung, dengan segala ambisi pembangunan Arab Saudi itu, butuh harga minyak minimal 80,90 dollar AS per barel untuk memenuhinya. (AP)