”Anda tidak bisa menepis faktor geopolitik yang lebih luas di Timur Tengah di balik tindakan OPEC+ itu,” kata Andy Critchlow dari S&P Global Platts.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·6 menit baca
OPEC+ menampar keras Amerika Serikat lewat pengurangan produksi minyak mentah. Ada alasan ekonomi demi kestabilan harga dari OPEC+ terkait pengurangan itu. Namun, nuansa geopolitik di balik itu tidak terhindarkan. Taring AS di Timur Tengah sudah melemah dengan kebangkitan China dan perlawanan Rusia terhadap pengaruh AS di dunia. Ini penyebab Timur Tengah lebih berani menolak tradisi tekanan AS.
Para menteri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan mitranya atau dikenal sebagai OPEC+ mengumumkan tambahan penurunan produksi secara sukarela dalam pertemuan lewat konferensi video, Minggu (2/4/2023). Total penurunan produksi 1,66 juta barel per hari itu berlaku mulai Mei dan akan berlangsung sampai akhir 2023.
Penurunan produksi 2 juta barel per hari oleh OPEC+ juga sudah diumumkan pada Oktober 2022. Total produksi minyak global sekarang ini sekitar 102 juta barel per hari.
”Langkah ini bertujuan mendukung kestabilan harga,” demikian siaran pers para menteri OPEC+. Pada pertangahan Maret 2023, harga-harga minyak mentah dunia telah menurun ke kisaran 70 dollar AS per barel dari harga yang sempat mencapai 120 dollar AS per barel. Ada kepentingan ekonomi OPEC+ untuk menjaga penerimaan dari ekspor minyak lewat harga yang stabil.
Setelah pengumuman itu, harga minyak mentah jenis Brent naik 6 persen menjadi 84,93 dollar AS per barel. Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) juga naik dengan persentase serupa menjadi 80 dollar AS per barel. Arab Saudi selalu berharap harga minyak global bertengger pada kisaran 90 dollar AS per barel.
Pudarnya pengaruh geopolitik
”Namun, Anda tidak bisa menepis faktor geopolitik yang lebih luas di Timur Tengah di balik tindakan OPEC+ itu,” kata Andy Critchlow dari S&P Global Platts kepada CNBC, Senin (3/4/2023). Faktor geopolitik yang dimaksud adalah pudarnya pengaruh AS di Timur Tengah disertai menguatnya pengaruh China dan Rusia di kawasan.
Hal serupa dikatakan analis dari Goldman Sachs Commodities Research, Dean Struyven. ”Di samping mengherankan, pengurangan produksi itu merefleksikan kepentingan ekonomi dan mungkin juga pertimbangan politik,” katanya.
Pemudaran pengaruh AS memungkinkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang biasanya disebut sebagai klien AS, menolak tuntutan AS. Tindakan OPEC+ itu sekaligus merupakan penolakan lanjutan kepada Presiden AS Joe Biden yang tahun lalu meminta Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman dalam pertemuan di Riyadh agar OPEC menaikkan produksi (The New York Times, 3 April). ”Anda tahu, mereka ingin bertindak dalam dunia multipolar ketimbang tunduk penuh pada AS,” kata Critchlow.
Reaksi terbaru AS adalah penolakan terhadap keputusan OPEC+. ”Penurunan produksi minyak tidak disarankan sehubungan sedang berlangsungnya ketidakpastian di pasar. Pendapat kami jelas,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional, John F Kirby.
AS kini sedang menghadapi tekanan inflasi dan krisis perbankan. Kenaikan harga minyak menjadi penambah tekanan bagi ekonomi AS. Maka, sikap Arab Saudi di balik putusan OPEC+ menyulitkan posisi AS.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, putusan itu akan merugikan perekonomian global karena menambah faktor ketidakpastian. ”Itu tindakan yang disesalkan,” kata Yellen seraya menambahkan bahwa selayaknya harga minyak global turun.
Presiden Federal Reserve St Louis James Bullard mengatakan, putusan OPEC+ merupakan hal mengejutkan. Inflasi di AS akan tetap tertekan jika harga minyak naik. Hal itu turut menyulitkan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk menurunkan inflasi. Tamas Varga, broker minyak dari PVM, menyatakan, inflasi pasti mengalami kenaikan karena harga minyak yang naik.
