Penanganan sampah plastik tidak bisa bergantung pada daur ulang semata. Diperlukan alternatif lain untuk mengurangi sampah plastik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·6 menit baca
Pencemaran plastik merupakan momok seluruh dunia. Sejumlah pihak ingin menetapkan aturan yang keras dan tegas melarang plastik. Namun, beberapa pihak lain menginginkan agar dunia tidak menafikan pentingnya plastik dalam fungsi kehidupan sehari-hari manusia, mulai dari level individu hingga industri berskala besar. Sambil menunggu adanya kebijakan global, sejumlah negara dan kota yang berinisiatif mengelola sampah mereka secara maksimal dan optimal.
Tarik ulur pembuatan kebijakan mengenai plastik global ini tampak dalam pertemuan Komisi Negosiasi Antarpemerintah untuk Plastik (INCP) di Paris, Perancis, pada 29 Mei 2023. Pertemuan INCP ini dibawahkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan melibatkan 2.000 perwakilan dari negara-negara anggota PBB serta organisasi nonpemerintah.
Perdebatan terjadi pada dua kubu. Yang pertama terdiri dari Norwegia dan Rwanda. Mereka menginginkan penghentian produksi plastik jenis-jenis tertentu, misalnya plastik kemasan sekali pakai. Namun, hal ini ditentang oleh kubu kedua yang terdiri dari negara-negara penghasil minyak dan industri seperti Amerika Serikat, China, dan Arab Saudi.
Kubu ini mengusulkan bukan jenis plastiknya yang dibatasi, melainkan zat-zat kimia yang membahayakan manusia dan lingkungan yang harus dilarang. Selain itu, juga bukan produksi yang diturunkan, melainkan naikkan standar produksi dan utamakan daur ulang plastik sehingga terjadi perekonomian sirkular. Target dari kubu ini tetap sama dengan INCP, yaitu dunia bebas pencemaran plastik per 2040.
”Setiap negara memiliki persoalan plastik yang berbeda. Jangan pukul rata seluruh negara karena akan berpengaruh pada perekonomiannya,” kata Joshua Baca, Wakil Direktur Bidang Plastik Dewan Kimia AS.
Berdasarkan data PBB, dunia memproduksi 430 juta ton plastik setiap tahun dan dua pertiga di antaranya plastik sekali pakai yang berakhir menjadi sampah. Perkiraannya, di tahun 2060, produksi plastik meningkat tiga kali lipat dan cuma seperlima yang didaur ulang.
Daur ulang itu pun menjadi permasalahan. Alan Marty, Kepala Peneliti di Carbios—perusahaan daur ulang plastik dari Perancis—menjelaskan bahwa mayoritas plastik yang didaur ulang mutunya menurun, misalnya dari botol minuman menjadi plastik keresek. ”Akhirnya, plastik daur ulang ini pun menjadi sampah dan tidak menjadi solusi masalah,” katanya kepada majalah Undark.
Ia mengatakan, masa depan plastik tidak bisa tergantung daur ulang semata. Harus ada terobosan lain, yaitu menguraikan plastik dengan menggunakan enzim. Carbios mengembangkan enzim yang bisa mengurai plastik polietilen tereftalat (PET). Ini adalah plastik yang biasa dipakai untuk botol minuman kemasan. Enzim ini mengurai PET menjadi asam tereftalat dan monoetilen glikol.
Jurnal Frontier of Microbiology edisi Mei 2023 menerbitkan makalah hasil penelitian tim dari Institut Federal Swiss untuk Kajian Perhutanan, Salju, dan Lanskap yang bekerja sama dengan Institut Federal Swiss untuk Teknologi. Mereka menemukan mikroba yang bisa mengurai plastik. Mikroba ini bisa hidup di suhu dingin sehingga tidak membutuhkan ruangan khusus untuk menghangatkan mereka.
Selain itu, tidak semua perusahaan daur ulang jujur. Fakta ini terungkap dari liputan investigatif ABC News yang terbit 24 Mei 2023. Awal tahun ini, mereka memasang 46 alat pelacak di antara bundelan kantong plastik yang dibuang di tong-tong sampah daur ulang di seantero AS.
Selama beberapa bulan ke depan, ABC News memantau sinyal yang dipancarkan oleh pelacak yang aktif apabila di dekatnya ada gawai elektronik berfrekuensi serupa. Ternyata, hanya empat dari pelacak itu yang benar-benar berakhir di perusahaan daur ulang. Sisanya justru berakhir di tempat pembuangan sampah akhir dan dikubur. Bahkan, satu alat pelacak berakhir di Indonesia dan satu lagi di Malaysia.
