Jepang Tuduh Korea Utara Curi Aset Kripto untuk Biayai Rudal
Secara keseluruhan, kerugian Jepang mencapai 30 persen dari pencurian aset kripto global dengan sponsor Korea Utara yang mencapai 2,3 miliar dollar AS.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Jepang mengatakan telah mengalami kerugian sebesar 721 juta dollar Amerika Serikat dalam bentuk aset kripto karena dicuri oleh para peretas yang diperintah oleh Korea Utara. Uang hasil retasan ini digunakan untuk membiayai berbagai proyek rudal balistik dan pengayaan senjata nuklir di negara yang dipimpin oleh Kim Jong Un itu.
Laporan tersebut dikeluarkan oleh perusahaan rantai blok (blockchain) dari Inggris, Elliptic, yang dikutip oleh media Jepang, Nikkei, pada Senin (15/5/2023). Secara keseluruhan peretas yang disponsori Korea Utara telah mencuri 2,3 miliar dollar AS aset kripto dari berbagai transaksi di dunia. Dana yang dicuri dari Jepang saja sebesar 30 persen dari kerugian global.
Hasil riset itu mengemuka setelah pertemuan para menteri keuangan dan kepala bank sentral G7, yaitu tujuh negara terkaya di dunia, di Niigata, Jepang. Mereka menyepakati untuk membenahi transaksi aset kripto, terutama dari segi pengamanan, karena selama empat tahun belakangan berbagai tindakan kriminal banyak terjadi. Wujudnya mulai dari peretasan hingga penipuan berupa transaksi bodong.
Sejatinya, peretasan oleh Korut ini bukan hal baru. Pada Agustus 2022, perusahaan rantai blok Chainalysis mengeluarkan laporan bahwa dunia rugi 2 miliar dollar AS. Para peretas mengincar proses jembatan, yaitu ketika aset kripto dikirim dari satu medium rantai blok ke platform lain. Salah satunya ialah peretasan Nomad yang merupakan jembatan bagi sejumlah rantai blok, di antaranya adalah Ethereum, Evmos, dan Milkomedia.
Media Crypto Slate melaporkan, per tahun 2022 ada 13 perusahaan jembatan yang telah diretas. Kasus ini dipantau oleh media tersebut dan merepresentasikan 69 persen dari jumlah yang dicuri pada tahun lalu. Oleh sebab itu, butuh rangkaian kode yang lebih rumit dan diatur ketat untuk mengamankan proses pengiriman aset kripto dari satu platform ke platform lain.
”Setengah dari pembiayaan program rudal Korut ini dibiayai oleh uang yang dicuri dari peretasan aset kripto dan berbagai serangan siber lain,” kata Anne Neuberger, Wakil Penasihat Keamanan Gedung Putih untuk Siber dan Teknologi Rintisan, seperti dikutip oleh CNN.
Bulan April, Departemen Kehakiman AS menangkap seorang warga Korut yang dituduh melakukan pencucian uang. Ia meretas akun sejumlah karyawan di berbagai perusahaan aset kripto AS dan uang yang ia tilap dikirim ke Pyongyang. Penangkapan ini tidak memberi efek jera karena ketika satu ditangkap, masih ada ribuan peretas lagi.
Pada Januari 2023, intelijen AS dan Korsel mengeluarkan laporan dari penelusuran 100 juta dollar AS aset kripto yang hilang dari platform Harmony yang berbasis di Negara Bagian California. Mereka menemukan bahwa aset itu diambil oleh para peretas yang bekerja atas perintah Korut. Peretasnya sendiri tidak harus merupakan warga negara Korut.
Aset itu kemudian ditukarkan dengan berbagai mata uang, yaitu dollar AS dan yuan China. Uang ini dikhawatirkan dipakai untuk membiayai pengembangan rudal oleh Pyongyang. Caranya ialah dengan mencuci uang itu dan disebar ke berbagai rekening yang akan sulit dilacak. Ketika aset kripto itu dikonversi ke dollar AS oleh peretas, tim intelijen AS-Korsel ini berhasil membekukan transaksi tersebut.
”Bisa dikatakan Korut melakukan peragaman pendapatan dengan cara menjadi lebih kreatif. Mereka memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menafkahi rezim Kim,” kata John Park, pengamat politik Korea dari Universitas Harvard.
Sebelumnya, rezim keluarga Kim mengandalkan ekspor batubara. China, mitra dagang mereka, mengurangi impor secara bertahap karena ada misi menuju energi terbarukan. Peretasan asep kripto ini menjadi alternatif karena membutuhkan sumber daya manusia lebih sedikit dibandingkan dengan tambang dan ekspor batubara. Pada saat yang sama, keuntungan dari pencurian aset kripto bisa ratusan kali lebih besar daripada batubara. (REUTERS)