OPEC Memainkan Peran Kekuatan Geopolitik Energi Dunia
Ketergantungan dunia pada komoditas minyak bumi sangatlah tinggi sehingga secara tidak langsung membuat OPEC memiliki kekuatan geopolitik yang sangat besar dalam memengaruhi situasi global.
Oleh
Budiawan Sidik A
·5 menit baca
AP/JOE KLAMAR
Seorang tentara Austria menjaga pintu masuk markas OPEC, 4 Oktober 2022, pada malam Pertemuan Ke-45 Komite Pemantau Menteri Bersama dan Pertemuan Tingkat Menteri OPEC dan non-OPEC Ke-33 yang diadakan pada 5 Oktober, di Vienna, Austria. - Kartel minyak OPEC+ akan bertemu di Vienna untuk pertama kali sejak pembatasan Covid-19 diperkenalkan pada 2020. Pertemuan tatap muka 13 anggota OPEC yang dipimpin Arab Saudi dan 10 anggota sekutunya yang dipimpin oleh Rusia akan menjadi yang pertama di ibu kota Austria sejak musim semi 2020.
Proyeksi perlambatan ekonomi dan rencana pemangkasan produksi minyak bumi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC semakin mendorong dunia pada bayang-bayang ketidakpastian. Dalam situasi ini, posisi OPEC dalam geopolitik dunia sangat vital karena mampu berkontribusi besar dalam situasi pemulihan ekonomi dunia. Surutnya produksi minyak OPEC dikhawatirkan menggangu stabilitas pasokan dan harga energi sehingga mengakselerasi perlambatan ekonomi global.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2023 ini diperkirakan hanya tumbuh 2,9 persen. Besaran ini menurun dari proyeksi pertumbuhan tahun 2022 yang diestimasi mencapai 3,4 persen.
Perlambatan ekonomi pada tahun ini sebagian besar disumbang oleh penurunan ekonomi negara-negara maju yang melambat lebih dari 50 persen dari situasi tahun lalu. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini kelompok advanced countries turun menjadi 1,2 persen dari tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 2,7 persen.
Dari seluruh kelompok negara maju, Uni Eropa merupakan kawasan yang mengalami penurunan pertumbuhan paling signifikan. Diperkirakan hanya menyisakan pertumbuhan sebesar 0,7 persen pada tahun ini. Padahal, pada tahun lalu kawasan Eropa diestimasi masih membukukan kemajuan ekonomi sebesar 3,5 persen.
Salah satu penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi kawasan eropa itu adalah meroketnya inflasi akibat harga energi yang kian melonjak tinggi. Invasi Rusia ke Ukraina yang disikapi negara-negara Uni Eropa dengan memberlakukan sejumlah sanksi ekonomi termasuk embargo impor energi dari Rusia membuat ketahanan ekonomi Eropa goyah. Meski demikian, kebijakan ekonomi ini terus dilakukan Uni Eropa beserta sekutunya, Amerika Serikat, secara bertahap demi menghentikan invasi Rusia ke Ukraina. Pada awal tahun ini embargo energi dari Rusia akan diberlakukan secara penuh sehingga suplai energi total dihentikan sama sekali.
Pemberlakuan embargo larangan impor energi dari Rusia oleh Uni Eropa itu berpotensi besar berimbas negatif bagi kedua belah pihak. Penurunan permintaan produk minyak dan gas bumi dari Rusia kemungkinan besar juga akan berefek negatif bagi sektor ketahanan energi di Uni Eropa. Apabila Uni Eropa tidak mendapat kepastian pasokan migas dari negara eksportir lainnya, niscaya kebijakan embargo tersebut justru mendorong resesi ekonomi atau perlambatan ekonomi di kawasan Eropa.