Arab Saudi jadi sasaran
Tindakan OPEC+ menjadikan Arab Saudi bulan-bulanan AS. ”Ini gaya baru Arab Saudi dengan manuver tak terduga,” kata Karen Young dari Center on Global Energy Policy pada Columbia University.
Tindakan Arab Saudi menunjukkan keputusannya kini didasarkan pada kepentingan negaranya walau hal itu menjengkelkan pemerintahan Biden. Helima Croft, analis dari RBC Capital Markets, mengatakan, ”Sudah jelas bahwa Arab Saudi siap menghadapi ketegangan hubungan dengan AS.” Arab Saudi sekarang melihat AS sebagai hanya salah satu dari beberapa mitra penting, bukan lagi mitra terpenting seperti di masa lalu.
Presiden Biden sebaliknya mencoba menepis putusan itu. ”Efeknya tidak akan buruk seperti yang Anda bayangkan,” katanya, Senin. Yellen juga menyatakan efek keputusan OPEC+ terhadap kenaikan harga minyak, dalam kaitannya dengan tekanan inflasi di AS, tidak mengkhawatirkan.
Menolong Rusia
Arab Saudi bukan satu-satunya faktor di balik keputusan OPEC+. Rusia menjadi faktor penting bagi Arab Saudi dalam pengendalian harga minyak global. Lepas dari faktor geopolitik, bagi Arab Saudi, peran Rusia dalam kerja sama produksi minyak global amat menentukan demi kepentingan penentuan harga.
Rusia sangat berkepentingan berkolaborasi dengan OPEC. Barat telah mematok harga minyak impor dari Rusia maksimal pada harga 60 dollar AS per barel. Jika harga minyak global naik, Barat akan mengevaluasi patokan harga minyak impor asal Rusia. Caroline Bain, ekonom dari Capital Economics, mengatakan, putusan OPEC+ sekaligus merupakan dukungan bagi Rusia dalam menghadapi tekanan Biden (VOA, 3 April).
Yellen mengatakan, putusan OPEC+ itu tidak akan berefek terhadap pematokan harga minyak impor dari Rusia. Namun, ia katakan, pengkajian harga patokan minyak akan dijajaki jika diperlukan. ”Namun, sejauh ini patokan harga tidak perlu dikaji,” kata Yellen.
Patokan harga itu hanya dijalankan AS dan Eropa. Dunia tidak mau mengikuti pematokan harga minyak impor asal Rusia yang ditentukan Barat. Rusia menawarkan harga diskon minyak bagi negara yang tidak mengikuti patokan harga oleh Barat.
Phil Flynn, analis senior dari PRICE Futures Group, mengatakan, pematokan harga itu tidak efektif. ”Rusia tetap bisa menjual minyak ke Barat lewat negara perantara,” kata Flynn (S&P, 20 Maret).
Faktor China
Kolaborasi Rusia dan Arab Saudi juga tidak bisa lepas dari peran China. Bagi Timur Tengah, China telah melemahkan pengaruh AS di kawasan. Hal itu termasuk karena peran China dalam memediasi perdamaian Arab Saudi dengan Iran.
”Normalisasi hubungan Arab Saudi-Iran telah melemahkan pengaruh AS di kawasan. Ini membuat kawasan tidak merasa perlu terlalu mementingkan faktor AS,” kata Tsuyoshi Ueno dari NLI Research Institute (Nikkei Asia, 4 April).
Kepentingan perdagangan serta investasi China di kawasan dan sebaliknya memungkinkan penolakan terhadap pengaruh AS. Arab Saudi sudah melangkah menjadi mitra dialog di dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai, yang didominasi China dan Rusia.
Apa pun di balik keputusan pemangkasan produksi OPEC+, konsumen global menjadi pihak yang dirugikan. Phil Flynn mengatakan, ”Persoalan yang kita hadapi soal minyak sekarang ini adalah tidak ada kejelasan arah dan kerja sama dari seluruh pemerintahan di dunia.”
Kerja sama lewat G20 pun tidak bisa diharapkan untuk kepentingan bersama global terkait harga minyak. Dalam pertemuan G20 tahun lalu di Bali telah muncul penolakan terhadap usulan AS, yang meminta agar OPEC+ dikecam karena menurunkan produksi (Agence France Presse, 14 Oktober). Hal ini sekaligus menunjukkan memudarnya pengaruh AS di seluruh dunia. (AFP/AP/REUTERS)