Tanggung Jawab Terbesar Pengelolaan Sampah Ada di Produsen
Masyarakat sebenarnya sudah sadar untuk mengurangi sampah plastik, tetapi tidak punya alternatif lain yang dibuat produsen. Padahal, krisis pengelolaan sampah ada di hulu karena industri terus memproduksi plastik.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
SAIFUL RIJAL YUNUS
Latif (7), memegang sampah plastik kemasan minuman dari luar negeri di Pantai Hu'untete Desa Kulati, Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Jumat (28/2/2020). Sampah plastik dari dalam dan luar negeri terus berdatangan di wilayah yang masih bagian taman nasional laut dan cagar biosfer dunia ini. Bersama-sama warga desa, upaya untuk mengolah dan meminimalkan sampah.
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sampah idealnya tidak hanya dibebankan kepada masyarakat di hilir untuk mengolah sampah rumah tangga seperti memilah jenis sampah, makan sampai habis, dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Pemerintah juga harus menekan di bagian hulu, yakni industri produsen plastik agar penggunaan plastik menjadi berkurang demi mencapai Indonesia Nol Sampah 2030.
Aliansi Zero Waste Indonesia menilai, pengelolaan sampah di Indonesia selama ini keliru karena dibebankan kepada pemerintah, masyarakat, atau konsumen. Padahal, krisis pengelolaan sampah ada di hulu sistem perekonomian karena industri terus-menerus memproduksi plastik yang tidak ramah lingkungan.
Aliansi ini terdiri dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Nexus3 Foundation, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali, ECOTON, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Nol Sampah Surabaya, Greenpeace Indonesia, Gita Pertiwi, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Menurut Aliansi, masyarakat sebenarnya sudah sadar untuk mengurangi sampah plastik, tetapi mereka tidak punya alternatif lain selain menggunakan produk dengan kemasan plastik. Produsen seharusnya memilih bahan baku dengan visi mengurangi, bahkan meniadakan sampah demi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Produsen yang masih menggunakan plastik sekali pakai harus dibebani pajak yang tinggi oleh negara.
”Industri yang harus bertanggung jawab, jangan semua dibebankan kepada masyarakat. Karena gerakan-gerakan seperti membawa tumbler dan tidak pakai sedotan itu semua berawal dari masyarakat. Kami belum melihat inisiatif dari industri yang menyasar ke akar masalah sampah plastik ini,” kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi, saat diskusi media di Jakarta, Senin (6/3/2023).
STEPHANUS ARANDITIO
Aliansi Zero Waste Indonesia menggelar diskusi dengan tema "Mencapai Target Nol Sampah Nol Emisi Pengelolaan Sampah" dalam memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023 di Bakoel Coffee, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).
Atta juga menyoroti kelonggaran pemilihan opsi pengurangan sampah oleh produsen dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Produsen bisa memilih satu dari tiga cara pengurangan sampah, yakni pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang.
Transparansi yang minim dari implementasi kebijakan ini dapat menjadi celah bagi produsen untuk memilih opsi yang tidak sesuai dengan prioritas hierarki pengelolaan sampah, seperti menjadikan daur ulang sebagai jalan utama upaya pengurangan plastik.
Solusi pengolahan sampah yang diambil pemerintah seperti pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) atau pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL), bahkan co-firing refuse derived fuel (RDF) juga dinilai semu. Sampah yang diproses termal itu berpotensi meningkatkan ancaman pencemaran lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas penanganan dan daur ulang limbah karena dapat terpapar kimia beracun.
Juru Bicara Iklim dan Energi Bersih, Global Alliance for Incinerator Alternatives Asia-Pacific, Yobel Novian Putra, mencontohkan, pembakaran sampah di Eropa menghasilkan emisi karbondioksida (CO2) sebanyak 580 g atau dua kali lipat lebih intens dari jaringan kelistrikan 28 negara di Eropa. Uni Eropa juga sudah melarang pembiayaan insinerator sampah karena dinilai merusak tujuan mitigasi perubahan iklim.
”Ketika sampah dibakar di bagian hilir, baik di insinerator sampah, di industri semen, maupun di PLTU batubara, emisi yang dilepaskan lebih besar daripada emisi dari PLTU batubara. Hal ini sangat mengecewakan karena narasi 'Zero Waste, Zero Emission' Pemerintah Indonesia,” kata Yobel.
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/9/2022). PLTSa yang dioperasikan oleh Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta tersebut mampu mengolah sampah 100 ton per hari dan menghasilkan 700 kilowatt listrik.
Dihubungi terpisah dari Jakarta, Senin (6/3/2023), Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar mengklaim, implementasi Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 sudah cukup mengurangi sampah plastik oleh produsen. ”Makanya, sekarang industri daur ulang skala besar tumbuh di Indonesia,” kata Novrizal.
Pengolahan sampah dengan teknologi termal juga telah direkomendasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC. Sehingga dapat dipastikan pengolahannya akan berbeda dengan PLTU batubara.
”PLTSa beda dengan membakar batubara, itu, kan, bukan fosil tetapi biomass. Ya, kalau maunya sempurna semua, ya, tidak mungkin ada, pasti ada proses-proses transformasi. Dan ini bukannya tidak direkomendasikan oleh IPCC juga, waste to electricity itu juga bagian dari mitigasi menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.
Dia optimistis target Indonesia Nol Sampah 2030 bisa tercapai. Salah satunya dengan membangun gaya hidup minim sampah di masyarakat, yakni membatasi penggunaan barang sekali pakai, belanja tanpa kemasan, pilah sampah, habiskan makanan, dan buat kompos di rumah.
”Kalau semua orang buat kompos di rumah akan ada 11 juta ton sampah organiknya tidak sampai ke TPA, itu berpotensi menurunkan 7 juta ton CO2. Kalau lima hal ini semua orang Indonesia melakukan 90 persen persoalan sampah selesai di rumah,” ucapnya.
Ketika sampah dibakar di bagian hilir, baik di insinerator sampah, di industri semen, maupun di PLTU batubara, emisi yang dilepaskan lebih besar dari emisi dari PLTU batubara.
Berdasarkan data KLHK, timbulan sampah nasional pada 2022 mencapai 68,5 juta ton dengan komposisi terbesar dari sektor rumah tangga berupa sisa makanan. Sementara sampah yang terkelola baru mencapai 64,52 persen. Dengan kata lain, sebanyak 35,48 persen sampah belum terkelola dengan baik atau terlepas ke lingkungan.
Sementara itu, jumlah TPA yang tercatat di Indonesia saat ini 532 unit, lalu jumlah tempat pembuangan sampah yang menggunakan konsep mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang (TPS 3R) mencapai 2.506 unit; bank sampah 13.716 unit; komposting 4.118 unit; fasilitas produk kreatif 291 unit; dan fasilitas pengelolaan menjadi sumber energi 32 unit.