Berdasarkan data dari resourcetrade.earth pada tahun 2015-2020, kebutuhan impor minyak bumi berserta produk turunannya di Uni Eropa yang berasal dari sejumlah negara di dunia rata-rata sekitar 990 juta ton oil equivalen (toe) per tahun. Dari seluruh produk minyak impor itu, sekitar 236 juta toe atau 24 persen didatangkan dari Rusia. Impor minyak bumi oleh Uni Eropa ini setiap tahunnya membutuhkan dana sekitar 431 dollar AS. Hampir 22 persennya atau sekitar 93 miliar dollar AS dibayarkan setiap tahun kepada Rusia sebagai imbal jasa atas transaksi komoditas minyaknya.
Demikian pula dengan gas bumi, setiap tahun Uni Eropa mendatangkan produk impor energi fosil jenis ini sekitar 453 juta toe. Produk gas bumi ini didatangkan juga dari sejumlah negara di dunia. Salah satunya berasal juga dari Rusia. ”Negara Beruang Merah” ini setiap tahun mengirimkan gas bumi ke sejumlah negara Uni Eropa sekitar 68 juta toe atau hampir 15 persen dari seluruh kebutuhan gas bumi di kawasan Eropa. Total nilai ekonomi yang harus dibayarkan dari perdagangan impor gas bumi ini kepada Rusia rata-rata per tahun sekitar 19 miliar dollar AS. Nilai impor ini besarannya mencapai 15 persen dari seluruh impor gas bumi yang didatangkan dari berbagai negara di dunia dengan nilai impor seluruhnya sebesar 128 miliar dolllar AS per tahun.
Jadi, apabila dikalkulasi, khusus untuk komoditas migas yang didatangkan dari Rusia ke Uni Eropa setiap tahunnya mencapai kisaran 304 juta toe. Nilai ekonomi atas pengiriman komoditas migas ini rata-rata mencapai 112 miliar dollar AS atau sekitar 20 persen dari seluruh nilai impor migas yang didatangkan ke Uni Eropa. Dengan dihentikan impor dari Uni Eropa, Rusia akan kehilangan devisa energi setidaknya lebih dari 100 miliar dollar AS. Nilai ini belum termasuk konsekuensi dampak lainnya akibat embargo ekonomi yang diberlakukan kepada Rusia.
Kebijakan Uni Eropa beserta para sekutunya tersebut berimbas signifikan bagi perekonomian Rusia. Laporan IMF menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Rusia pada tahun 2022 diperkirakan mengalami pertumbuhan minus sebesar 2,2 persen. Rusia menjadi satu-satunya negara besar yang mengalami tren pertumbuhan tahun negatif di dunia pada tahun 2022. Meskipun demikian, kebijakan politik internasional Uni Eropa itu nyatanya belum mampu meredam aksi invasi Rusia ke Ukraina. Perang masih berlangsung hingga saat ini sehingga kondisi perekonomian dunia masih dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Peranan OPEC
Dalam situasi dunia yang rentan terimbas lonjakan harga energi tersebut, peranan OPEC sangat penting untuk menjaga stabilitas dunia. Apalagi, ketergantungan dunia pada komoditas minyak bumi sangatlah tinggi sehingga secara tidak langsung membuat OPEC memiliki kekuatan geopolitik yang sangat besar dalam memengaruhi situasi global.
Tingginya ketergantungan dunia terhadap energi fosil terlihat dari laporan Badan Energi Internasional (IEA) 2022. Konsumsi energi final di seluruh dunia masih dominan mengandalkan sumber energi fosil. Rinciannya terdiri dari 10,51 persen dari batubara; sekitar 42 persen dari minyak bumi; sebanyak 15,40 persen dari gas alam; dan 20 persen berupa elektrifikasi. Jadi, secara akumulatif konsumsi energi final yang menggunakan sumber fosil mencapai 88 persen. Dari berbagai jenis energi fosil, minyak bumi merupakan yang paling dominan dibutuhkan seluruh masyarakat dunia.