”Banyak perusahaan daur ulang yang licik dan tidak mau repot. Mereka menjual sampah-sampah ini ke luar negeri, terutama ke negara-negara berkembang dan mengakibatkan polusi plastik lebih banyak,” kata Judith Enck, Direktur Beyond Plastic, perusahaan yang bergerak di isu lingkungan hidup.
Terdapat pula persoalan jenis plastik yang bisa didaur ulang adalah yang bernomor 1 dan 2. Mayoritas plastik, bernomor 3 hingga 7, hanya bisa didaur ulang dengan teknologi khusus. Padahal, ini adalah plastik-plastik yang umum ditemukan di kehidupan sehari-hari. Contohnya tutup botol, keresek, galon air, pipa paralon, botol obat, jepit bungkus roti, stirofoam, dan kotak makanan.
Di Eropa, mayoritas plastik ini berakhir di insinerator. Teknologi insinerator ini lebih canggih karena menggunakan metode penangkapan karbon. Energi yang dihasilkan oleh sampah itu pun dipakai untuk pemanas rumah hingga bus listrik. Swiss merupakan negara dengan 100 persen bebas sampah. Mereka berhenti mengubur sampah di tempat pembuangan per tahun 2000.
Sebagai gantinya, 53 persen sampah di Swiss didaur ulang atau dibuat kompos dan 47 persen sisanya dibakar di insinerator. Swedia dan Denmark merupakan negara-negara yang 99 persen telah menerapkan sistem nihil sampah (zero waste) juga. Sama seperti Swiss, 52-53 persen sampah mereka berakhir di insinerator.
Di Polandia, pemerintah mengambil langkah berbeda dibandingkan memakai insinerator. Mereka memilih mengurangi produksi sampah. Para penjual makanan diwajibkan menyumbang makanan yang tidak bisa dijual ke berbagai organisasi kemanusiaan.
Bagi kota-kota di negara besar, akses ke insinerator canggih belum tentu tersedia. Negara Bagian Arizona di AS, misalnya, tidak memiliki teknologi mendaur ulang plastik nomor 3 hingga 7 ini. Walhasil, salah satu kota, yaitu Tucson, memutar otak. Mereka bekerja sama dengan perusahaan ByFusion yang tidak memerlukan teknologi terlalu canggih untuk mendaur ulang plastik-plastik itu.
Dilansir surat kabar Arizona Republic, ByFusion menggunakan teknologi kompresor dan uap untuk memadatkan sampah plastik tersebut dan mencetaknya menjadi bata. Kemudian, bata-bata itu dipakai untuk membangun sarana dan prasarana umum oleh pemerintah daerah. Salah satunya ialah membangun pagar di Universitas Arizona dan gedung baru untuk dinas sosial.
Sebagai kota wisata, hotel-hotel menjadi pusat percontohan. Sejak tamu memesan akomodasi, kami menjelaskan mereka tidak boleh membawa minuman kemasan sekali pakai.
Sejak prakarsa ini dicanangkan pada Agustus 2022, kota Tucson telah mendaur ulang 90 juta ton sampah plastik nomor 3 hingga 7 menjadi bata. Pemerintahnya mengucurkan dana 3,4 juta dollar AS untuk kerja sama dengan ByFusion. Langkah ini kemudian mulai ditiru oleh kota tetangga, Phoenix dan kota Boise di Negara Bagian Idaho.
Sementara itu, kota wisata Breckenridge di Negara Bagian Colorado memilih langkah lebih radikal. Mereka mencanangkan nihil sampah per 2030. Sampah-sampah yang ada didaur ulang menjadi tempat duduk, meja, dan bangku taman. Selain itu, sejak tahun lalu, kota berpenduduk 5.000 jiwa ini melarang penggunaan botol minum sekali pakai dan plastik keresek.
”Sebagai kota wisata, hotel-hotel menjadi pusat percontohan. Sejak tamu memesan akomodasi, kami menjelaskan mereka tidak boleh membawa minuman kemasan sekali pakai,” kata Emily Kimmel, Manajer Hotel Grand Vacations kepada USA Today.
Larangan itu memicu usaha kuliner lokal karena wisatawan tidak bisa jajan keripik ataupun minuman berkemasan plastik. Kafe-kafe menawarkan diskon apabila wisatawan datang membawa botol minum sendiri. (AP)