Oleh karena itu, untuk mendukung permintaan konsumsi minyak bumi dunia yang terus meningkat, peranan OPEC dan negara produsen minyak lainnya sangat dibutuhkan. Berdasarkan data Oil Market Report Oktober 2022, IEA, pada tahun 2023 ini konsumsi minyak bumi dunia diperkirakan mencapai 101 juta barel per hari. Permintaan ini mengalami peningkatan sekitar dua juta barel per hari dari konsumsi tahun 2022 yang sekitar 99 juta barel.
Untuk mendukung peningkatan permintaan tersebut, memerlukan tambahan produksi dari sejumlah negara produsen minyak. Hampir semua negara produsen minyak baik yang tergabung dalam OPEC maupun non-OPEC semua berupaya meningkatkan produksi minyak buminya. Hanya saja, dari proyeksi IEA, sepertinya masih ada kendala dalam suplai minyak bumi pada tahun 2023 karena hanya terkumpul sebesar 100,6 juta barel per hari. Jadi, masih kurang sekitar 500.000 barel per hari.
Bila dirinci berdasarkan kelompok produsen, ternyata ada sejumlah negara yang justru mengurangi produksinya. Salah satu negara tersebut adalah Rusia di mana negara ini tergabung dalam forum OPEC+ yang merupakan organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia. Secara akumulatif, OPEC+ mengurangi suplai minyaknya ke pasaran global pada tahun ini sekitar 1 juta barel per hari dari 51,9 juta barel menjadi 50,9 juta barel sehari.
Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi pengurangan suplai minyak bumi itu. Untuk kasus Rusia yang mengurangi produksi minyak dari 10,9 juta barel per hari pada tahun 2022 menjadi sekitar 9,5 juta barel per hari pada tahun 2023, itu sejatinya patut dimaklumi. Pasalnya, embargo impor minyak yang dilakukan oleh Uni Eropa akan membuat Rusia over supply seandaianya produksinya tidak terserap pasar secara maksimal. Hal ini menyebabkan inefisiensi dan harga minyak bumi dari Rusia dapat jatuh di pasaran global. Oleh karena itu, pilihan untuk mengurangi suplai ke pasaran global menjadi alternatif kebijakan untuk menjaga keekonomian energi Rusia.
Namun, pengurangan yang dilakukan OPEC+ secara umum yang sekitar 1 juta barel per hari tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, sebagian negara-negara OPEC+ itu sangat mampu untuk meningkatkan kuantitas produksinya. Bahkan, Arab Saudi sekalipun sebagai salah satu pemimpin OPEC dan sekaligus penghasil minyak bumi terbesar di dunia turut memangkas produksinya.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada upaya yang tengah dilakukan oleh OPEC dalam mengontrol situasi global. Kemungkinan, berkaitan dengan upaya untuk mendorong harga minyak dunia agar tetap relatif tinggi di pasaran global. Pada saat ini harga minyak bumi trennya terus menurun hingga di bawah 80 dollar AS per barel. Padahal, pada tahun 2022 harga minyak dunia meroket tinggi hingga di atas 100 dollar AS. Bahkan, sempat bertengger lama dengan kisaran nilai hingga di atas Rp 110 dollar AS per barel pada kurun pertengahan tahun 2022.
Oleh karena itu, upaya sejumlah negara yang berusaha meningkatkan produksi minyak buminya patut diapresiasi. Salah satunya seperti Amerika Serikat yang terus berupaya menambah produksi hingga lebih dari 1 juta barel per hari pada tahun 2023 ini sangat penting bagi stabilitas harga energi dan juga perekonomian global.
Demi mendukung pembangunan yang berkelanjutan, perlu kesadaran bersama bagi setiap produsen energi untuk kembali menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Perananan OPEC sangat penting dalam mendukung langkah tersebut. Pasalnya, sekitar 50 persen produksi minyak dunia dikuasai oleh satu organisasi ini sehingga setiap kebijakan energinya akan berdampak bagi kondisi makro dunia. OPEC memiliki kekuatan geopolitik yang absolut karena berkah sumber daya energinya. (LITBANG KOMPAS)